Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hujan Pengalaman di Mocopat Syafaat

19 Maret 2019   16:19 Diperbarui: 19 Maret 2019   17:05 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa hujan tak kunjung reda setelah seharian ini? Ada apa gerangan? Apakah karena sedang banyak orang yang merindu? Sehingga hujan terlihat sangat setia menemani agar suasana nampak semakin sendu. Dengan gemercik airnya bak mewakili tetesan ratapan hati yang mengendap di lubuk hati. Walaupun secara ilmu meteorologi dan klimatologi, ada sebab hujan seperti itu bisa terjadi. Pawang hujan pun seperti sudah pensiun semua seolah terkubur oleh zaman modernitas. Terserah kalian mau memaknai hujan ini seperti apa, yang pasti jangan sekali-kali meremehkan pertanda alam. Karena itu merupakan bahasa komunikasi Tuhan kepada kita untuk lebih bermesraan, menurutku.

Jadi, seluruh jamaah yang bersedia datang ke Mocopat Syafaat pada malam ini terlihat seperti para pejuang. Menerjang hujan yang mengguyur, menahan dingin yang menusuk tulang, bahkan rela untuk duduk rapi di atas tanah yang tergenang air, seolah tak peduli lagi akan fungsi celana dalam yang menurun apabila dipakai dalam keadaan basah. Walaupun waktu telah menunjukkan pukul 21.00,halaman TKIT masih terlihat sangat lengang. Di sini mereka rela menunggu dengan keadaan hujan deras dan basah. Apalagi hanya untuk menunggu jodoh, bersabar ketika pasangan sedang marah, ataupun kejernihan berpikir disaat menahan tekanan dari luar. Kasih sayang Sang Maha Mencinta seolah bermanifestasi dalam sosok-sosok jamaah yang setia pada malam itu.

Setelah pembacaan surat Al-A'raf, Mas Helmi, Pak Munir, bersama dengan Wakijo lan Sedulur mulai mengisi panggung yang sedari tadi nampak sangat lengang. Mas Helmi mulai menceritakan tentang musibah banjir yang melanda saudara-saudara kita yang berada di Ngawi dan sekitarnya beberapa waktu yang lalu. Menjelaskan sedikit tentang posisi dan peran maiyah terhadap segala bentuk bencana yang kerap terjadi. Kemudian, Mas Islamiyanto menjelaskan juga tentang sebuah pelajaran yang dulu sering disampaikan oleh simbah-simbah kita yang kini mulai memudar. Lewat senandungnya, Mas Islamiyanto menyampaikan sebuah pesan jika kita lebih baik menjadi orang baik daripada menjadi orang pintar, atau syukur bisa menjadi orang yang baik sekaligus pintar.

Pak Munir dengan segala basic keilmuannya tentang perdagangan menyampaikan pula beberapa poin yang mesti diperhatikan kembali oleh jamaah maiyah. Pak Munir menyampaikan bahwa kekayaan itu adalah suatu aset titipan. Konsep miskin seperti memiliki sepuluh tapi hanya mengambil satu, sedangkan fakir punya satu, tapi menginginkan sepuluh. Jadi,  miskin atau fakir itu memiliki perbedaan bukan pada sisi materi, namun lebih mengarah pada perilaku atau mental. 

Dari hal ini, kita mungkin diarahkan untuk berfikir, kenapa dahulu Kanjeng Nabi lebih memilih untuk hidup miskin? Disaat beliau diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi Nabi terkaya. Banyak akhlak yang mungkin lebih bisa dan lebih mudah untuk dicontohkan, mengingat kebanyakan umat Nabi juga orang-orang yang tidak punya. Profesi Kanjeng Nabi sebagai seorang pedagang menjadikan banyak ilmu yang diambil oleh Pak Munir. Salah satunya Pak Munir juga menyampaikan bahwa inti orang berdagang adalah sikap profesionalitas sebagai segala ejawantah cinta.

Malam ini, personil Kiai Kanjeng nampak tidak komplit dikarenakan sedikit ada kemesraan dengan alam di beberapa rumah tinggal personil Kiai Kanjeng yang menjadi kendala untuk datang ke Mocopat Syafaat malam ini. Begitu pula dengan Pak Muzzamil yang kedatangan tamu tak terduga dengan jaraknya yang menurut Mas Helmi sebagai pewarta pesan mungkin sudah sangat dekat. 

Terlebih bagi Mbah Mus, salah satu artis yang selalu memberi warna dengan puisi-puisi indahnya. Tampaknya juga berhalangan hadir pada malam ini. "Di tanah yang kering saja susah untuk beliau berjalan, terlebih di tanah yang becek." sambung Mas Helmi mengungkapkan kerinduannya kepada Mbah Mus yang mesti terpendam pada kesempatan malam ini. Kita hanya perlu memaknai hujan ini sebagai hujan pengalaman dalam perjalanan malam ini.

Lagu shalawatan dibawakan dengan nusansa yang berbeda oleh Wakijo lan Sedulur. Grup musik dari Semarang ini juga sering menjadi tamu di beberapa simpul maiyah di berbagai daerah. Walaupun semua lagu shalawat dibawakan dengan nusansa yang berbeda, namun hal tersebut tak mengurangi sedikitpun makna dari shalawat. Apalagi kolaborasinya dengan hujan yang enggan untuk mengurangi intensitas curah airnya, membentuk suasana dan hikmat tersendiri yang mungkin hanya pada kesempatan ini kita mendapatkan kemesraan seperti ini.

Beberapa jamaah diberikan kesempatan untuk bertanya, yang dibarengi dengan naiknya Mas Sabrang ke atas panggung. Langsung saja, Mas Sabrang diaturi untuk menjawab langsung pertanyaan dua jamaah pertama. Yang pertama lebih fokus ke kafir, yang menurut Mas Sabrang kafir sendiri adalah menutupi kebenaran akan sesuatu. Namun, sepertinya jawaban pertanyaan ini menjadikan jamaah penanya lebih memberanikan untuk membuka diri untuk menceritakan permasalahan pribadi yang sedang dialami rumah tangganya. 

Begitupun dengan jamaah kedua, yang menanyakan tentang bagaimana mengatasi kritik yang mengalami dirinya. Mas Sabrang menanggapinya dengan beragumen bahwa kritik sendiri memiliki potensi membangun kalau memang itu fakta dan mengandung kebaikan. Apabila diluar fakta dan kebaikan, kritik tak lebih hanya sekedar nyinyir-nyinyiran orang yang terlalu perhatian kepada apa yang sedang kita alami.

Mas Sabrang terlihat sabar menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang terus dikejar oleh dua jamaah pertama tadi. Mas Sabrang kemudian menyimpulkan jika segala sesuatu yang terjadi adalah pengalaman yang suatu saat menjadi ilmu untuk membereskan suatu permasalahan. Jadikan pengalaman sebagai manifestasi ilmu dan pengalaman buruk memiliki potensi lebih dibandingkan dengan pengalaman baik. 

Hal ini sangat berkaitan dengan rasa yang mungkin lebih terlatih oleh karena pengalaman buruk yang didapatkan. Resolusi rasa menjadi semakin lebih tajam dan peka. Segala pengalaman yang dahulu dianggap buruk, mungkin hanya presisi cara pandang kita terhadap nikmat Allah saja yang kurang pas. Sehingga menyangka pengalaman sebagai suatu keburukan. Tidakkah setetes embun pun perlu legalitas ijin dari Allah? Begitu pula dengan segala pengalaman yang kita alami, baik dan buruk tak lebih hanya sangkaan kita pada waktu itu.

@windriastriyani
@windriastriyani
Setelah lebih dari tengah malam, Mbah Nun bersama dengan Pak Herman, Pak Tanto akhirnya ikut membersamai para jamaah dengan hadir di atas panggung. Akhirnya kehangatan malam itu, semakin terasa lebih nikmat atas kehadiran wujud beliau-beliau. Disamping itu, ikut hadir pula Mba Anggi, salah satu calon anggota Wakil Rakyat yang menyandang disabilitas. Mba Anggi diberi kesempatan untuk menyampaikan visi dan misinya ketika kala itu yang pada intinya Mba Anggi akan fokus dan lebih memperhatikan para penyangga disabilitas yang mungkin selama ini menurut Mba Anggi kurang lebih nampak kurang diperhatikan, khususnya oleh pemerintah. 

Uniknya, Mba Anggi ini menjadi calon wakil rakyat tanpa poster apapun seperti para calon-calon yang lain. Mungkin ini yang membuat manusia sekelas Pak Tanto pun terlihat sangat perhatian atas apa yang diperjuangkan oleh Mba Anggi. "Walaupun, partaimu ki yo Asu!" celoteh khas Pak Tanto dengan penuh canda yang sangat melekat pada malam itu.

Kematian Adalah Nasihat Terbaik

Hujan masih sangat setia cukup deras kala itu. Melihat hal tersebut, Mbah Nun tak lelahnya menyampaikan pesan hampir disetiap perjumpaan dengan para jamaah agar jangan sampai kita kehilangan nikmat dalam setiap urusan di dunia ini. Dan malam ini, Mbah Nun menyampaikan beberapa pesan yang terkesan serius. Antara April-Oktober menjadi ujian yang akan dialami oleh bangsa ini karena akan terjadi beberapa kejadian yang pasti membutuhkan pertolongan Allah.

"Kalau kita pernah mengingkari kebenaran, bersegeralah untuk membenahi selagi ada waktu" nasihat Mbah Nun. Kata-kata Mbah Nun itu nampak akan terjadi guncangan yang sungguh luar biasa hebat. Seluruh jamaah diajak untuk segera memohon maaf apabila selama ini ada yang sering tidak jujur, berbuat tidak baik, atau mendholimi para hamba Allah yang lain. Setidaknya agar rahmat Allah selalu memayungi kita, semoga diberi kemudahan dan keselamatan kelak menjelang waktu itu tiba. "Seampuh-ampuhnya amal baik kita, hal itu tidak membuat kita langsung masuk surga, tetapi rahmat-Nya Allah-lah yang akan membuat kita kesana." Sambung Mbah Nun.

Seakan-akan Mbah Nun mengetahui kalau manusia beragama masih mementingkan ego pribadinya dibandingkan kerinduan kepada Maha Penciptanya. "Bukankah nasihat terbaik menurut Rasulullah adalah mengingat kematian?" tanya Mbah Nun yang nampak mengajak seluruh jamaah untuk berbuat kematian. Tidak dengan tujuan menakuti, hanya saja kita dituntut untuk mempersiapkan diri. Kematian bukanlah seseuatu yang perlu ditakuti, karena dalam hadits yang lain Rasulullah juga pernah berpesan muutu qabla an tumuutu (matilah sebelum kamu mati). Karena mungkin jika mati itu diaplikasikan ke dalam chip kehidupanmu, cara memandang dunia mungkin akan sedikit berbeda.

Mengingat kemungkinan Indonesia berubah bahkan dunia hanya terdapat 4 solusi, yaitu revolusi, penyakit endemi besar-besaran, bencana alam besar-besaran, atau kemungkinan yang terakhir adalah perang saudara. Indonesia yang sedang pesta pora dengan pemilihan pemimpinnya ini mempunyai potensi perang saudara yang paling besar ketimbang yang lain, mengingat disamping hanya terdapat dua calon, kemungkinan terjadi chaos setelah konfirmasi hasil polling tentu menjadi konflik tersendiri. Dibandingkan untuk bersikap legowo, adakah pihak yang kalah akan mengakui kekalahannya? Tentu ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri, terutama bagi seluruh jamaah maiyah untuk berpartisipasi (bershodaqoh) menjaga stabilitas keadaan negara.

Menurut Mas Sabrang, kebanyakan manusia sekarang lebih memilih benar daripada efektif. Itulah mengapa di dalam ruang maiyah, terminologi tadabbur lebih sering dipakai daripada ilmu tafsir. Dimana tafsir hanya menuju pada suatu kesepakatan tentang benar dan salah, sedangkan dalam tadabbur terdapat banyak proses untuk mencapai kesepakatan bersama sehingga memiliki hasil lebih efektif. Karena tadabbur lebih memakai sudut pandang relativitas tentang bagaimana kita memaknai suatu kejadian.

Hiburan dari Letto sesekali menghibur kebersamaan malam itu, hanya saja Mas Doni KK didapuk sebagai vokalisnya. "Another Sky" versi Letto yang gagal unrelease menjadi salah satu nomor yang dibawakan malam itu. Melanjutkan proses pembelajaran pada malam itu, Mbah Nun berpandangan jika problem  bangsa kita kali ini lebih ke tidak memiliki mental percaya diri. Sehingga mudah terombang-ambing ke dalam tendensi-tendensi yang mengguyur seperti hujan pada malam ini. Jika kita basah akan tendensi-tendesi tersebut, kaku sudah kehidupan kita. Kedinginan akan menghambat segala potensi untuk berkreativitas dalam hidup. Bahkan, tendensi itu akan membuat kita kehilangan nikmat dalam mengalami segala sesuatu di dunia.

Mbah Nun
Mbah Nun
Orang-orang modern memiliki kebiasaan untuk saling bersaing dan memiliki cita-cita. Hal ini sangat bertentangan dengan jalan hidup Mbah Nun yang menghindar dari ketenaran. Mbah Nun juga mengatakan, "kalau kita tidak mempunyai cita-cita, bukan berarti kita tidak bisa mencapainya." Mbah Nun kemudian mengibaratkan beberapa perjalanan hidupnya yang tidak pernah dicita-citakan sama sekali, tetapi banyak orang yang bercita-cita ingin mencapai apa yang Mbah Nun dapatkan, ketenaran tadi adalah salah satu contohnya. Namun, Mbah Nun berpesan bahwa jangan ada yang mengikuti beliau tanpa ilmu dan kedaulatan. Tentu hal tersebut disampaikan Mbah Nun bukan tanpa makna, kita mesti memiliki kedaulatan berfikir sendiri. "Anda harus menjadi anda!" tegas Mbah Nun.

Tak terasa waktu telah lebih dari pukul 03.00 dinihari. Pada sesi akhir ini, Letto kembali membawakan lagu aransemen "Tears in Heaven" dengan Mas Doni sebagai vokalisnya. Pak Herman juga tak ketinggalan menembangkan puisi yang katanya asli dari Sunan Kalijaga. Hujan pun belum beranjak pergi, walau intensitasnya mulai menurun. Mbah Nun mengakhiri malam itu dengan berdoa bersama.

Kasihan, 17 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun