Sesampainya di rumah, pertemuan dengan Layla sedikit mengganggu ketenangan batin Tama. Sebuah pertemuan yang selalu didambakan oleh Tama, namun selalu ia seka dan tahan pertemuan-pertemuan yang diniatkan oleh dirinya. Bahkan, sebuah sapaan pun enggan ia ungkapkan demi kerinduan yang terpendam. Kata-kata hanya tersimpan rapi dalam laci tanpa pernah ia utarakan. Suara-suara pun hanya mampu ia titipkan kepada angin yang tak sengaja berlalu.
"Alangkah indahnya jika aku mampu menjadi Qais, sekalipin ia dianggap gila, ia sudah memiliki kepastian dalam hatinya bahwa Layla mencintainya." Kata Tama dalam hati. Perkataan-perkataan kiasan seperti itu sering muncul dalam angannya, tapi tak ada kata penyesalan bagi seorang Tama. Hingga tak terasa malam selalu habis untuk sekedar berbincang dengan ketidakpastian. Hanya saja, makna sebuah rasa itu sendiri bagi Tama tak bisa dianggap sebagai suatu nuansa. Dia memiliki kesadaran akan rasa yang menyapanya yang datang entah darimana.
Kiasan-kiasan yang bertebaran dalam angan itu selalu Tama rangkai dalam kata. Mencoba mencari makna ataupun hikmah dalam segala angan yang sedikitpun tak ada kuasa bagi Tama untuk menciptanya. Bermula dari sebuah pena, kertas, serta kitab yang berada dalam tas semplangnya, Tama mencoba untuk mendokumentasikan angan itu apa adanya ketika menyapa.
Kebiasaan itu bertahan cukup lama, hingga ketika menemukan sebuah kesamaan makna. Sebuah masalah muncul akibat segala coretannya hanya tertuang dalam selembar kertas. Lusuh karena terlalu lama terlipat, hilang, ataupun tulisan yang tidak mulai memudar akibat kadar kelembaban atau terkena hujan menjadi keadaan yang mesti segera dicarikan solusi. Hanya untuk mempermudah mencari dan mengingat apa yang telah disampaikan lewat kiasan-kiasan angan dalam perjalanan hidupnya.
"Ternyata, ini semua juga berkatmu, Laa." Gumam Tama sembari merapikan sisa-sisa kertas bertuliskan coretan-coretannya yang sudah mulai usang. Senyum kecil mulai tergambar pada wajah Tama, bukan karena sebuah pertemuan siang tadi. Melainkan angan yang kembali dan selalu datang menghampirinya. Memberikan senyumannya sekalipun dalam temaram kesunyian. Memberikan pelukannya melekapaskan dekapan akan keresahan-keresahan yang lalu-lalang bergantian menghampiri laju hidup seorang Tama.
Sembari duduk di halaman rumahnya, Tama hanya memikirkan tentang manakah yang terasa nyata? Sebuah pertemuan raga, ataukah angan yang banyak orang anggap sebuah keniscayaan? Kalau hanya sebuah pertemuan, sangat mudah hal tersebut dapat direncanakan. Tapi, bagaimana dengan angan yang selalu muncul tiba-tiba? Apakah itu cinta sejati atau sebatas obsesi? Jangan-jangan itu adalah kesetiaan, atau justru sebuah kebodohan?
***
Suatu hari ketika awan mendung mulai tak sanggup lagi menahan tetesannya, Layla hanya termangu duduk di depan rintihannya. Memandang tetesan-tetesan hujan yang deras, seolah mewakili perasaannya kala itu. Seseorang yang ia cintai telah pergi bersama yang lain. Kebersamaan yang dijaga akhirnya mesti terpisahkan dengan keadaan tersebut. Sedangkan orang tersebut tak pernah merasa bersalah sama sekali atas apa yang telah ia tunjukkan kepada Layla.
Dalam derai hujan kulihat langkah itu tertatih
Detakan langkah itu serasa lantang di tengah guyuran hujan
Memekik rindu di sekujur relung hati
DI tengah kekuyupan pilu, aku menantimu kembali, cinta.
"Maaf, memang ini semua salahku atas apa yang telah aku lakukan kepadamu. Hingga kau pun pergi meninggalkanku. Atas ketidakpekaanku hingga kau tega mengacuhkan aku." Kata Layla kepada hujan kala itu. Sembari merasakan kebimbangan antara ikut merasakan kebahagiaan dengan menanggalkan rasa. Atau diam, dan mencoba setia kepada rasa.
Kini, Layla sudah beranjak dewasa. Lebih dewasa dari yang sebelumnya. Di teras yang sama dengan cahaya Sang Fajar seolah mendekap hangat beranda rumahnya, mengusir hawa dingin pagi hari di tengah musim kemarau ini.