Masih berbicara tentang nikmat. Lihatlah betapa manusia-manusia hidup saling mencintai antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Begitu banyak kisah romansa yang sangat fenomenal. Bahkan segala film akan semakin banyak peminatnya jika mengandung unsur cinta. Untuk membutuhkan seorang tokoh heroik pun membutuhkan cinta entah kepada sesama manusia atau keselamtan alam semesta.
Sudah pasti jika semuanya diciptakan berpasang-pasangan. Dan banyak dari itu dipersatukan dengan suatu pernikahan. Tumbuhan ataupun hewan menikah karena insting mereka entah untuk menyalurkan hasratnya atau untuk memperbanyak keturunan. Namun, apakah hewan atau tumbuhan punya kesadaran untuk memperbanyak keturunan? Kalau begitu, hasrat menjadi alasan mereka untuk saling bercinta. Perjuangan pun dibutuhkan untuk mendapatkan pasangan sebagai penyalur hasratnya.
Lantas bagaimana dengan manusia?
Siap-siap saja para ahsanu taqwin yang belum menikah menjelang usia 30 tahun. Serangan pertanyaan begitu masif menerjang tak henti layaknya ombak yang selalu berderai, terutama pada masa bulan syawal. Kekebalan diri akan segera diuji. Memilih jatuh, tegar, atau cuek. Yang memasang diri sok tegar pun terkadang di tempat lain juga mengeluhkan permasalahan yang sama di tempat yang lain.
Kebetulan, temaram waktu itu mengumpulkan kami bertiga. Tentu saja ini hanya salah satu cara pandang mengenai pernikahan itu sendiri. Dengan akal yang sangat teristimewa terkadang masih membutuhkan strategi khusus untuk menyelamatkan manusia dari nafsunya sendiri. Siapa yang tidak suka kebersamaan? Siapa yang tidak suka dengan kehangatan sebuah kasih sayang? Sebenarnya bukan ranah kuasa juga kami meraba-raba tentang pernikahan disaat kami semua belum ada yang menikah di mata pandang pada umumnya.
"Pingin gak to kamu ini sebenarnya menikah?"
"Tidak ada satupun di dunia ini yang tidak ingin menikah, kecuali mereka melakukan tirakat-tirakat tertentu."
"Lalu, kenpa kamu belum menikah?"
"Jodoh aja belum dapet." (jawaban yang umum diungkapkan karena setidaknya untuk menghargai yang memberikan pertanyaan)
Jodoh di sini apakah membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya? Tergantung. Terutama pada bagaimana kamu memproporsikan cintamu yang menyangkut tentang konsep sebuah pernikahan. Sebagai contoh, proporsi cinta antara raja/penguasa dengan guru/ulama pasti sangat berbeda. Antara si pendaki gunung dan penyelam pasti juga berbeda. Tapi pada umumnya jodoh itu adalah cerminan dari diri kita. Atau setidaknya suatu pasangan pada akhirnya akan saling melengkapi satu sama lain.
"Apakah manusia juga merajut sebuah hubungan karena hasrat?"
"Heh, ngawur kamu! Kan banyak dalil tentang anjuran tentang menikah."
"Lantas, kamu sendiri mengerti tentang kenapa banyak dalil-dalil itu?"
"Menikah itu yang pasti menyempurnakan ibadah kita."
"Menyempurnakan seperti apa? Kalau memang menikah itu menyempurnakan kenapa ada perceraian? Atau dengan kata lain 'batal' ibadahnya, kenapa? Apa yang menyebabkan batal? Di saat pernikahan itu suci karena memang pernikahan itu ide dari Tuhan langsung untuk menjodoh-jodohkan hamba-hamba-Nya."
"Kalau pada akhirnya bercerai, berarti bukan jodohnya. Masih memerlukan lagi belajar tentang pernikahan itu sendiri dimana di dalamnya terdapat berbagai dimensi bersama yang mesti dan selalu diperjuangkan bersama. Menyatukan dua insan menjadi satu."
"Kalau menurutku sederhana, dengan hanya konsep tentang menikah dengan begitu banyak dalil ataupun pahala yang termuat, secara tidak langsung hal tersebut membentuk sebuah adab di mana untuk membatasi nafsu manusia itu sendiri. Bayangkan saja, hanya dengan menikah hubungan intim baru bisa dinilai halal atau sah. Kalau tidak ada hukum menikah?"
"Wah, gawat men! Nilai tentang manusia itu sendiri mungkin sudah hilang. Aku sendiri suka membayangkan kalau kelak kita menikah kita seperti dimandati sebuah hak yang sama sekali kita tidak mampu menciptakannya, bahkan sehelai rambutnya pun. Bahagia!"
"Tapi ingat, jangan menikah kalau tujuanmu hanya bahagia. Karena di sana akan ada segelintir ujian yang mesti kamu dan pasanganmu taklukkan bersama. Di situ akan ada jurang kesedihan, kebohongan, kecemburuan, bahkan ketidakpuasan.Oleh karena itu, dari awal banyak kesepakatan yang mesti diperhitungkan untuk melewati rintangan pengalaman ini."
"Lalu, kapan kamu nikah, cuk!"
"Aku sudah menikah, masa kamu gak tau?"
Percakapan antar muda-mudi itu pun berlangsung semalaman. Sampai pada titik di mana mereka mesti memaknai sebuah pernikahan itu membutuhkan suatu pondasi yang bisa dianggap sepele, tapi justru menjerumuskan. Ya, cinta. Banyak muda-mudi memutuskan pernikahan atas dasar cinta. Namun, cinta seperti apa? Cintanya yang terkandung terdiri atas komposisi sayang, nafsu, gengsi, atau materi. Kalau dihitung-hitung berapa presentasenya?
Kita sering terjebak pada makna cinta. Gombalan-gombalan akan cinta sebenarnya hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Atau sederhanya kita mencintai orang lain dimana pada saat yang sama kita membutuhkan balasan perasaan yang sama terhadap orang tersebut. Apakah kalau dia tidak mencintaimu, kamu masih bisa berharap untuk terus mencintainya? Sangat jarang di zaman sekarang seperti ini kita bisa menemukan orang-orang seperti Qais dalam kisah Majnun dan Layla.
Toh karena pernikahan itu sendiri, pada akhirnya kita juga melihat perceraian, kehilangan, perpisahan. Gembel emang semua yang menyepelekan sebuah pernikahan dengan tujuan kenikmatan. Kalau sudah tidak lagi terdapat kenikmatan, tinggal cari saja yang dapat memberikan nikmat. Oke, anggap saja perceraian itu halal, namun kenapa dibenci oleh Rasulullah bahkan oleh Allah? Jadi, jangan main-main dengan sebuah rasa, disaat kamu sendiri seolah-olah bisa menciptakan perasaan itu.
"Sek... sek bentar, apa maksudmu kalau kamu sudah menikah?"
"Kamu sih terlalu baku memaknai pernikahan itu sendiri. Yang kamu lihat tentang pernikahan adalah apa yang selama ini kamu lihat dengan mata. Kalau memang semuanya diciptakan berpasang-pasangan, lalu bagaimana dengan makhluk lain selain manusia. Yang menikah atas dasar meneruskan keturunan. Apakah mereka (makhluk lain) lantas dianggap berzina karena tidak memenuhi syarat-syarat pernikahan seperti yang telah kita ketahui? Jangan jadi sok suci, sok paling berakal, sok tinggi derajatnya."
"Ketika dirimu dipenuhi dengan cinta, kamu mungkin akan mengalami berbagai dimensi pernikahan itu. Pernikahan kepada semesta atau pernikahan kepada rasa itu sendiri. Hanya masalah setia tidaknya dirimmu terhadap apa yang kamu cinta hingga berefek pada rasa memiliki dan bertanggung jawab kepadanya atas dasar cinta. Sampai menjadi budaknya, karena di saat mencinta tidak ada yang namanya pengorbanan. Kamu hanya berjalan, berjuang terus tanpa henti untuk berbagi kebahagiaan. Dan sepengatahuan kita pada umumnya hanya terbatas antara sepasang laki-laki dan perempuan. Meskipun itu bisa berlaku pada siapa dan apa saja. Karena semuanya adalah manifestasi akan cinta-Nya."
"Toh, pada akhirnya pernikahan itu mendewasakanmu dalam perjuangan yang tiada henti. Apalagi takut tidak kebagian meski telah ditetapkan dalam Lauh Mahfuz. Masalah dipersatukan atau tidak dalam dunia, tergantung prasangkamu. Tapi tenang saja, Dia tahu kekhawatiranmu, koq."
"Iya dong, salah satu tujuan kita menikah kan biar punya keturunan yang kelak disemogakan dapat mendoakan kita."
"Dasar, kepinginnya untung terus! Kalau gitu gak usah pilih-pilih juga kalau mau menikah."
Hanya saja, suara kokok ayam memaksa kami untuk menghentikan obrolan yang sama sekali bukan maqom kami untuk mendiskusikannya. Namun, tak apalah menjadi para pecundang. Setidaknya silaturrahmi merupakan satu-satunya jalan menuju pernikahan. Dan semoga semua dilancarkan rasa cintanya menuju sebuah pernikahan dengan penuh Rahmah dan Waddah-Nya untuk menuju Sakinah. Amiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H