Baik Tama maupun Layla saling berjalan, mendekat dan terus mendekat. Tiap jengkal adalah ketidakpercayaan akan sebuah pertemuan yang tak disangka.
"Kenapa mesti bertemu disini?"
"Aku mesti beralasan apa atas janji waktu itu."
"Apakah ini jawaban atas sapaanku kepadamu? Meski tak sedikitpun sapaan itu mampu kau dengar."
"Kenapa aku jadi gugup?"
"Bahkan langkah kaki ini pun melaju mendekatimu, meski sebenarnya aku masih menanti pertemuan dengan secangkir kopi itu."
"Aaaaaarrggghh, jangan sekarang. Aku belum siap."
Sebuah kegelisahan begitu mengusik pikiran mereka, baik Layla maupun Tama. Tapi, teriakan tadi sudah menjadi janji diantara kita untuk melangkah saling menatap lebih dekat. Sorot cahaya pun mulai menembus celah-celah kabut. Seolah semesta mengisyaratkan sebuah salam atas rasa yang dititipkan ke masing-masing insan.
Pertemuan adalah janji. Tapi pertemuan itu sendiri terlalu banyak tendensi untuk menghapuskan kebutuhan akan rasa untuk merindu. Demi rasa bahagia dirinya. Meski terlalu banyak kata yang mengatasnamakan dia. Seolah hanya dia yang membawa bahagia, disaat sesungguhnya dirinyalah yang sedang membahagiakan dirinya sendiri. Terutama dengan sapaan-sapaan atau rayuan yang langsung tertuju kepada yang dianggap membawa bahagia.
Lain halnya dengan Tama, pertemuan bukan berarti isyarat kebahagiaan. Pertemuan adalah konsistensi rasa yang sama. Sapaan-sapaan tak langsung tertuju kepada yang membawa bahagia. Bahkan, ia biarkan sapaan itu melayang bersama angin. Atau lenyap tertelan gelapnya malam. Namun, siapa yang tidak memiliki harapan sama sekali untuk bertemu yang terkasih? Dan yang terpenting bagi seorang Tama, jika sebuah pertemuan itu adalah ruang dipertemukannya apapun yang pasti ada alasan atas pertemuan yang terjadi. Setidaknya untuk dinikmati dan dimaknai. Termasuk pertemuan kali ini, tiada janji kecuali rindu yang meraung dalam kalbu.
Mereka pun saling berbincang satu sama lain. Antok dengan sifat kegirangannya terlihat sangat vokal. Rendi tak kalah menuangkan ide-ide inspiratifnya layaknya seorang seniman. Tama hanya sesekali nyambung dengan bahasa-bahasa sindirannya. Sedangkan Layla, cukup dengan senyumannya mampu melengkapi dan menghiasi pertemuan diantara mereka.