Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Menuju Kebaikan, Bergegaslah!

18 Maret 2019   11:40 Diperbarui: 18 Maret 2019   11:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bias cahaya pada langit temaram ini mengindikasikan hujan yang kemungkinan akan masih meneteskan segala asihnya. Tanah yang masih belum begitu kering ini pun menjadi pertanda jika sebelum malam ini hadir, hujan sempat menyapa kawasan TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul. 

Pukul 20.00 para jamaah maiyah sudah nampak memenuhi halaman depan panggung Mocopat Syafaat. Begitupun rona wajah kerinduan yang mulai datang bergelombang dari arah utara. 

Dan tanpa pernah absen selalu ada sambutan manis dari para pejuang penyedia alas tempat duduk. Hanya demi kenyamanan dan menjaga celana para jamaah agar tidak kotor, mereka rela menjajakan alas sedemikian rupa. Semoga berkah dan barokah selalu tercurah kepada para pejuang ini atas segala keikhlasannya.

Iringan nada pembacaan Surat Al-Anfal oleh Mas Ramli jadi kata sambutan bagi semua saudara yang baru hadir sembari mempersiapkan diri. Sembari menunggu jamaah mengatur posisi duduk yang nyaman, sebelum mengarungi lautan ilmu menuju 2/3 malam. Walaupun pada makna yang lain tentu memohon kepada langit untuk membocorkan sedikit rahasianya. 

Mengobati segala kerinduan akan pertemuan atau sapaan yang hanya sebulan sekali terselenggara secara rutin ini. Setelah ketukan pintu langit, Mas Islamiyanto dan Mas Imam mengajak semua para jamaah untuk menyapa Kanjeng Nabi bersama-sama.

Mas Helmi dan Pak Toto mulai menaiki panggung. Diteruskan dengan mengutarakan tentang muqadimah acara Mocopat Syafaat malam hari ini. Tentang sebuah kompetisi atau perlombaan, adakah ayat Al-Qur'an yang autentik terhadap itu? Dan memang kita mesti kembali belajar ke surat Al-Baqarah 148. 

Kembali mendalami makna fastabiqul khairat karena pada zaman ini banyak yang berlomba-lomba bukan pada hal kebaikan, melainkan mereka berlomba dalam hal kehebatan, memperebutkan kemenangan, pun kepintaran yang menjadikan sombong, yang kini terwujud dalam suasana saling berebut kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. 

Pada akkhirnya semua itu hanya akan menjerumuskan kita kepada pertengkaran yang tak pernah usai dan menjebak kita dalam lingkaran dendam atau kebencian.

Mocopat Syafaat edisi Februari ini juga menjadi momentem bahwa acara rutinan ini telah menginjak usia yang ke-20. Membersamai dan menuntun entah itu Al-Muhtadin, Al-Muththaharun, maupun Al-Mutahabbina Fillah yang bertemu pada tempat ini. Negeri ini juga memberikan kado dengan mengadakan kompetisi di 'kamar sebelah'.

 Sebuah pertunjukan untuk (dipaksa) memilih seorang pemimpin, dimana acara tersebut kondang dengan tagline 'Debat Calon Presiden'. Toh, mengapa juga kedua kandidat mesti debat kalau kiranya visi dan misi kedua kandidat pasti sama-sama bagus. 

Akan tetapi, dengan acara 'Debat' yang notabene meriah itu, antusiasme sebagian jamaah untuk mengobati kerinduan tak berkurang, justru semakin bertambah ramai dalam rentang 20 tahun ini. Setidaknya, suasana di Mocopat Syafaat ini sedikit menggambarkan mulai terbangunnya kedaulatan berfikir di masyarakat negeri ini.

Sebelum melanjutkan sinau bareng, satu nomor Syi'ir tanpo Wethon dialunkan oleh pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng agar lebih meyelaraskan frekuensi pikiran. Pak Toto atau yang biasa disapa dengan Kiai Tohar mulai mengutarakan pandangannya terhadap perlombaan atau kompetisi dari sudut pandang pendidikan. 

Beliau berpendapat jika kekeliruan pendidikan di Indonesia adalah terlalu sibuk memilah-milah orang pintar dan bodoh dengan ranking. Sejak di lingkungan pendidikan pada usia dini, secara sengaja maupun tidak, kita telah diajarkan untuk berkompetisi. Akibat dari sistem ini adalah lingkungan pendidikan kita jadi sangat krisis ruang ekspresi. 

Padahal, setiap individu pasti memiliki potensi atau bakat berbeda-beda. Karena tidak mungkin Tuhan menanamkan potensi yang sama pada setiap individu. Dampak dari sistem ini pun sangat terlihat dari begitu mudahnya antar manusia untuk memberikan penilaian terhadap orang lain.

Pak Toto menyatakan sangat diperlukan refleksi terhadap dunia pendidikan dengan tujuan kita kembali menata langkah, bagaimana tiap individu mampu mengolah potensi yang dimiliki dan bagaimana membangun sikap kebersamaan agar tidak mudah larut oleh isu-isu yang kurang bermanfaat. Ketika memasuki sesi tanya jawab, beberapa jamaah mengutarakan pendapat yang sangat bagus. 

Salah satunya Mas Luthfi dari Wonosobo yang magutarakan sudut pemikiran tentang fastabiqul khairat dengan ilmu  nahwu shorof-nya. Menurut penjelasannya, fastabiqul bergesar makna dari tafsir ala Kemenag yang berarti berlomba-lomba menjadi bergegas bersama-sama. Hingga akhirnya bisa meminimalisir efek saling menjatuhkan. Dan kata bergegas itu sendiri lebih memancing untuk lebih menghargai waktu/proses.

Lain halnya dengan apa yang diutarakan oleh Mas Shodiq. Fastabiqul khairat versi Mas Shodiq lebih ke makna pengaplikasiannya. Sebagaimana yang Mas Shodiq jelaskan apabila sebuah laku menuju kebaikan disandarkan pada kesadaran vertikal/tauhid, maka terjadi talik ulur ke atas dalam setiap usaha kebaikan. 

Kesadaran ilahiah akan menyeruak, tentang 'Aku' sebagai pelaku utama pun tidak terlatak pada ego diri sendiri, melainkan 'Kami'.  Lain halnya apabila fastabiqul khairat itu disandarkan pada materialisme. Tentu yang terjadi, segala tindakan atau usaha dalam kebaikan akan terasa melelahkan.

Masih banyak jamaah lain yang mengutarakan pendapatnya setelah itu. Pak Muzzamil melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang menarik. "Temen-temen sendiri bisa meilhat daritadi pada menyampaikan pendapatnya bagus-bagus. 

Ini membuktikan bahwa kami yang di panggung masih bodo." Statement dari Pak Muzzamil sangat menunjukkan bagaimana seorang Kyiai sekelas beliau pun masih memiliki rasa tawadhu' yang terus terjaga dihadapan para jamaah. Berbeda dengan definisi para ulama sekarang yang sudah sangat melenceng maknanya.

Mbah Nun, Mbah Mus, Pak Munir(Suluk Surakartan), dan Mas Sabrang menaiki panggung setelah itu. Mbah Nun langsung mengawali dengan menyampaikan sebuah pesan bahwa jangan sampai keluar kata dari kita yang tidak mendatangkan keberkahan Allah. 

Sebuah pertanyaan dari Pak Muzzamil mengenai tingkatan proses pembelajaran dalam NU nampak seperti suatu hal yang sepertinya perlu diluruskan terlebih dahulu, terutama di dalam maiyah. 

Menurut Mbah Nun, Allah pun memanggil hamba-Nya Yaa ayyuahalladzina 'amanuu atau yaa 'ayyuhannaas. Tidak pernah Allah menyapa yaa 'ayyuhal 'ulama atau yaa 'ayyuhal ustadz. Dalam keromantisan mencari ilmu disini, Simbah mengatakan bahwa tidak usah ada hierarki dalam hubungan manusia dengan Allah. Puncaknya inna akromakum indallahi atqokum. Pada prisnsipnya ilmu itu anda mendapatkannya langsung dari Allah.

Tradisi musabaqoh dalam fastabiqul khairat menurut Simbah adalah sejatinya ndisik-ndisikan dalam mencari ridho Allah. Allah sendiri tidak pernah mengajarkan manusia untuk menang dari orang lain, tapi menang atas nafsunya sendiri. Letak islamnya adalah Al-khairat atau kebaikan, bukan fastabiqul yang masih membutuhkan subjek yaitu manusia sebagai pelakunya. Untuk menuju kiblat kita masing-masing yang menjadi sebuah tujuan. Kita mesti faham terlebih dahulu dimana letak tujuan itu. 

Misalnya, secara letak geografis kiblat kita adalah Ka'bah yang berada di Mekkah, tapi bukankah sejatinya letak Ka'bah itu berada di dalam iman seseorang? Setiap orang menurut Simbah mempunyai hak dan musabaqah untuk mencapai Allah. Seolah Siimbah mengajak para jamaah untuk lebih dalam memaknai ayat Al-Baqarah 148.

Sandaran Makna

Selingan Lagu Keramat oleh Kiai Kanjeng serasa menjadi kesegaran tersendiri sebelum Mas Sabrang mulai menjelaskan tentang seberapa bahasan tema malam ini perlu lebih dalam dipahami. 

Segala kebaikan yang kita cari akan berujung pada kebenaran, setidaknya bagi pemikirannya sendiri. Maka dari itu, kemandirian berpikir perlu lebih dipertajam. Sedang semua kebenaran-kebenaran tersebut kalau resolusinya diperbkecil, kebenaran hanya tersusun akan kata yang membentuk menjadi sebuah kenyataan, fakta, ataupun makna.

