Penggunaan warna monochrome ini pun sangat identik dengan keadaan yang serba hitam putih. Selalu ada sekat yang membedakan. Selalu ada yang merasa benar, bahkan saling berebut kebenaran itu sendiri. Untuk pada akhirnya hanya karena sebatas ingin diakui sebagai pemenang, atau kepuasan karena telah melakukan penundukan/penindasan.
Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Mah Nun. Seklias memberikan respon dari kegiatan workhshop dari Majalah Sabana dengan melihat gejolak sastra yang mulai banyak kembali menarik peminat. Yang pertama kali harus diperhatikan dari sastra menurut Mbah Nun adalah bukan sastranya, namun latar belakang seseorang menulis. Tanyakan kepada diri, "kenapa dia menulis itu?"
Sedangkan kesan Mbah Nun terhadap pameran ini adalah tentang penglihatan seorang Nevi terhadap dunia dan manusia. Ternyata kehidupan sekarang juga refleksi dari apa yang digambar oleh Pak Novi. Sehingga tidak heran pula jika manusia rusak seperti sekarang ini. Lalu, Mbah Nun sedikit memberikan PR untuk melakukan pementasan yang lebih mengutamakan gerak daripada kata-kata.
Banyak sekali keberuntungan malam ini yang tak terbayarkan. Pertemuan dengan ilmu bahkan berkesempatan silaturrahmi langsung dengan pelaku-pelaku pawang budaya merupakan keadaan yang sulit didapati. Terlebih tidak ada singgungan sama sekali antara rutinitas harian dan kebudayaan. Namun, semua tak lebih hanya mengalir begitu saja.
Acara pun dipungkasi sekitar pukul 22.00 dengan doa yang dipimpin langsung oleh Pak Novi Budianto. Seseorang yang lebih dikenal sebagai rohnya grup Kiai Kanjeng ini sedikit menampilkan spirit dengan dimensi yang berbeda pada malam hari itu. Semoga sehat selalu, terus berkarya, dan salam budaya, Pak Nevy!
Yogyakarta, 5 Desember 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H