Semua perjalanan sebisa mungkin jangan lupa membawa bekal cinta. Mengapa? Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang harus kita hadapi dalam perjalanan menuju suatu tujuan. Kamu akan lebih banyak menemukan kegembiraan daripada berkeluh-kesah.
Setiap hari, pertemuan-pertemuan itu hanya menunggu para manusia itu hendak dituju. Adam dan Hawa pun membutuhkan beratus-ratus tahun sebelum akhirnya saling menemukan. Bayangkan, dalam rentang waktu tersebut, kesunyian seperti apa yang dilalui? Kita masih beruntung berada di zaman serba mudah berkomunikasi. Tapi masih saja mempermasalahkan jika pesan virtualnya tak kunjung dibalas, atau hanya sekedar dibaca. Apakah rindu mesti dituntaskan dengan pertemuan?
Lantas, apa yang membuat kita ragu?
Kita sering bertemu dengan siang, namun hanya mendapati terang. Kita sering bertemu dengan malam, namun hanya menemukan kegelapan. Namun, dalam terang sudah pasti akan menemukan kegelapan bayang. Sebaliknya, beberapa yang tersesat dalam kegelapan pun berhasil menemukan cahaya.
Kelelahan dalam pencarian selalu menjadi batas diri jika kehilangan iman. Dahaga yang dirasa dalam perjalanan hanya akan dirasa jika sabar lupa dibawa menjadi bekal. Dan ketidakjelasan arah yang dituju pun akan selalu menanti mereka yang berjalan penuh dengan kegelisahan dan kehilangan kendali ikhtiar.
Adakah tempat beresembunyi bagimu dari penglihatan Sang Maha Cinta? Adakah perlindungan itu menurutmu hanya sementara? Sementara sesuatu yang sering kita anggap sebagai buah kesialan, justru menyelamatan kesialan lain yang lebih besar. Karena Yang Tercinta selalu ingin menjadikan hambaNya menyatu sesuai dengan kehendakNya. Namun seperti ada yang pemalu diantaranya karena manusia yang selalu memamerkan romantisme kemesraan denganNya, pada akhirnya sering terjebak dengan kebenaran akal pemikirannya sendiri. Merasa seolah-olah Tuhan selalu membelanya.
Dan apakah ikatan itu adalah janji?
Jangankan sebuah pertemuan yang sudah pasti terjadi atas dasar ijin Sang Maha Rindu, tiap helai rasa yang mengendap lalu tumbuh itu pun apakah mampu kita ciptakan? Lalu bagaimana lagi aku sanggup berterima kasih, jika kasih itu datang dariMu, dan bagaimana aku mencinta jika ternyata rasa cinta itu sendiri dapat mendekap juga oleh karena-Mu.
Sekalipun banyak dusta-dusta yang berperangai bak malaikat penyampai wahyu. Demi kenikmatan dirinya sendiri yang selalu tak pernah merasa puas. Demi bahagianya yang kadang kala bersembunyi di bilik-bilik kesenduan nista. Demi kenyamanannya yang selalu enggan untuk menambah laju panah asmaranya, sekalipun cinta selalu sedepa lebih cepat. Malas selalu saja berhasil mengelabuhi akal.
Padahal manusia hanya menanti perjumpaan-perjumpaan yang telah menunggu di tengah perjalanan itu sendiri. Menanti sapa yang enggan berkata, dan kata yang terkadang memilih diam. Tapi, apakah sanggup mencipta sapa, jika rasa pun tak mampu mereka ciptakan. Hingga antara manusia menjadi mengikat dan saling terikat.
Hingga ikatan berbuah janji, karena laku dusta-dusta yang berperangai tadi. Karena takut akan dongeng-dongeng kehilangan.
Adakah yang abadi?
Tatkala para pemuda dan pemudi itu mampu menari dengan riang. Dengan lantunan musik dangdut yang sanggup membuat gembira mayoritas para intelektualitas ini. Goyangan itu memberikan sedikit gambaran bahwa hampir semua pernah mengalami patah hati, kecewa, dan tersakiti. Dari segala perbedaan itu, sesungguhnya permasalahan mereka hanyalah cinta.
Selalu ada yang lebih bahagia, pun selalu ada yang lebih menderita. Namun, itu hanya ketika kamu menggunakan cara pandangmu, karena terkadang yang terlihat menderita justru lebih bahagia daripada yang nampak bahagia. Layaknya siang yang terkadang terselimuti oleh mendung, ataupun malam yang gelap ternyata banyak menyimpan pesona keindahan kemerlip cahaya yang tak sanggup terlihat dalam terang.
Dan mereka abadi, dua yang berlawanan ternyata satu yang satu terkadang mengeluarkan genjutsu-nya menjadi lebih dari satu. Memenuhi asa, menyimpan hasrat, dan memendam ingin. Abadi terbebas dari itu karena ia hanya satu, tunggal. Dan cinta yang bertepuk sebelah tangan selalu menunjukkan jalan itu (penghambaan).
Layaknya sebuah perjumpaan dengan Sang Malam di Dalam Malam itu, tak lebih hanyalah satu dari keabdian dan keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H