"Berfikir itu susah, makanya manusia lebih suka menghakimi daripada berfikir " kata Mas Sabrang. Satu hal dapat menimbulkan banyak fakta. Dan satu fakta itu sendiri dapat menimbulkan banyak makna. 

Padahal untuk sampai ke fakta dan makna, kita perlu paham posisi dari suatu bahasa dan kata. "Karena kata-kata adalah resolusi paling rendah dari sebuah konsep" lanjut Mas Sabrang. Mas Sabrang memberi contoh 'cinta'. Cinta akan kehilangan makna jika terucap oleh kata, karena kata-kata tidak mampu mewakili arti cinta itu sendiri. Masih banyak kata yang belum bisa mewakiti makna dari suatu rasa.

Nyata adalah suatu hal yang dapat kita respon, sedang fakta adalah sesuatu yang bisa kita observasi dan bisa dibuktikan bersama. Baru setelah kedua hal tersebut, kita baru akan menemukan suatu makna yang mengandung arti kebenaran. 

Jika bisa mengurai ketiga hal tersebut setidaknya akan tumbuh kedaulatan berfikir. Walapun, kebenaran yang ditemukan masih bersifat pribadi, kita masih perlu waspada. Karena kebenaran yang ditemui, belum pasti mengandung kebenaran kolektif ketika diterapkan ke pemikiran masyarakat luas.

Kita tidak bisa menuntut sains mencari makna, karena tugas sains adalah mencari fakta. Sebuah pengalaman hidup selalu meliputi kenyataan dan fakta hingga pada akhirnya kedua hal tersebut akan menimbulkan makna dengan cara yang berbeda. Mungkin jargon 'pengalaman adalah guru yang sangat berharga' karena kita banyak temukan makna dari pengalaman hidup yang kita lalui.

Maka, makna lebih penting dari fakta. Makna pun akan selalu berubah karena kita akan selalu menemukan pemahaman baru. Dan akhirnya, makna lah yang bisa menumbuhkan manusia, terutama pada kedewasaan cara berfikirnya. 

"Onani fikiran adalah nyabun intelektual" kata Mas Sabrang, yang disambut gelak tawa para jamaah hingga sedikit membuat suasana cair karena sedari tadi suasana pembelajaran dari Mas Sabrang agak ruwet, membutuhkan konsentrasi lebih untuk memahaminya. Jadi, Mas Sabrang menyimpulkan bahwa kebenaran sekarang adalah kesalahan yang belum kamu pahami. Jika resolusi tentang fakta itu semakin tinggi, maka pemaknaan akan Tuhan pun akan semakin dalam. Dan kebenaran yang sejati hanya milik Tuhan.

Sandaran hati pun dilantunkan atas request langsung dari Simbah. Sebuah lagu yang menceritakan jika ada yang selalu menemani dalam kesepian rindu. Sedih yang tak lagi berarti jika 'Kau'-lah sandaran hati. 

Satu bait lagu yang sangat mungkin disalahpahami oleh pacarmu jika kita menyanyi didepannya. Pak Munir lalu juga diberi waktu untuk mengutarakan sedikit penjelasan tentang ekonomi maiyah. Dilanjutkan dengan puncak hiburan di Mocopat Syafaat yang tampil menggugah pada waktu 2/3 malam. 

Puisi kali ini diberi judul 'Bangunkan Bangunmu'. Strategi analogi rasa selalu menjadi ciri khas puisi Mbah Mus, yang dilantangkan secara khas. Mungkin, hanya di Mocopat Syafaat kita bisa menemukan gelak tawa seperti pada waktu yang khusus pula.

Namun, pusii dari Mbah Mus selalu menjadi pertanda juga jika acara akan segera berakhir. Pada sesi akhir, Mbah Nun banyak berpesan kepada jamaah. "Dimanapun anda bekerja,jangan sampai kehilangan kenikmatan atas apa yang anda kerjakan" pesan Mbah Nun." Daya kritisme harus selalu siap pada setiap jawabab yang datang tidak sesuai harapan. Hal tersebut akan berpengaruh pada mental seseorang, terutama untuk mengasah kewaspadaan. Karena "tanpa kewaspadaan, kamu tidak akan bertahan lama" lanjut Mbah Nun.

Jangan sampai salah meletakkan sandaran akan makna-makna yang telah ditemui. Simbah menyatakan jika kita harus mempunyai atau menemukan 'Master Key' hidup kita agar jelas tujuan hidup kita. "Buatlah matrix hidupmu sendiri sehingga anda tidak perlu menunggu Indonesia dan dunia. Untuk tumbuh, berkembang, serta berubah." Pesan Simbah. Setelah sesi tanya jawab selesai, sekitar pukul 03.00 dini hari acara dipungkasi oleh Simbah dengan pembacaan Surat An-Nuur, kemudian berdoa bersama yang dipimpin Pak Muzzamil.

Kasihan, 17 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun