Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Ahlussunah wal-Mubah"

7 November 2019   15:50 Diperbarui: 7 November 2019   16:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, jika Gus Welly dan Rohmat bertemu, Selalu saja ada hal-hal yang dikomentari, entah itu karena memang karena cara pandang mereka yang tak lazim dipakai orang zaman now, atau karena naluri alamiahnya yang kebetulan suka nyacat.

Nyacat atau berkomentar pada dasarnya adalah sarana untuk membangun sebuah nilai. Namun semakin kesini, ruang itu hanya sebagai ajang untuk saling adu kebenaran. 

Alhasil, budaya nyacat akan cenderung lebih ke menjatuhkan lawan daripada membangun. Terlebih jika komentar-komentar tersebut hanya diutarakan lewat kata-kata, karena tanpa saling temu mengakibatkan kesalahan perspektif bahkan tidak adanya intonasi suara kalimat akan sangat mempengaruhi makna yang ditangkap.

Apalagi kebiasaan nyacat ketika seseorang sedang berbicara, kalau ini mungkin pengomentar kurang memahami adab dalam mendengarkan. Dan yang lebih parah, menyepelekan nilai. Malam itu, Rohmat terlihat kurang nyaman dengan keadaan orang-orang yang suka ribut sendiri ketika sedang berada di ruang belajar.

"Mat, kenapa tadi kamu nampak tidak nyaman?" tanya Gus Welly setelah pulang pengajian.

"Aku suka bingung mengapa orang-orang seperti itu suka datang ke sebuah ruang pembelajaran, jika pada akhirnya mereka hanya sibuk sendiri dengan guyonan-guyonan mereka." Gusar Rohmat.

"Namanya juga kamu belajar satu ruangan dengan banyak orang, semakin banyak yang terlibat, suasana pembelajaran akan sangat sulit ditebak." Kata Gus Welly.

"Permasalahannya kembali pada dirimu, kamu memerdekakan dirimu untuk siap belajar, atau sebenarnya kamu sedang tidak belajar dan hanya mencari kenyamanan, karena mempermasalahkan hal-hal seperti itu." Bewol yang kebetulan juga berada disitu pun ikut menambahi.

"Kita kan sering mendapatkan ilmu dari Mbah (panggilan mereka terhadap Gurunya), wa tawashou bil-haqqi, wa tawashou bishshobri. Saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." Gus Welly mencoba mengingatkan.

Sebuah komentar atau nasihat merupakan salah satu bagian dari tanggapan. Hanya saja komentar lebih tidak adanya sikap gentle karena kebanyakan tanggapannya dilakukan dibelakang, kalau nasihat biasanya lebih ke keadaan apabila diminta untuk menanggapi. Mungkin hal-hal seperti ini sering dianggap sepele bagi mereka yang telah banyak memanggul ilmu.

Rohmat pun penasaran bagaimana menghadapi situasi-situasi seperti itu, karena di suatu waktu, "kita tidak boleh cuek dengan samping kanan-kiri ketika mereka mengajak bicara, itu gimana?"

"Kalau itu tergantung egomu pada saat itu, kamu lebih memilih untuk mencari kekayaan (ilmu) untuk dirimu sendiri atau bebrayan dengan tetanggamu." Jawab Bewol. "Jangan takut kamu akan kehilangan suatu ilmu jika kamu sudah berangkat dengan niat menjemput ilmu dengan keranjang ilmu yang hanya kamu sendiri yang mengetahui kapasitasnya. Mau dipenuhi atau tidak." Lanjut Gus Welly.

"Berarti hal seperti itu kondisional, luwes saja. Namun jika mereka-mereka ngajak nyacat berjamaah, khususnya ketika Mbah sedang ngendhiko, mungkin aku bisa langsung berubah 100% menjadi manusia egois, hahaha...." terang Rohmat.

"Lihat tuh si Bewol, dia tidak hanya mendengarkan. Namun mencoba menyerap bahkan memaknainya dengan tulisan-tulisan yang segar. Dia melakukan itu pun bukan untuk kekayaan (ilmu) dirinya, akan tetapi demi berbagi kepada yang lain." Sanjung Gus Welly sembari cekikian.

"Menjadi terkenal itu mudah, akan tetapi menyembunyikan diri ternyata lebih susah." Jawab Bewol membalas cekikian-nya Gus Welly.

"Ah... aku sendiri yang gak paham dengan yang kalian tertawai."

"Pokoknya gini, ketika kamu berada di semesta pembelajaran, bayangkan hanya ada kamu dan dirimu sedang berhadapan dengan orang yang memberimu ilmu, sekalipun jika dalam realitas mata pandang, kamu sedang berada di antara kerumunan."

Obrolan pun memanjang sampai lupa dengan waktu yang terus saja berlalu. Kebijaksanaan sangat diperlukan dalam menangkap wawasan-wawasan baru. Dan dimensi kebijaksanaan itu sendiri akan nampak sejalan dengan seberapa dalam kedaulatan cara berfikir pribadi masing-masing.

Bahkan, tak sedikit orang yang mampu menembus wilayah ini masih sering kehilangan dirinya. Banyak yang mengaku ahli sunnah namun pada akhirnya hanya terjebak dalam ahli sunnah yang mubah. 

Tentu hal ini akan sangat riskan jika diungkapkan di depan khalayak ramai. Karena mereka masih memliki banyak tendensi keakuan dirinya daripada aku yang sejati. 

Lihatlah eksistensial mereka, seolah-eolah mereka nampak mencari perhatian langit, sementara dia sendiri sebenarnya lebih senang ketika dirinya menjadi pusat perhatian dan mendapatkan applause banyak dari lingkungannya.

"Mana yang kamu pilih, ahlussunah wal jamaah atau ahlussunah wal mubah, Mat?" tanya Gus Welly kepada Rohmat.

"Nanti kalau aku bilang ahlussunah wal jamaah dikira auto masuk golongan tertentu, dan saya tidak sebaik mereka. Jadi, mungkin kecenderungan saya ke ahlussunah wal mubah karena saya masih merasa semuanya mubah tapi entah kenapa saya melakukannya."

"Sipp, justru ketidaktahuan dan ketulusanmu dalam melakukan sesuatu itulah yang tumbuh bernama cinta. Kalau kamu, Wol?"

"Aku hanya seorang gelandangan, jangankan menjadi seorang sepertimu yang ahlussunah wal mubah pun aku tak sanggup, tak pantas, pakewuh, bahkan tak berani. Aku tidak pernah bisa merasa menjadi seorang ahli dalam ibadah-ibadah sunnah."

"Kok gitu, Wol?"sanggah Rohmat.

"Memang begitu, Mat! Kata-kata seseorang gelandangan seperti dia jangan lantas kamu telan mentah-mentah, terlebih nyacat perkataannya, justru itu makanan yang ia cari..."

Rohmat pun nampak semakin kebingungan dengan teman-temannya yang aneh. Namun entah mengapa daritadi Rohmat dengan hikmat memperhatikan ketidakjelasan yang membingungkan tersebut. Dan, kebiasaan nyacat-nya pun seolah hilang entah kemana dan lebih banyak mendengarkan dan belajar bertanya. Namun adakah sesuatu yang mubah jika kita melakukannya dengan cinta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun