Bewol tidak mengangkat kakinya untuk melaju. Ia seret kaki kanannya ketika mesti beraksi demi menjaga kekompakan dengan kaki kirinya. Dalam hati Bewol hanya bergumam bahwa belum tentu sekali seumur hidup ia bakal mendapatkan kesempatan yang sama. Di saat yang sama, rasa sakit itu justru berbuah keberanian yang lain.
"Yeeeeaaaaaahhhh... akhirnyaaa berani juga aku. Batal sudah!" teriak Bewol sembari melebarkan senyumannya dan lupa dengan nyeri yang dirasakan daerah bagian kaki kanannya. Hati seolah mampu membuang rasa sakit itu terbenam dalam kegemberiaan.
Gus Welly nampak diam saja. Sepertinya priyayi satu itu juga nampak lelah karena mulai ngirit berbicara.
"Perempuan pasti!" singkat Gus Welly seolah memahami ekspresi itu.
"Mungkin kamu tahu, Gus. Tapi kamu tak akan pernah kuat menahannya."
 Jalanan mulai ramai oleh kendaraan, transportasi gojek sangat mudah untuk diakses. Namun mereka mencoba tetap bertahan. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk nglinting tembakaunya. Sesekali Bewol yang berjalan di belakang Gus Welly menepuk pundak beliau seolah mendapatkan energi dari persentuhan itu. Mereka pun mampu menuntaskan ungkapan rasa tulusnya untuk menatap atau bahkan sekedar mendengar seseorang yang telah menjadi sesuatu yang spesial bagi hidup mereka. Beberapa sapaan meski teracuhkan di tengah kerumunan itu, namun mereka hanya sekedar ingin memerdekakan kakinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H