Tidak hanya latah melayani, Pak Dar yang ternyata juga sering didapuk sebagai pranata acara dalam acara-acara Dinas Kabupaten pun mengajari tata cara bahasa Jawa terutama Kromo Inggil.
Dan kebanyakan apa yang disampaikan Pak Dar menggunakan bahasa Kromo Inggil yang secara tidak langsung menambah kosakata kami yang hadir pada malam itu.
Kita berada pada waktu yang terus berkembang, dimana kita semakin banyak diperkenalkan oleh orang. Akan tetapi, terdapat suatu keunikan dimana semakin kita banyak mengenal orang membuat intensitas hubungan kita secara personal menjadi semakin berkurang.
Sikap mrajani mulai memudar. Padahal, untuk menjadi pemimpin yang sejati, kita mesti siap mrajani orang lain, bukan malah meminta untuk di-prajani melulu.
Mental babu mesti tertanam di setiap diri kita. Karena pada hakikatnya setiap individu akan menjadi seorang pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri.
Jika berbicara mengenai mental, hal tersebut berkaitan seperti sebuah pertanyaan yang dilontarkan Mas Erwin malam itu. Karena mental nantinya juga akan mempengaruhi intonasi kita saat bicara, ndredeg atau tidaknya sikap kita ini juga sangat bergantung pada kesiapan mental.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Mas Verdhian menyambungkan ke doa Nabi Musa,"Robbisrohli sodri wa yassirli amri wah lul uqdatan min lisani yafqohu qouli." Sebuah doa dimana semoga Tuhan memberi kelapangan dada, kemudahan urusan, bebas dari kekakuan lidah agar setidaknya menjadikan mereka memahami perkataan yang kita sampaikan.
Pada acara rutinan yang ke-97 ini, sama sekali tidak ada hiburan musik di panggung. Namun, hal tersebut tidak mengurangi keceriaan suasana yang terjadi pada malam itu.
Keceriaan tetap tersaji, canda tawa membalut rasa kebahagiaan untuk tetap saling sesrawungan bersama. Bahkan hujan pun tak lupa sesekali menghibur dengan setia dengan alunan gemercik airnya. Yang pada akhirnya tak lebih seperti nongkrong bersama, ngopi, sembari mencoba mencari ilmu bersama-sama.
Sifat orang jawa yang cenderung pendiam dan nriman terkadang menuntunnya ke tempat yang sunyi. Ibarat kata kalau orang jaman dahulu mengibaratkan layaknya seorang pertapa, atau ber-khalwat kalau dalam bahasa Arab.
Hingga rasa kesendirian pun tak bisa terhindarkan. Namun, memang Simbah mengisyaratkan jika seseorang akan mengalami keterasingan atau jalan sunyinya sendiri, baik itu sengaja atau memang seperti diarahkan. Karena menemukan buah pemikiran baru di dalam lingkaran maiyah.