Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu yang Tersirat

29 Agustus 2019   16:26 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:42 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesampainya di rumah, pertemuan dengan Layla sedikit mengganggu ketenangan batin Tama. Sebuah pertemuan yang selalu didambakan oleh Tama, namun selalu ia seka dan tahan pertemuan-pertemuan yang diniatkan oleh dirinya. Bahkan, sebuah sapaan pun enggan ia ungkapkan demi kerinduan yang terpendam. Kata-kata hanya tersimpan rapi dalam laci tanpa pernah ia utarakan. Suara-suara pun hanya mampu ia titipkan kepada angin yang tak sengaja berlalu.

"Alangkah indahnya jika aku mampu menjadi Qais, sekalipin ia dianggap gila, ia sudah memiliki kepastian dalam hatinya bahwa Layla mencintainya." Kata Tama dalam hati. Perkataan-perkataan kiasan seperti itu sering muncul dalam angannya, tapi tak ada kata penyesalan bagi seorang Tama. Hingga tak terasa malam selalu habis untuk sekedar berbincang dengan ketidakpastian. Hanya saja, makna sebuah rasa itu sendiri bagi Tama tak bisa dianggap sebagai suatu nuansa. Dia memiliki kesadaran akan rasa yang menyapanya yang datang entah darimana.

Kiasan-kiasan yang bertebaran dalam angan itu selalu Tama rangkai dalam kata. Mencoba mencari makna ataupun hikmah dalam segala angan yang sedikitpun tak ada kuasa bagi Tama untuk menciptanya. Bermula dari sebuah pena, kertas, serta kitab yang berada dalam tas semplangnya, Tama mencoba untuk mendokumentasikan angan itu apa adanya ketika menyapa.

Kebiasaan itu bertahan cukup lama, hingga ketika menemukan sebuah kesamaan makna. Sebuah masalah muncul akibat segala coretannya hanya tertuang dalam selembar kertas. Lusuh karena terlalu lama terlipat, hilang, ataupun tulisan yang tidak mulai memudar akibat kadar kelembaban atau terkena hujan menjadi keadaan yang mesti segera dicarikan solusi. Hanya untuk mempermudah mencari dan mengingat apa yang telah disampaikan lewat kiasan-kiasan angan dalam perjalanan hidupnya.

"Ternyata, ini semua juga berkatmu, Laa." Gumam Tama sembari merapikan sisa-sisa kertas bertuliskan coretan-coretannya yang sudah mulai usang. Senyum kecil mulai tergambar pada wajah Tama, bukan karena sebuah pertemuan siang tadi. Melainkan angan yang kembali dan selalu datang menghampirinya. Memberikan senyumannya sekalipun dalam temaram kesunyian. Memberikan pelukannya melekapaskan dekapan akan keresahan-keresahan yang lalu-lalang bergantian menghampiri laju hidup seorang Tama.

Sembari duduk di halaman rumahnya, Tama hanya memikirkan tentang manakah yang terasa nyata? Sebuah pertemuan raga, ataukah angan yang banyak orang anggap sebuah keniscayaan? Kalau hanya sebuah pertemuan, sangat mudah hal tersebut dapat direncanakan. Tapi, bagaimana dengan angan yang selalu muncul tiba-tiba? Apakah itu cinta sejati atau sebatas obsesi? Jangan-jangan itu adalah kesetiaan, atau justru sebuah kebodohan?

***

Suatu hari ketika awan mendung mulai tak sanggup lagi menahan tetesannya, Layla hanya termangu duduk di depan rintihannya. Memandang tetesan-tetesan hujan yang deras, seolah mewakili perasaannya kala itu. Seseorang yang ia cintai telah pergi bersama yang lain. Kebersamaan yang dijaga akhirnya mesti terpisahkan dengan keadaan tersebut. Sedangkan orang tersebut tak pernah merasa bersalah sama sekali atas apa yang telah ia tunjukkan kepada Layla.

Dalam derai hujan kulihat langkah itu tertatih
Detakan langkah itu serasa lantang di tengah guyuran hujan
Memekik rindu di sekujur relung hati
DI tengah kekuyupan pilu, aku menantimu kembali, cinta.

"Maaf, memang ini semua salahku atas apa yang telah aku lakukan kepadamu. Hingga kau pun pergi meninggalkanku. Atas ketidakpekaanku hingga kau tega mengacuhkan aku." Kata Layla kepada hujan kala itu. Sembari merasakan kebimbangan antara ikut merasakan kebahagiaan dengan menanggalkan rasa. Atau diam, dan mencoba setia kepada rasa.

Kini, Layla sudah beranjak dewasa. Lebih dewasa dari yang sebelumnya. Di teras yang sama dengan cahaya Sang Fajar seolah mendekap hangat beranda rumahnya, mengusir hawa dingin pagi hari di tengah musim kemarau ini.

Meskipun telah ribuan kali Sang Fajar telah membawa dekapannya, diiringi kicauan semesta yang terdengar riang gembira. Tetap saja, tak mampu menghangatkan hatinya yang terlanjur beku oleh luka kala itu. Hari-hari selalu Layla hias dengan tawa,dimana kegembiraan itu begitu mudah menular ke lingkungannya. Tanpa ada yang mengerti tentang rasa yang ia jaga.

"Laa....! Itu lho Rendi sudah daritadi nunggu di depan." panggil ibunya.

Layla lekas bangun dari lamunannya kemudian menatap jam di HP-nya. Layla lupa jika pagi ini Rendi ingin mengajaknya keliling pedesaan. Lupa memang sudah menjadi kebiasaan yang cukup buruk bagi Layla. Disamping terlalu banyak orang yang menginginkan kehadirannya. Dengan dandan apa adanya, Layla pun lekas menyapa Rendi.

"Maaf, Ren. Aku lupa kalau itu hari ini."

"Santai aja, udah biasa juga kamu seperti itu." jawab Rendi riang. "Gimana, udah siap? Jangan lupa senjata utamanya." Lanjutnya.

"Sudah siap, Bos. Ayok!"

***

Sementara di sisi lain, Tama sedang menikmati pemandangan bersama karibnya, Antok, di lereng Gunung Andong. Memang perjalanan yang tak terencana setelah pendakian ini baru direncanakan pada saat nongkrong tadi malam di kafe dengan yang lainnya. Akan tetapi, di antara banyak kawan-kawannya yang lain, hanya Tama dan Antok saja yang berani untuk berangkat.

Di antara teman-temannya di kota, memang hanya mereka berdua yang nampak berbeda dengan teman yang lain yang lebih suka untuk memanjakan diri. Disamping tentu banyak faktor yang membentuk karakter masing-masing personal. Karena sudah pasti, semua sedag mengalami proses kebenarannya masing-masing.

"Kamu baru pertama kali ini ya, Tok, naik gunung terus nanti siang langsung turun lagi?"

"Iya, makanya aku mau kalau hanya Andong, soalnya tidak terlalu tinggi." Kata Antok.

"Aku tahu, diantara yang lain mungkin hanya kamu yang suka menikmati alam meskipun dalam keadaan capek sekalipun. Tapi, tak terlalu banyak mengeluh karena mengerti cara bermesraan dengan alam." Kata Tama dengan gaya sok bijak dan memuji Antok.

"Harusnya kamu bilang gitu sama perempuan, Tam. Bukannya ke aku! Kalau sama cewek mungkin kamu bakal dipeluk atau setidaknya dipukul mesra. Kalau sama aku, ya, edyaaaan!"

"Eh tapi liat, perasaan daritadi memang hanya kita yang aneh." Lanjut Antok sembari mengamati puncak gunung yang begitu ramai dengan kelompoknya.

Mereka lekas memesan kopi dan memang hanya di puncak Andong terdapat warung sederhana seperti ini dengan harga yang masih normal. Tapi kopi itu hanya mengingatkan Tama akan sebuah janji dengan Layla. Tapi sudah menjadi itikad bagi Tama untuk memaksakan sebuah pertemuan.

Pergi bukan berarti meninggalkan, dan sunyi yang lekas datang menyapa bukan berarti sendiri. Perjumpaan bukan hanya masalah sebuah tatapan. Bahkan rindu pun tidak selalu mesti terucap dan tersurat. Sesekali ajaklah rindu memaknai segala rasa yang tersirat.

"Semesta, tidakkah engkau muak? Ataukah ini yang hendak kau nikmati dari aku? "Menari diatas dikotomi kebenaran-kebenaran Sang Angan. Apa ini pengakuan, atau sebatas eksistensi dar rasa itu sendiri yang selalu ingin kau tujukan kepadanya? Sedang para pertapa itu selalu merindumu. Sengaja membodohkan dirinya di depan keramaian."

"Hey, Tam! Malah ngelamun lho!" getak Antok.

Tama hanya melemparkan senyumannya yang memang sedang sangat menikmati suasana ini. Seakan keramain ini tak mengganggunya sama sekali. Bahkan terik matahari yang semakin meninggi tak membuatnya berlari mencari keteduhan.

"Cinta, mengapa engkau tinggal terlalu dalam. Terasa mustahil kosong ini mencampakkanmu dalam seribu bahkan berjuta diam sekalipun. Sisa-sisa angan kini telah berserak dan kukembalikan padamu. Mengerak. Sekaligus tersusun menjadi ruang dimana aku bersandar." Terdengar lirih suara Tama sembari memegang kelopak bunga mungil yang belum sepenuhnya mekar.

"Ngomong apa sih kamu, Tam! Udah ayo turun aja." Ajak Antok yang nampak sudah mulai bosan.

Namun, ketika perjalanan pulang, tiba-tiba... .

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun