Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Obrolan Para Pecundang: Kenapa (Baiknya) Menikah, Cinta atau Nafsu?

2 Juli 2019   16:31 Diperbarui: 2 Juli 2019   16:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sering terjebak pada makna cinta. Gombalan-gombalan akan cinta sebenarnya hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Atau sederhanya kita mencintai orang lain dimana pada saat yang sama kita membutuhkan balasan perasaan yang sama terhadap orang tersebut. Apakah kalau dia tidak mencintaimu, kamu masih bisa berharap untuk terus mencintainya? Sangat jarang di zaman sekarang seperti ini kita bisa menemukan orang-orang seperti Qais dalam kisah Majnun dan Layla.

Toh karena pernikahan itu sendiri, pada akhirnya kita juga melihat perceraian, kehilangan, perpisahan. Gembel emang semua yang menyepelekan sebuah pernikahan dengan tujuan kenikmatan. Kalau sudah tidak lagi terdapat kenikmatan, tinggal cari saja yang dapat memberikan nikmat. Oke, anggap saja perceraian itu halal, namun kenapa dibenci oleh Rasulullah bahkan oleh Allah? Jadi, jangan main-main dengan sebuah rasa, disaat kamu sendiri seolah-olah bisa menciptakan perasaan itu.

"Sek... sek bentar, apa maksudmu kalau kamu sudah menikah?"

"Kamu sih terlalu baku memaknai pernikahan itu sendiri. Yang kamu lihat tentang pernikahan adalah apa yang selama ini kamu lihat dengan mata. Kalau memang semuanya diciptakan berpasang-pasangan, lalu bagaimana dengan makhluk lain selain manusia. Yang menikah atas dasar meneruskan keturunan. Apakah mereka (makhluk lain) lantas dianggap berzina karena tidak memenuhi syarat-syarat pernikahan seperti yang telah kita ketahui? Jangan jadi sok suci, sok paling berakal, sok tinggi derajatnya."

"Ketika dirimu dipenuhi dengan cinta, kamu mungkin akan mengalami berbagai dimensi pernikahan itu. Pernikahan kepada semesta atau pernikahan kepada rasa itu sendiri. Hanya masalah setia tidaknya dirimmu terhadap apa yang kamu cinta hingga berefek pada rasa memiliki dan bertanggung jawab kepadanya atas dasar cinta. Sampai menjadi budaknya, karena di saat mencinta tidak ada yang namanya pengorbanan. Kamu hanya berjalan, berjuang terus tanpa henti untuk berbagi kebahagiaan. Dan sepengatahuan kita pada umumnya hanya terbatas antara sepasang laki-laki dan perempuan. Meskipun itu bisa berlaku pada siapa dan apa saja. Karena semuanya adalah manifestasi akan cinta-Nya."

"Toh, pada akhirnya pernikahan itu mendewasakanmu dalam perjuangan yang tiada henti. Apalagi takut tidak kebagian meski telah ditetapkan dalam Lauh Mahfuz. Masalah dipersatukan atau tidak dalam dunia, tergantung prasangkamu. Tapi tenang saja, Dia tahu kekhawatiranmu, koq."

"Iya dong, salah satu tujuan kita menikah kan biar punya keturunan yang kelak disemogakan dapat mendoakan kita."

"Dasar, kepinginnya untung terus! Kalau gitu gak usah pilih-pilih juga kalau mau menikah."

Hanya saja, suara kokok ayam memaksa kami untuk menghentikan obrolan yang sama sekali bukan maqom kami untuk mendiskusikannya. Namun, tak apalah menjadi para pecundang. Setidaknya silaturrahmi merupakan satu-satunya jalan menuju pernikahan. Dan semoga semua dilancarkan rasa cintanya menuju sebuah pernikahan dengan penuh Rahmah dan Waddah-Nya untuk menuju Sakinah. Amiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun