Artikel Esai ini disadur dari sumber :Â ruangrindu39.wordpress.com
Sekurang-kurangnya, tulisan ini hanya untuk menindaklanjuti dhawuh Simbah di dalam tajuk DJD yang telah diposting kemarin, selain amaliah beberapa wirid yang dilaksanakan pada waktu di sekitaran pergantian hari. Tuntunan-tuntunan seperti ini diharapkan mampu memacu proses kreasi dan innovasi para jamaah dalam mentadabburi nilai-nilai yang disampaikan, baik melalui sinau bareng atau yang selalu termuat di situs caknun.com dengan tentu saja menyadari batasan-batasan pemahamannya.
Karena ini langsung dhawuh dari Simbah, nuansa yang tercipta di lingkungan terdekat sangat responsif dan langsung dieksekusi sesuai yang telah disampaikan. Berbeda ketika bukan Simbah yang ndhawuhi, sepertinya tidak sedikit pula yang belum bisa melepaskan diri dari penokohan seseorang.Â
Belum lagi ketika harus menyangkut faktor-faktor yang lain, misalnya rentang waktu, jarak tempat, ekstra tenaga berlebih mesti dibutuhkan. Keistiqomahan dan hati yang saling ikhlas seakan menjadi bekal yang mesti diutamakan untuk terus berada dalam payung mutahabbina fillah.
Cak Fuad sekiranya sudah sangat menjelaskan secara detail dalam tajuk yang berjudul "Istiqomah dalam Ber-maiyah". Dalam beristiqomah itu pun, nampaknya pejalan maiyah tidak bisa menyamakan perjuangan istiqomah satu dengan yang lain. Karena akan selalu ada perbedaan cara pandang satu dan yang lain, terlebih dengan perbedaan latar belakang pertemuan yang berbeda-beda.
Untuk menyikapi perbedaan tersebut, maka dibutuhkanlah hati yang saling lkhlas. Hati yang selesai, terutama ketika menapaki jalan di bawah payung yang sama. Untuk belajar bagaimana melatih hati, kita dapat membaca tajuk "Maiyah dan Jalur Peradaban Islam" yang ditulis oleh Syekh Nursamad Kamba. Yang utama di dalamnya terdapat 5 prinsip dasar mengenai jalur nubuwah/kenabian.
Sekalipun tidak ada jarak di antara para pejalan maiyah, namun akan selalu ada sekat di antara kalangan grassroot dan para pemegang otoritas. Istimewanya, jarak ini terbentuk bukan karena suatu peranan tertentu, melainkan lebih karena rasa saling menghargai dan saling merendahkan diri di hadapan para pejalan maiyah yang lain.
Dan jujur, saya pribadi lebih dapat banyak mendapat makna ketika saya berada di kawasan grassroot yang dipandang banyak mengandung toxic dan sering offside dengan berbagai alasannya.Â
Tapi disitulah akan banyak bertemu dengan fenomena-fenomena perjuangan dalam mengamalkan nilai bermaiyah. Pertemuan dengan berbagai ajibah yang muncul menjadi sesuatu yang justru menjadi candu bagi para pejalan maiyah untuk dapat saling melepas rindu di berbagai lingkaran yang dipertemukan.
Dari sinilah, nampak sebuah kalangan yang memang terbentuk tanpa mementingkan eksistensi. Justru ia dengan sangat rela menepikan dirinya di hadapan keriuhan. Di saat potensi keilmuan yang telah dimiliki dan diamalkan, sangat layak untuk dapat menjadi suatu pembelajaran di depan khalayak ramai. Namun, yang terjadi justru mereka memilih bersembunyi. Seolah-olah apa yang menjadi perhatian manusia tidak lebih penting lagi dibandingkan perhatian penghuni langit.
Salah satu contoh real-nya adalah ketika acara sinau bareng atau rutinan. Meski mereka datang lebih awal, namun mereka selalu enggan untuk berada di depan panggung. Rasa malu dan tidak pantas justru menjadi alasan mengapa mereka tidak mau berada dalam pandangan Simbah.Â