Dengan begitu banyaknya para cendekiawan/wati di negeri ini, tidak pernah permasalahan itu berhenti atau berkurang. Justru semakin bertambah dengan kompleksitas permasalahan yang semakin berbelit-belit. Para cendekia itu tampil dengan membawa kebenarannya untuk memberikan solusi atau jawaban atas segala permasalahan yang muncul.
Dengan era digitalisasi yang mempermudah akses untuk mendapatkan sebuah informasi, justru semakin menguak kebobrokan yang telah terendap selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Mereka yang mendapatkan keuntungan dari segala 'masalah' itu berusaha memupuk segala akses informasi, sedangkan mereka yang haus akan keadilan, mereka menjadi oposisi yang sebisa mungkin harus segera dibatasi ruang geraknya.
Asyik! Peperangan antara yang merasa benar tidak akan pernah terhenti. Baik mengatasnakamakan pembangunan, keadilan, kesejahteraan, HAM, kemajuan, dsb. Pelajaran ekonomi dasar selalu mengajarkan jika kebutuhan manusia tidak pernah puas. Dan terus berputar, ketika satu masalah dapat teratasi, pasti akan muncul masalah yang lain dengan proporsi kebutuhan yang berbeda. Dengan bumbu sifat egosentris yang pasti ada demi sebuah kenyamanan atau rasa aman bagi dirinya sendiri khusunya.
"Kamu merasa kalau Inonesia mulai kehilangan jati dirinya gak?"
"Emmm, biasa aja koq. Tidak mesti juga."
"Kamu gimana sih! Sekali-kali coba update berita." Sembari menyodorkan sebuah laman website salah satu media surat kabar elektronik.
"Terus maumu gimana?"
"Gak peduli banget sih sama negara sendiri!"
"Simbah kan pernah dhawuh, kemana-mana mereka menebar api tapi engkau takut akan kebakaran, mereka suka provokasi tapi tak suka dengan keributan, yang satu menyiapkan kebenaran tetapi yang lain sibuk dengan kepentingan."
" . . . . . ." (Bengong)