Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gempita di Bukit Sikunir

11 Maret 2019   14:06 Diperbarui: 11 Maret 2019   14:11 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu itu sudah hampir tengah malam ketika kita tiba di daerah wisata Dieng, Wonosobo. Hawa dingin sudah menjadi hal yang wajar dirasakan bagi para pendatang. Tapi, bagi Bapak salah satu penjual nasi rames disini, beliau mengatakan bahwa cuaca ini masih tergolong sedang. Dingin bagi beliau datang pada kisaran bulan Juli-Agustus ketika musim kemarau. Ditambah lagi kata beliau, ketika semuanya menjadi beku/mengkristal. Kami belum bisa membayangkan dingin menurut Bapak itu, ketika dengan hawa dingin yang sedang ini saja sudah langsung membuat perut kami kembung dan sengkil.

Setelah mengisi bahan bakar perut dan kendaraan, perjalanan pun kami lanjutkan menuju ke Desa Sembungan. Perjalanan ke sebuah desa yang mendapat predikat desa tertinggi (2300 mdpl) ini, akses jalannya sudah bagus. Hanya saja sesekali ada jalan yang rusak karena angkutan alat berat. Di Sepanjang perjalanan menuju desa tersebut, ada beberapa objek wisata lain seperti Telaga Warna dan Kawah Sikidang. Atau ada sebuah PLTU yang sangat jarang ditemui di daerah lain.

Setelah menempuh perjalanan kira-kira setengah jam, akhirnya kita sampai ke Desa Sembungan. Dengan retribusi 10k dan biaya parkir 5k kita sudah bisa bersiap menikmati Golden Sunrise. Kami sudah membawa tenda dan matras untuk persiapan tempat istirahat sembari menunggu waktu fajar. Akan tetapi, berhubung kondisi fisik kami yang tiba-tiba melemah dan efisiensi tenaga, sepsertinya Mushola di salah satu sudut tempat parkir ini menjadi opsi terbaik untuk beristirahat. Sembari berbincang dengan wisatawan lain yang berasal dari Demak.

Setelah memejamkan mata sejenak, kami bersiap melakukan tracking ke Bukit Sikunir. Perjalanan untuk mencapai Puncak Bukit ini kira-kira diperlukan waktu setengah jam (dengan kondisi normal). Akan tetapi, berhubung banyaknya penunjung karena bertepatan dengan weekend. Tracking pun berasa seperti sedang berada di tengah antrian sembako. Tapi hal tersebut bukan masalah, justru menjadi keunikan sendiri dari perjalanan ini. 

Bayangkan saja, dari ibu-ibu, mba-mba sampai dedek-dedek yang baru pertama kali atau belum biasa tracking. Tanpa persiapan perlengkapan sudah menjadi pemandangan  yang dimaklumi, bahkan ada yang menggunakan sepatu widges disaat kondisi jalan becek dan sangat licin. Mual, sesak nafas, kelelahan menjadi pemandangan lain di perjalanan 2/3 malam ini. Perjuangan yang keras sangat dibutuhkan bagi mereka untuk memuaskan ego menikmati 'golden sunrise' yang katanya juga paling bagus se-Asia Tenggara ini. Mungkin hanya disini, ribuan orang bisa berkumpul dan muncak bersama untuk menikmati keindahan alam.

Langit nampak sangat cerah dengan bintang-bintangnya yang bertaburan dan berkelipan di atap langit. Harapan untuk menikmati matahari terbit pun mulai membumbung tinggi karena kecerahan tersebut. Jangan khawatir tidak sempat melakukan ibadah karena di puncak Bukit, tersedia fasilitas Mushola dan toilet umum. Segala cerita sedari tadi merupakan fakta yang kami lalui. Segala redaktur dari berbagai macam redaksi sebagian besar hanya menyampaikan fakta-fakta yang begitu-begitu saja. Realistis memang, namun sagala kenyataan akan terasa hambar tanpa sebuah pemaknaan yang kadang muncul keluar dari fakta-fakta yang hanya bisa dinalar oleh akal.

Kita akan menikmati sebuah pertunjukan alam dengan durasi kurang lebih 2 jam. Segala atribut pengabadian gambar telah dipersiapkan. Tanpa nomor kursi karena ini studio alam, semua bebas memilih spot terbaiknya untuk menikmati pertunjukan tersebut. HP tidak perlu di silent, para penonton boleh berteriak sekencang-kencangnya dalam pertunjukan tersebut. 

Para pengunjung pun mulai dibuat kagum ketika awan sudah mulai mengunir (warna orange dari kunir yang menjadi asal mula penamaan Bukit ini) di ufuk timur. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing pun mulai nampak sayu-sayu. Di Bawah awan kunir itu terlihat Gunung Merbabu dan Gunung Merapi walau nampak masih samar. Ketika penonton melihat kebawah, kerlap-kerlip cahaya dari rumah penduduk tak kalah indah dari hiasan atap langit di Bukit Sikunir ini.

Platinum Humanrise

Namun, tiba-tiba kabut mulai mengekpansi pandangan dari sisi Barat. Pandangan mulai mblabur. Seolah pertunjukan penantian kelahiran Sang Fajar memang dipersiapkan dengan sangat istimewa oleh panitia alam. Tirai dari kabut pun mulai menutupi pandangan para penonton. Sorak-sorai mulai bergemuruh, antara ketegangan atau kecemasan akan kegagalan mereka untuk menikmati pemandangan ini. Keluh kesah pun terlontar dengan berbagai bahasa, karena notabene para wisatawan ini memang berasal dari berbagai macam daerah yang sedang menyempatkan diri untuk menonton golden sunrise ini.

Ketika fajar seperti sedang malu-malu untuk mempertunjukkan pesonanya. Dibantu panitia alam yang tetiba menutupnya dengan tirai kabut kelabu ini. Kita seolah terjebak dalam kekalutan. Kita terkurung akan kekhawatiran atas tidak terwujudnya melihat pesona kelahiran Sang Fajar. Hati kita semakin pekat ketika kita mulai menghitung-hitung segala perjuangan untuk menembus hijab batas kewajaran kita. Entah itu terhadap lelah, rasa kantuk, ataupun menahan dingin yang kala itu merujuk pada angka 4-5 Celcius. Yang tidak lunas terbayar jika fajar enggan menampakkan keelokannya.

Kebersamaan dengan para pemburu fajar setidaknya membuat suasana menjadi lebih hangat. Menjadi perisai hawa dingin yang terus menerus membelai. Belaian Sang Air yang sangat lembut ini membentuk kristal-kristal embun pada alis, kumis, bahkan jenggot salah satu kawanku dan sama sekali tidak basah. Dingin pun seolah menjadi hal wajar. Memang sesekali kekecewaan akan datang, namun tak membuat kehangatan  menghilang. Bukankah dingin itu ada karena kita kehilangan daya kehangatan?

Sesekali tirai itu terbuka, terembus angin. Nampak sepotong pemandangan nan menawan. "Buka sitik Joss!" suara salah satu wisatawan dari arah belakang. Itu baru satu, belum lagi suara-suara kagum yang lain yang terdengar serentak dari berbagai arah walau kita hanya diijinkan mengintip saja. Harapan pun menyeruak kembali atas intipan tersebut. Mereka masih bertahan walau seluruh pemandangan yang nampak bukan seperti "Golden Sunrise" yang diharapkan. Rasa putus asa mulai berubah menjadi keceriaan setelah mereka menghibur diri dengan berswadaya foto. Baik dengan keluarganya, teman-temannya, koleganya, dengan yang baru dikenalnya. Semua tetap setidaknya mengabadikan momen menginjakkan kaki di Bukit Sikunir ini walau dengan pemandangan "All Silver" karena kabut yang menyelimuti.

Beberapa kali para penonton teater alam ini diijinkan sesekali ngintip sebagai bayaran karena telah menyempatkan diri menembus dingin hanya untuk bersilaturrahmi dengan alam. Seolah alam memang sengaja menahan kerinduannya, menahan nafsu para tamunya untuk sekedar saling tatap. Agar mereka kangen untuk berjumpa lagi. Anggap saja perjumpaan kali ini semacam official trailer sebuah film. Untuk membesarkan hati untuk melatih menahan rindu, untuk sekedar pembuktian kalau kita benar-benar cinta terhadap alam ataukah hanya chiki-chiki layaknya generasi millenial.

Kalaupun demikian, anggap saja hal ini bukan lagi Golden Sunrise, namun kita anggap ini sebagai Platinum Humanrise. Ndak masssooook biarin saja, suka-suka jemariku!^^ Toh tidak ada yang hilang dari apa yang terhijab oleh kabut. Mereka semua -Fajar, Gunung, Hutan belantara, Awan- tetap disitu tak beranjak. Hanya saja pandangan kita belum mampu menembus hijab sangkaan diri kita sendiri. Bahwa semuanya meski nampak dan berwujud. Kalau toh memang begitu yang kalian pikirkan, disaat itu juga, aku mungkin bakal mengajukan diri untuk menutup pandanganku asal kau wujudkan asa saudara-saudaraku yang telah merasa berjuang untuk melihat pesonamu, kali ini saja.

Sudah sewajarnya mereka kecewa akan cahaya yang gagal menyapa. Kita melihat jika tumbuhan tumbuh mengikuti cahaya. Begitu pun manusia, mereka tumbuh dan berjalan menuju terang. Jadi biarlah tirai kabut ini menjadi sebuah isyarat proses pembelajaran yang diberikan alam kepada kita. 

Menikmati Sunrise tidak hanya melulu tentang munculnya cahaya kuning dari ufuk timur. Kita hanya diajarkan untuk menunggu terang. Ketika mata mulai dapat melihat dengan jelas tanpa bantuan senter, tanpa harus menanti Sang Fajar keluar. Tapi, nikmatilah terang yang tiba-tiba menyapa. Nikmati cahaya apa yang masuk hingga mata kita dapat berfusngsi dengan jelas seperti adanya. 

Nikmati terang yang selalu mengajarkan kita akan sebuah penantian. Terang bukan soal kuning, terang hanya sebuah kerinduan akan perjumpaan. Untuk tumbuh dan terus berlalu walau dalam prasangka gelap!

Setidaknya kita pulang membawa banyak sangu. Tentang keresahan, kekecewaan. Namun, setidaknya kita masih bisa merasakan terang dan menapakkan kaki di Bukit Sikunir. Menikmati segala alam yang menyambutmu dengan bijaksana disaat banyak keluar lontaran-lontaran tak enak keluar dari sebagian mulut atau bahkan hati manusia yang menggema. Bagi yang pulang dapat banyak sangu. Voucher Platinum Humanrise-pun setidaknya berada di dalam hati dan rasa mereka. "Maaf dan selamat berjumpa kembali."

Sikunir, 10 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun