Meski banyak para ulama yang menafsirkan kata miskin dengan sikap ketawadhu'an dan selalu dihubung-hubungkan dengan perintah mengeluarkan zakat jadi sebisa mungkin pandangan tentang kemiskinan dihilangkan atau diganti dengan ketawadhu'an. Tapi jika merujuk pada buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelany, justru beliau memandang kemiskinan sebagai suatu batu permata. Apalagi sanggup berkata seperti do'a yang dipanjatkan Rasulullah tadi. Mereka yang eman terhadap harta bendanya dan keduniawiaannya, pujian ataupun masih butuh pengakuan. Mana mungkin mau empati terhadap rasa kemiskinan?
Memang kalau hanya dipandang sebatas mata wadag, tidak ada yang enak sama sekali dengan keadaan tersebut. Tapi, meskipun mereka selalu berusaha kesana-kemari mencari rizki tetap saja hasilnya tak sesuai yang hanya duduk di depan komputer mempermainkan kata-kata atau angka-angka yang tak sekalipun kelihatan wujud aslinya. Berarti ada yang salah dengan pandangan mengenai rizki, harta atau yang semacamnya.
Bahkan untuk berzakat pun, hanya dikhusukan bagi yang mampu. Mampu itu juga sangat luas maknanya. Apalagi zakat atau sedekah. Meskipun tidak memiliki apa-apapun sama sekali, jika kita memberikan senyuman kebahagiaan yang tulus dan ikhlas, itu juga bisa dikatan sedekah. Lalu kenapa mereka sangat sombong dengan kemiskinan. Tanpa kemiskinan, mustahil ada kekayaan. "Jadi lebih beruntung mana antara yang diberi peran sebagai orang miskin atau orang kaya? Bukankah seseorang tidak bakal diuji melebihi kapasitasnya?" lanjutnya.
"Emm, tapi dengan kekayaan kita bisa memakmuran negara ini."
"Lha negeri kita ini sudah sangat kaya, tapi lihat. Hanya mereka yang berkepentingan yang hanya mendapatkan bagian. Udah gitu, udah disuruh bayar pajak lagi buat mereka-meraka dengan mengatasnamakan pembangunan. Kurang baik hati gimana lagi coba masyarakat kita?"
"Tapi, kita juga mesti tahu diri. Salah seorang istri Rasul juga pernah mendoakan hal serupa seperti apa yang kamu utarakan. Sesuatu yang berujung pada kesenangan. Lantas Rasulullah langsung memberi nasihat setelahnya, daripada kamu meminta sebuah kesenangan yang Allah sudah menggariskannya, lebih baik kalau kamu meminta keselamatan. dan keselamatan itu tidak melulu berbentuk kebahagiaan. Dari kemiskinan bahkan sampai sebuah kematian pun jika kamu memiliki kebijaksanaan berfikir. Hal-hal yang berkonotasi negatif tersebut akan mampu dimaknai dengan sebuah keselamatan. Bukannya tiada daya ataupun kekuatan yang terjadi di dunia ini tanpa ijinNya?"
"Berarti Indonesia seperti ini juga karena ijinNya?"
"Kita seharusnya merasa beruntung dan berterimakasih atas segala kompleksitas permasalahan yang melanda negeri ini. Tidak semuanya dapat memiliki pengalaman belajar seperti ini. Â Tidak semua negara masih mampu bertahan seperti negeri ini dengan masalah-masalah yang datang silih berganti. Bahkan negara-negara notabene sangat memegang nilai Islam pun porak poranda oleh bisikan-bisikan kepentingan perpolitikan."
"Tapi, kan... ."
Dengan momentum tirakatan yang pasti akan banyak dilaksanakan di berbagai tempat nanti malam, selain kebahagiaan dan kebersamaan. Apakah ada yang berani merekonstruksi ulang cara berpikir tentang negara yang amat teramat sangat berlimpah naungan rahmat, barokah, pun kasih sayangNya?
Akan ada masa-masa itu datang. Dimana generasi tersebut sangat mencintaiNya, begitupun sebaliknya. Mereka tidak akan menjadi besar atau menampak-nampakkan diri dengan segala kebenarannya kecuali memang atas pertolonganNya.