Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mensubjekkan "Dholuman Jahula Fiid-Dunya"

22 Oktober 2019   08:18 Diperbarui: 22 Oktober 2019   08:23 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel Esai ini disadur dari sumber : ruangrindu39.wordpress.com

Sekurang-kurangnya, tulisan ini hanya untuk menindaklanjuti dhawuh Simbah di dalam tajuk DJD yang telah diposting kemarin, selain amaliah beberapa wirid yang dilaksanakan pada waktu di sekitaran pergantian hari. Tuntunan-tuntunan seperti ini diharapkan mampu memacu proses kreasi dan innovasi para jamaah dalam mentadabburi nilai-nilai yang disampaikan, baik melalui sinau bareng atau yang selalu termuat di situs caknun.com dengan tentu saja menyadari batasan-batasan pemahamannya.

Karena ini langsung dhawuh dari Simbah, nuansa yang tercipta di lingkungan terdekat sangat responsif dan langsung dieksekusi sesuai yang telah disampaikan. Berbeda ketika bukan Simbah yang ndhawuhi, sepertinya tidak sedikit pula yang belum bisa melepaskan diri dari penokohan seseorang. 

Belum lagi ketika harus menyangkut faktor-faktor yang lain, misalnya rentang waktu, jarak tempat, ekstra tenaga berlebih mesti dibutuhkan. Keistiqomahan dan hati yang saling ikhlas seakan menjadi bekal yang mesti diutamakan untuk terus berada dalam payung mutahabbina fillah.

Cak Fuad sekiranya sudah sangat menjelaskan secara detail dalam tajuk yang berjudul "Istiqomah dalam Ber-maiyah". Dalam beristiqomah itu pun, nampaknya pejalan maiyah tidak bisa menyamakan perjuangan istiqomah satu dengan yang lain. Karena akan selalu ada perbedaan cara pandang satu dan yang lain, terlebih dengan perbedaan latar belakang pertemuan yang berbeda-beda.

Untuk menyikapi perbedaan tersebut, maka dibutuhkanlah hati yang saling lkhlas. Hati yang selesai, terutama ketika menapaki jalan di bawah payung yang sama. Untuk belajar bagaimana melatih hati, kita dapat membaca tajuk "Maiyah dan Jalur Peradaban Islam" yang ditulis oleh Syekh Nursamad Kamba. Yang utama di dalamnya terdapat 5 prinsip dasar mengenai jalur nubuwah/kenabian.

Sekalipun tidak ada jarak di antara para pejalan maiyah, namun akan selalu ada sekat di antara kalangan grassroot dan para pemegang otoritas. Istimewanya, jarak ini terbentuk bukan karena suatu peranan tertentu, melainkan lebih karena rasa saling menghargai dan saling merendahkan diri di hadapan para pejalan maiyah yang lain.

Dan jujur, saya pribadi lebih dapat banyak mendapat makna ketika saya berada di kawasan grassroot yang dipandang banyak mengandung toxic dan sering offside dengan berbagai alasannya. 

Tapi disitulah akan banyak bertemu dengan fenomena-fenomena perjuangan dalam mengamalkan nilai bermaiyah. Pertemuan dengan berbagai ajibah yang muncul menjadi sesuatu yang justru menjadi candu bagi para pejalan maiyah untuk dapat saling melepas rindu di berbagai lingkaran yang dipertemukan.

Dari sinilah, nampak sebuah kalangan yang memang terbentuk tanpa mementingkan eksistensi. Justru ia dengan sangat rela menepikan dirinya di hadapan keriuhan. Di saat potensi keilmuan yang telah dimiliki dan diamalkan, sangat layak untuk dapat menjadi suatu pembelajaran di depan khalayak ramai. Namun, yang terjadi justru mereka memilih bersembunyi. Seolah-olah apa yang menjadi perhatian manusia tidak lebih penting lagi dibandingkan perhatian penghuni langit.

Salah satu contoh real-nya adalah ketika acara sinau bareng atau rutinan. Meski mereka datang lebih awal, namun mereka selalu enggan untuk berada di depan panggung. Rasa malu dan tidak pantas justru menjadi alasan mengapa mereka tidak mau berada dalam pandangan Simbah. 

Rindu mereka terapkan dalam hati yang selalu berkesinambungan, yang saling ikhlas. Sebuah kaum atau bahkan generasi yang jika menggunakan skala perbandingan cara pandang. Mereka adalah generasi yang mencintai Simbah dan Simbah juga mencintai mereka, salah satu generasi yang terlahir dalam payung mutahabbina fillah.

Dan ketika melihat dhawuh untuk mentadabburi DJD, yang pertama kali terbesit dalam benak adalah tema Padhangmbulan kemarin, yaitu dholuman jahula. Sudah dholim, jahilnya tidak ketulungan. Di antara 4 tipe manusia, Cak Fuad kala itu menambahkan tipe kelima, yaitu sudah tidak mengetahui kalau dirinya tidak mengetahui, ditambah ngeyel pula. Tapi, saya memaknai ketika hal tersebut (sifat dholuman jahula) ketika dijadikan sebagai objek. Atau pemaknaan hal tersebut hanya sebatas bagaimana para pejalan maiyah memposisikan sifat tersebut.

Karena uniknya, sifat dholuman jahula ini menjadi salah satu pegangan nilai selama masih hidup di dunia bagi kalangan grassroot. Dianggap dholim bahkan jahil sudah menjadi makanan yang sudah sering dienyam oleh mereka. Diprasangkai bodoh dan rendahan, bahkan gila seolah justru menjadi keberkahan tersendiri. Mereka tidak memposisikan dholuman jahula sebagai objek, akan tetapi selalu memposisikan diri atau mensubjekkan sebagai orang yang "Dholuman Jahula fiid-Dunya". Agar selalu eling dan waspada, bahwa dirinya harus terus berjuang untuk selalu berbenah diri dan tuntas dalam memeluk nafsu dunia.

Mereka berada dalam gua-gua yang dianggap terasing dan tersisihkan. Mereka tidak memperdulikan sampai kapan mereka berada dalam gua tersebut. Amalan-amalan wirid yang telah diberikan serasa cukup tanpa perlu tampil heroik. Mereka sudah belajar mengenal otentitas dan fadhilahnya, hingga sedikit faham tentang panggungnya masing-masing. Ya, mereka akan selalu tersembunyi. Karena dipersiapkan atau memang karena ketidakmampuannya, mereka tak peduli. Yang pasti, setidaknya agar cintanya tidak membatalkan cinta dalam iradah bahkan tajalli-Nya.

Sumber : https://ruangrindu39.wordpress.com/2019/10/21/mensubjekkan-dholuman-jahula-fiid-dunya/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun