Photo Exhibition 'SYARAT-ISYARAT' at Vibrant House by Dini Failasufa
Di sebuah sudut Kota kecil ini, sekumpulan pemuda dengan ide-ide kreatifnya sering membuat acara semacam sebuah ruang ekspresi -baik tentang literasi, design, fotografi,maupun musik- yang selalu identik dan kental dengan semangat jiwa muda. Dengan konsep yang sederhana mereka selalu bisa menciptakan suasana yang gempita nan ekspresif.
Acara mulai dibuka sekitar pukul 20.00 dan langsung disuguhi dengan penampilan akustik dari Mas Peppi/Layur. Dentingan dawai gitar ini seperti menyambut para tamu atau kolega yang lambat laun mulai berdatangan silih berganti.
Malam ini bisa dibilang adalah hajatan acara sebuah pameran tunggal fotografi di tempat tersebut. Dengan artis utama Dini Failasufa, seorang fotografer dari salah satu media surat kabar terkemuka di negeri ini. Sebuah acara pertama bagi Dini sendiri yang kurang lebih sudah 3 tahun berada di dunia fotografi.Â
Yang mesti merantau ke kota besar demi memenuhi hasrat melakukan sebuah peran lakon lakunya di dunia. Tentunya visual yang akan disajikan selain menampilkan cerita-ceritanya yang tersirat dan mampu dimaknai bermacam tafsir, adalah bagaimana seorang Dini menjawab tantangan kepada semesta yang menurutnya mesti segera dijawab.
Setelah sambutan singkat, para tamu dipersilahkan masuk ke ruang pameran. 'Syarat -- Isyarat' yang menjadi tema pameran ini langsung memberikan auranya sendiri setelah memasuki ruangan ini. Seorang fotografer memang seharusnya tetap menjaga karakteristiknya sendiri. Begitu pun semua gambar yang tersaji rapi seperti isyarat sendiri bagi Dini untuk menunjukkan karakternya. Beberapa judul memaparkan perjalanan dirinya selama ini dalam dunia fotografi.
Pertama-tama Dini menyampaikan jika pameran tunggal pertamanya ini terselenggara sebagai jawaban atas tantangan dari koleganya, Mas Toyib terutama atas keresahan-keresahan yang sering dialami oleh Dini sendiri. 'Syarat' sendiri adalah bagaimana foto-foto yang tersaji adalah sebuah eksplorasi terhadap pekerjaan sebagai seorang juru foto. Sedang 'isyarat' menjelaskan bagaimana foto itu menjelaskan ideologi pemikiran Dini sendiri secara internal.
Lalu, Dini menceritakan perjalanannya sebelum melekat identitasnya sebagai seorang juru foto. Dini yang dulunya hobi mengambil gambar meski meminjam kamera punya temannya. Akhirnya memutuskan untuk menghadiahi dirinya sendiri disaat ia lulus dari jenjang perkuliahan psikologi yang ditempuhnya. Bagaimana soerang psikolog mempersenjatai dirinya dengan kamera? Bukan meneruskan perjalanan sesuai jalurnya namun malah memilih mendaftarkan diri di suatu media surat kabar. Menarik, kan?
Meski awalnya hanya berniat untuk coba-coba belajar selama 3 bulan, namun semesta berkata lain menurutnya. Selain sesuai dengan hobinya, ternyata di perjalanan barunya, Dini dapat lebih mengasah ketrampilan fotografinya. Â Bagaimana cara menuangkan keresahan-keresahan lalu divisualisasikan menjadi sebuah objek gambar yang dapat dinikmati banyak orang. Dan bagi Dini pribadi pameran-pameran seperti ini tidak terlalu penting-penting amat. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa eksistensi dirinya bukan menjadi tujuan menggeluti dunia fotografi.
Salah satu seniornya, Mas Nugroho tak ketinggalan memberikan apresiasi pada Dini malam itu. Mas Nugroho sendiri menganggap dini sebagai seorang perempuan yang berani dan selalu berusaha maksimal. Sebelum acara ini, karya kolabarasi antara Dini dan Mas Nugroho mampu menembus sebuah story photo exhibition di Jerman dengan tema 'Women, Culture, Fisherman'.
Sebuah perjalanan tak akan menemukan keindahannya tanpa menemukan jatuh ataupun likunya, begitupun dengan Dini. Beban yang dirasakan pada tahun pertama sempat membuatnya merasa tidak kuat untuk terus berada di lingkungan surat kabar. Bagaimana tugas dan deadline mesti terselesaikan dengan tenggat waktu tertentu.Â
Bagaimana mesti dikejar petugas keamanan dan mesti berurusan dengan keamanan tersebut sampai nangis. Pun dengan pengalamannya diincar bos premannya Pasar Johar karena telah mengambil gambar tanpa seijinnya. Tapi akhirnya, segelintir pengalaman tersebut justru secara tidak langsung membawanya ke fotografi dokumenter pada tahun kedua. Yang dimaknai oleh Dini sendiri sebagai panggilan semesta. "Saya harus bisa nulis", kata Dini mengisyaratkan bahwa tulisan cerita perjalanannya mesti terus dilanjutkan.
Jika waktu menjadi sebuah syarat menembus keabadian, maka biarkanlah setiap jejak pertemuan menjadi sebuah laku isyaratnya. Pun jika pada akhirnya setiap rekam ingatan hanya meninggalkan angannya yang tersirat, maka biarkan makna tetap memeluknya erat. Teruslah menari di panggung semesta, sampai pada akhirnya berhasil mengenal bahkan menaklukan diri. Selamat dan sukses selalu!
Magelang, 30 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H