Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negara "Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur"

17 Agustus 2019   15:30 Diperbarui: 17 Agustus 2019   15:34 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posong, Temanggung/dokpri

Hari ini merupakan hari kemerdekaan Bangsaku selepas 74 tahun yang lalu bangsa ini telah memproklamasikan kemerdekaannya. Selama 74 tahun sudah bangsa ini "katanya" telah mandiri. Berjuang untuk mensejahterakan, memakmurkan penduduk Indonesia, serta memberi keadilan untuk seluruh masyarakatnya.

Yang aku tahu sejak kecil, Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke. Terdiri dari beribu-ribu pulau. Luas wilahnya sebagian besar adalah lautan. Diapit oleh 2 benua dan 2 Samudera. Dilewati garis khatulistiwa dan beriklim tropis, sehingga menjadikan tanah di Indonesia ini begitu subur. Ya, itu adalah sepemahamanku ketika aku masih menempuh pendidikan sampai bangku SMP tentang negeriku.

Ketika sudah memasuki bangku SMA aku lebih mengenal Indonesia kearah yang lebih dalam, mengerti tentang perbedaan. Bahwa di negeriku ini banyak terdiri dari banyak suku, etnis, dan agama. Tak semuanya yang menjadi pikiran kita tentang Indonesia sejalan dengan tetangga sebelah. Disaat pertama kali ikut pemilihan presiden, tetangga yang tadinya akur bisa jadi "jambak-jambakan". Ya, itulah pesta demokrasi di negeriku.

Setelah lulus, aku lebih semakin mengenal kompleksitas permasalahan bangsaku ini. Wakil rakyat yang wakil-wakilan, pajak, gaya hidup masyarakat, kasta yang samar, korupsi yang sudah mendarah daging, dan masih banyak lagi yang tidak dapat tertuliskan semuanya. Belum lagi, baru-baru ini pendangkalan nasionalisme yang terus menggerogoti permukaan wajah bangsa Indonesia.

Saya hanya penduduk biasa yang terus dan selalu peduli terhadap bangsaku. Sepertinya seperti itu, kurang lebih. Bangsaku memiliki arti tidak hanya tentang kemajuan bangsa di bidang ekonomi. Akan tetapi meliputi semua aspek yang menjadikan lahirnya sebuah makna tentang "bangsa Indonesia" itu sendiri. Dari masyaratnya, penduduknya, alamnya, infrastrukturnya, ekonominya, dan lain sebagainya.

Menurut saya yang menjadi permasalahan bangsa ini bukan pada ketertinggalan kita terhadap bangsa lain dalam hal teknologi, ataupun dalam bidang pendidikan. Bukanlah korupsi yang terus merajalela, bukan juga tentang radikalisme antar sesama agama yang berdampak kepada agama-agama lain. Yang menjadi masalah adalah bagaimana pembentukan pola pikir ataupun cara pandang para pelajar yang mengarahkan para pelajar kepada arti sebuah kesuksesan dan keselamatan.

Bagaimana tidak? Siapa sekarang yang dalam proses pencarian ilmunya sama sekali tidak ingin sukses ataupun berhasil? Di mana diterapkan sistem ranking dimana hal itu secara tidak langsung berdampak kepada sebuah daya saing diantara sesama pelajar. Itu baru dalam sebuah lajur akademik. Belum lagi dalam hal lainnya, misal tentang cara berpakaian, terkadang menjadi adu gengsi yang bersembunyi di balik hati.

Sehingga ketika sudah memasuki masa peremajaan, hanya dua hal yang akan dihadapi, yaitu ingin menjadi lebih terpandang dengan menunjukkan kesuksesannya ataukah tetap berendah hati dan berkeyakinan bahwa tidak semua pencapaian itu harus ditunjukkan. 

Hal ini sangat didukung oleh media sosial yang saat ini sangat populer sekali di bangsaku. Hampir setiap masyarakat mempunyai akun, dari semua berbagai lapisan masyarakat. Bahkan untuk menghibur dirinya sendiri, para netizen sering memberikan istilah "negara berflower". Dan seperti itu pun mereka bahagia, koq.

Di satu sisi hal itu baik karena semua dapat dengan mudah mengakses segala informasi yang dibutuhkan. Akan tetapi, di sisi lain lebih banyak informasi yang sebenarnya tidak dibutuhkan tetapi menjadi suatu proses pembatasan pola pikir tentang apa itu yang dianggap sebagai suatu keberhasilan. 

Sebagai individu yang dianggap kesuksesan menurut orang awam adalah bekerja dengan gaji yang tinggi, mempunyai rumah sendiri, dan juga mobil sendiri. Goal, tercapai sudah, tinggal bagaimana caranya semakin memperkaya dirinya.

Dan saya disini adalah salah satu penduduk bangsa ini yang gagal, karena saya tidak mempunyai gaji, saya seorang gelandangan, dan saya hanya mempunyai kedua kaki ini untuk menopang saya untuk berpindah tempat. Seorang yang tidak pernah menghiraukan dan eman jika harus hartanya habis hari ini. Sudahlaah!

Di hari kemerdekaan ini, mungkin hanya di Indonesia yang perayaannya paling meriah. Dimana-mana ada bendera, ada syukuran, ada lomba-lomba yang sangat kultural. Banyak sekali kekayaan bangsa ini dalam hal budaya. 

Akan tetapi sekali lagi, para radikalisme itu menggerogoti rasa nasionalisme kita dengan mengatasnamakan agama. Sehingga ada yang ingin sekali menegakkan keadilan atas nama satu agama.

Iya, walaupun saya termasuk dalam agama yang radikalis itu, saya merasa tidak tau harus berbuat apa. Kenapa agamaku menjadi keras? Sejak kapan agamaku menjadi suatu pemaksaan masal? Sejak kapan agamaku jadi ingin menguasai sebuah wilayah? Sejak kapan agamaku mempunyai ego dan nafsu untuk menegakkan keadilan? Kalau saya mengerti ada Yang Maha Adil.

Aneh, mungkin aku yang masih terlalu bodoh dan tidak mengerti apa-apa tentang agamaku, aku hanya orang baru dalam hal agama dibanding para pemuka radikalis itu yang telah banyak belajar di tempat asal agamaku bermula. 

Atau mungkin benar adanya kalau di negaraku Tuhan dan Rasulullah kalah sama peraturan adat bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila? Atau sebetulnya justru keterbatasan kita untuk memahami nilai-nilai tersebut?

Ketika saya menulis ini pun mungkin semua ini hanya pembelaan atas dasar pemikiran saya tentang arti kemerdekaan. Tentang cara pandang saya mengenai sudah hebat seperti ini bangsaku, tetapi mayoritas masyarakat sangat ingin negara ini menjadi nomer satu. Yang di dalam benak saya, bangsa ini selalu menjadi nomer satu.

Masyarakat kita selalu menjadi yang tersibuk, tidak hanya untuk sekedar memberi perut mereka yg lapar, tidak hanya memberi minum pikiran mereka yang haus akan kekayaan, tetapi masih ada sedikit ketakutan dalam diri mereka untuk mencari ketenangan. Siang hari mereka kerja, malam hari masih ada sholawatan, kenduri, kosidahan, atau pengajian-pengajian lain yang selalu mengurangi waktu istirahat mereka.

Bayangkan di negara-negara maju, sehabis mereka lelah setelah bekerja, mereka selalu kebingungan akan melakukan apa, sehingga kebiasaan mereka adalah minum air kehangatan untuk melepas stress yang menghinggapi mereka seharian. Mau menjadi seperti mereka?

Tapi mari kita berpiki positif aja, jangan bandingkan negara kita dengan negara maju, negara kita tidak akan bisa mengejar teknologi dan kemajuan infrastruktur mereka. Akan tetapi, mereka juga tidak akan pernah bisa mengejar keragaman budaya kita dan kekayaan alam kita. 

Yang bisa mereka lakukan hanyalah menggerogoti kekayaan bangsa kita. Karena negara kita merupakan prospek ekonomi yang sangat menjanjikan bagi mereka untuk meraup keuntungan. Tapi, keuntungan seperti apa yang didapatkan?

Kita hanya dibuat selalu bergantung kepada negara-negara lain. Itu wajar, karena kita hidup berdampingan. Tapi sekurang-kurangnya kita juga harus bisa memilah mana yang kearifan lokal, mana yang bermuara ke asing. Dengan tolak ukur itu kita selalu lupa untuk mengenal barang dan jasa lokal karena memang kualitasnya kalah bersaing dengan produk impor.

Merdeka? Sebenarnya tidak. Kita masih terjajah. Penjajah modernitas. Merdeka 74 tahun lalu hanya sebuah formalitas. Bagai selembar ijazah, itu hanya merubah status bangsa ini. Ya'juj Ma'juj semakin berkuasa. Yang selalu bisa kita lakukan hanyalah muhasabah diri, memerdekakan diri. Dan melakukan amar ma'ruf nahi munkar.

Baldatun thayyibatun, bukan baldatun makmuratun. Kita mencari sebuah kebaikan, bukan kemakmuran, kesejahteraan, maupun keadilan. Karena makmur, sejahtera, adil itu semua kehendak Tuhan. Kalau yang kita cari adalah kebaikan, lalu akan berdampak pada berkurangnya ambisi, nafsu, serta ego pada diri kita.

Dan yang terakhir adalah waa Rabbun Ghaffur. Jadi kita melakukan baldatun thayyibatun untuk mendapatkan waa Rabbun Ghaffur. Jadi segala yang kita lakukan melalui lajur yang thoyib, sehingga yang utama dari semua itu adalah pengampunan dari Tuhan. Karena apa yang kita anggap thoyib atau baik, belum tentu itu baik menurut pandangan Tuhan.

Kemakmuran, kesejahteraan, serta keadilan akan mengikuti dengan sendirinya. Yang pasti agama tidak sekerdil hanya untuk mengurus sebuah negara. Agama tidak usah dibela dia tetap akan berdiri. Dan orang-orang baik bukan hanya dari satu golongan atau satu agama saja. Yang baik itu adalah selalu mau mengorbankan dirinya demi kepentingan yang lain.

Merdekakan dirimu sendiri di hadapan Tuhanmu, bukan merdeka dalam pandangan orang lain. Karena jika setiap individu bangsa ini sudah merasakan itu, atau setidaknya mayoritas. Bukan tidak mungkin Bangsa ini akan menjadi merdeka semerdeka-merdekanya.

DIRGAHAYU INDONESIAKU.....................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun