Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyelami Samudera Nalar

15 Juli 2019   16:29 Diperbarui: 15 Juli 2019   16:35 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah obrolan kecil bersama kawan selalu bisa menimbulkan banyak potensi pertanyaan untuk kembali dimaknai. Bisa terjadi dimana pun atau kapan pun. Karena sama sekali daya fikir ini masih penuh dengan ketidaktahuan untuk memahami setiap argumen yang dilontarkan. Maupun ketidakenakan hati untuk menyanggah seketika argumen tersebut.

Banyak sekali ilmu yang bisa diambil jika kita tidak meninggikan ego kita atas kawan yang sedang menyatakan pendapatnya. Asalkan kita memiliki kemandirian berfikir yang terbentuk atas dasar segala ilmu berasal dariNya dan tidak ada satupun ciptaanNya yang sia-sia. Namun pada zaman sekarang, atas suatu percikan ilmu yang dipercikanNya pun, meski itu se-zharrah, malah justru semakin menambah keangkuhannya. Sehingga saling merendahkan tak bisa terelakkan. Antara satu dengan yang lain saling berebut kebenaran yang semu, bahkan secara tidak sadar malah melelahkan mereka.

Darimana ilmu itu didapatkan? Lebih banyak dari apa yang kita dengar apa dari yang kita lihat? Kenapa untuk mencari ilmu mesti mencari seorang guru yang tepat?

Ilmu sering kita sangka akan banyak didapatkan di lembaga pendidikan. Dengan slogannya tuntutlah ilmu setinggi langit yag sering terpampang di dinding-dinding sekolah. Jika memang seperti itu, kenapa lembaga pendidikan itu tidak membagi rata ilmu yang menjadi barang jualannya kepada murid-murid yang menempuh pendidikan itu? Bukannya semua mengeluarkan biaya yang sama untuk membeli ilmu di sekolah? Nyatanya, mereka yang telah selesai menempuh jenjang pendidikan tertentu pun antara satu dengan yang lain belum tentu membawa muatan ilmu yang sama. Lantas buat apa aku mencari ilmu di sekolah jika pada akhirnya hanya memberikan gelar pintar dan bodoh. Lhah, lembaga pendidikan tersebut kalau begitu tidak adil dong? Gimana, sih!

Akan dipaksa seperti apapun jika kita menuntut ilmu di tempat yang kita tidak merasa nyaman akan terasa menjenuhkan, bukan? Seperti ilmu-ilmu yang dimaksa masuk ke pemahaman kita disaat menempuh pendidikan selama beberapa tahun yang 'sedikit' membuang waktu. Tapi apa lah daya, selembar ijazah pada jaman sekarang sangatlah mempengaruhi masa depan daripada kepercayaanNya terhadap Sang Maha. Masing-masing dari kita memiliki sebuah tempat sebagai wadah ilmu. Dengan berbagai merk yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dimana kedepannya, wadah ilmu tersebut sangatlah perlu untuk kita kenali untuk mengetahui atau niteni fadhillah apa yang diberikan kepada kita.

Jurang kepintaran dan kebodohan sesungguhnya tidak ada. Pintar hanya berlaku pada moment dan ruang tertentu. Misalnya , dulu seorang kawan dianggap sangat jenius terhadap mata pelajaran yang diberikan, tapi saat di arena olahraga, ia tidak sepintar, selincah atau segesit kawan-kawannya yang bodoh di dalam kelas. Ini sangat umum terjadi di lingkungan pendidikan. Tapi apa yang umum ini sudah menjadi hal wajar, dan dibiarkan begitu saja.

Ilmu itu datang atas dasar hidayah yang diberikanNya sehingga timbul keinginan untuk mengetahui ilmu tersebut. Kalau tidak ada keinginan untuk mengetahui, bagaimana ilmu itu bisa melekat? Kecuali hanya lewat begitu saja.

Itu di lingkungan umum, beda cerita pula ketika kita berada di lingkungan pesantren. Untuk memahami Al-Qur'an pun yang sebenarnya sudah settled dengan chip yang tertanam dengan diri kita, dibutuhkan jalan untuk melalui beberapa kitab gubahan para pujangga pada zamanNya. Sebenarnya mempermudah atau justru merumitkan? Tergantung kondisi seberapa settled kita untuk nyambung terhadap ilmu yang dituju. Yang kebanyakan, kitab buatan manusia pada akhirnya malah lebih merumitkan. Kitab satu dengan yang lain terdapat pertentangan-pertentangan yang satu ketika seperti obat penawar. Namun, di waktu lain bisa menjadi seperti racun.

Bisakah kita langsung memiliki kepercayaan bahwa aku mendapatkan ilmu pun karenaNya. Guru hanyalah perantara, literasi hanyalah sebuah proses pengembaran akal untuk kemandirian dan mengasah akal. Hingga ilmu itu sebenarnya ada dalam diri kita, dalam sesuatu yang lebih dikenal dengan bashirah. Sebuah penglihatan yang berasal dari entah. Dimana disitu, kita akan lebih mengenal mana yang sejati atau mana yang sekedar tipu daya. Bashirah itu sendiri selalu memberikan penglihatannya meskipun nafsu kita selalu memperdaya dengan segala nikmat dunia. Dan pada ilmu itu sejatinya akan lebih banyak didapatkan dari sesuatu yang kita lihat, daripada apa yang kita dengar.

Terdapat kitab Allah dengan segala ayat-ayatNya yang terhampar luas di dalam semesta. Dia tidak tertulis melainkan hanya terbatas tersirat dan kita membutuhkan pinjaman penglihatan tersebut untuk menggali ilmu-ilmu yang lama tertimbun pada samudera nalar kita. Sebuah ruang yang tidak dapat kita jamah sama sekali. Namun pengetahuannya tidak berbatas apabila kita terus menyelaminya. Untuk menemukan mutiara dalam samudera nalar yang terhampar luas dalam akal pikiran kita, pastinya dibutuhkan kesadaran untuk lebih mengenali segala seuatu yang telah dititipkan kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun