Waktu itu sudah hampir tengah malam ketika kita tiba di daerah wisata Dieng, Wonosobo. Hawa dingin sudah menjadi hal yang wajar dirasakan bagi para pendatang. Tapi, bagi Bapak salah satu penjual nasi rames disini, beliau mengatakan bahwa cuaca ini masih tergolong sedang. Dingin bagi beliau datang pada kisaran bulan Juli-Agustus ketika musim kemarau. Ditambah lagi kata beliau, ketika semuanya menjadi beku/mengkristal. Kami belum bisa membayangkan dingin menurut Bapak itu, ketika dengan hawa dingin yang sedang ini saja sudah langsung membuat perut kami kembung dan sengkil.
Setelah mengisi bahan bakar perut dan kendaraan, perjalanan pun kami lanjutkan menuju ke Desa Sembungan. Perjalanan ke sebuah desa yang mendapat predikat desa tertinggi (2300 mdpl) ini, akses jalannya sudah bagus. Hanya saja sesekali ada jalan yang rusak karena angkutan alat berat. Di Sepanjang perjalanan menuju desa tersebut, ada beberapa objek wisata lain seperti Telaga Warna dan Kawah Sikidang. Atau ada sebuah PLTU yang sangat jarang ditemui di daerah lain.
Setelah menempuh perjalanan kira-kira setengah jam, akhirnya kita sampai ke Desa Sembungan. Dengan retribusi 10k dan biaya parkir 5k kita sudah bisa bersiap menikmati Golden Sunrise. Kami sudah membawa tenda dan matras untuk persiapan tempat istirahat sembari menunggu waktu fajar. Akan tetapi, berhubung kondisi fisik kami yang tiba-tiba melemah dan efisiensi tenaga, sepsertinya Mushola di salah satu sudut tempat parkir ini menjadi opsi terbaik untuk beristirahat. Sembari berbincang dengan wisatawan lain yang berasal dari Demak.
Setelah memejamkan mata sejenak, kami bersiap melakukan tracking ke Bukit Sikunir. Perjalanan untuk mencapai Puncak Bukit ini kira-kira diperlukan waktu setengah jam (dengan kondisi normal). Akan tetapi, berhubung banyaknya penunjung karena bertepatan dengan weekend. Tracking pun berasa seperti sedang berada di tengah antrian sembako. Tapi hal tersebut bukan masalah, justru menjadi keunikan sendiri dari perjalanan ini.Â
Bayangkan saja, dari ibu-ibu, mba-mba sampai dedek-dedek yang baru pertama kali atau belum biasa tracking. Tanpa persiapan perlengkapan sudah menjadi pemandangan  yang dimaklumi, bahkan ada yang menggunakan sepatu widges disaat kondisi jalan becek dan sangat licin. Mual, sesak nafas, kelelahan menjadi pemandangan lain di perjalanan 2/3 malam ini. Perjuangan yang keras sangat dibutuhkan bagi mereka untuk memuaskan ego menikmati 'golden sunrise' yang katanya juga paling bagus se-Asia Tenggara ini. Mungkin hanya disini, ribuan orang bisa berkumpul dan muncak bersama untuk menikmati keindahan alam.
Langit nampak sangat cerah dengan bintang-bintangnya yang bertaburan dan berkelipan di atap langit. Harapan untuk menikmati matahari terbit pun mulai membumbung tinggi karena kecerahan tersebut. Jangan khawatir tidak sempat melakukan ibadah karena di puncak Bukit, tersedia fasilitas Mushola dan toilet umum. Segala cerita sedari tadi merupakan fakta yang kami lalui. Segala redaktur dari berbagai macam redaksi sebagian besar hanya menyampaikan fakta-fakta yang begitu-begitu saja. Realistis memang, namun sagala kenyataan akan terasa hambar tanpa sebuah pemaknaan yang kadang muncul keluar dari fakta-fakta yang hanya bisa dinalar oleh akal.
Kita akan menikmati sebuah pertunjukan alam dengan durasi kurang lebih 2 jam. Segala atribut pengabadian gambar telah dipersiapkan. Tanpa nomor kursi karena ini studio alam, semua bebas memilih spot terbaiknya untuk menikmati pertunjukan tersebut. HP tidak perlu di silent, para penonton boleh berteriak sekencang-kencangnya dalam pertunjukan tersebut.Â
Para pengunjung pun mulai dibuat kagum ketika awan sudah mulai mengunir (warna orange dari kunir yang menjadi asal mula penamaan Bukit ini) di ufuk timur. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing pun mulai nampak sayu-sayu. Di Bawah awan kunir itu terlihat Gunung Merbabu dan Gunung Merapi walau nampak masih samar. Ketika penonton melihat kebawah, kerlap-kerlip cahaya dari rumah penduduk tak kalah indah dari hiasan atap langit di Bukit Sikunir ini.
Platinum Humanrise
Namun, tiba-tiba kabut mulai mengekpansi pandangan dari sisi Barat. Pandangan mulai mblabur. Seolah pertunjukan penantian kelahiran Sang Fajar memang dipersiapkan dengan sangat istimewa oleh panitia alam. Tirai dari kabut pun mulai menutupi pandangan para penonton. Sorak-sorai mulai bergemuruh, antara ketegangan atau kecemasan akan kegagalan mereka untuk menikmati pemandangan ini. Keluh kesah pun terlontar dengan berbagai bahasa, karena notabene para wisatawan ini memang berasal dari berbagai macam daerah yang sedang menyempatkan diri untuk menonton golden sunrise ini.
Ketika fajar seperti sedang malu-malu untuk mempertunjukkan pesonanya. Dibantu panitia alam yang tetiba menutupnya dengan tirai kabut kelabu ini. Kita seolah terjebak dalam kekalutan. Kita terkurung akan kekhawatiran atas tidak terwujudnya melihat pesona kelahiran Sang Fajar. Hati kita semakin pekat ketika kita mulai menghitung-hitung segala perjuangan untuk menembus hijab batas kewajaran kita. Entah itu terhadap lelah, rasa kantuk, ataupun menahan dingin yang kala itu merujuk pada angka 4-5 Celcius. Yang tidak lunas terbayar jika fajar enggan menampakkan keelokannya.