Ketika itu hari Jum'at, waktu menunjukkan pukul 11.30 menandakan saat istirahat telah tiba. Seperti biasa, saya langsung bergegas menuju masjid. Tak lupa kunyalakan sebatang rokok sebagai teman tatkala menapaki perjalanan ke masjid. Langit sudah nampak kegelapan di ufuk utara dengan kegaduhan merdu suara petir yang menggema sampai ruang kalbu.
 Surat-surat pendek selalu dilantunkan sebelum ibadah sholat jumat. Setiap orang muslimin berdatangan dari segala penjuru. Menyatukan niat untuk melaksanakan ibadah, tak pernah peduli ia berlatarbelakang apa, pekerjaan apa, berpendidikan apa, mereka duduk berdampingan sebegai Abdullah.
 Saat itu yang terbesit adalah inilah negeriku. Masjid ini seperti negeri yang yang sedang menjalankan sesuatu niat bersama-sama. Dengan berbagai keberagaman masyarakatnya yang sedang ber-istiqomah untuk memajukan kehidupannya. Hanya sebagai warga negara, interpetasi tujuan itu memiliki lebih arti luas.
 Ibadah di masjid ini tidak hanya sebatas sholat, tapi mereka juga melakukan puasa, zakat, syahadat di atas tanah masjid ini. Mereka secara tidak sadar ber-tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Untuk meminta pertolongan atas segala rona permasalahan hidup yang dianggap membebaninya. Walaupun terkadang sedikit agak rancu ketika orang-orang itu meminta Tuhannya untuk mengabulkan keinginan nafsunya akan kegelimangan harta disaat Allah sudah memberikan segala yang ia butuhkan sesuai kadarnya.
Allah itu Maha Adil. Tak mungkin ia mengurangkan sesuatu kepada kita. Biarkan Sang Waktu berjalan semestinya. Mengiringi rencana Allah yang sudah tersusun rapi dalam Lauh Mahfuz. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus berusaha untuk peka terhadap lingkungan disekitar kita. Tidak hanya kepada manusia, tapi juga kepada alam semesta dimana kita diberi mandat untuk menjaganya.
Negeri yang memiliki penduduk Islam paling banyak di dunia ini, saya pikir lebih taat daripada negeri dimana agama itu berasal. Begitu banyak fuqoha, ulama, dan kyai di negeri ini. Yang kemampuan agamanya sudah terbukti dengan begitu banyaknya pengikut masing-masing tokoh.
Di atas negeri itu adalah masjid yang beratapkan langit. Dimana kita sedang berjamaah untuk melakukan peribadatan memajukan kehidupan berbangsa. Tapi disinilah akar permasalahan itu timbul. Kita sering salah menunjuk imam. Kita salah mengira kalau ia adalah pemimpin. Atau edukasi mengenai arti pemimpin atau imam sangatlah minim.
Siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah adalah standar dalam hal memilih pemimpin. Dan keadaan di zaman sekarang adalah bagaimana kita bisa menilai keempat sifat itu kalau nafsu untuk menjadi pemimpin membuat mereka buta dan melakukan segala cara, termasuk menyebar hoax dan fitnah kepada lawannya. Keempat sifat itu pun sangat dengan mudah dimanipulasi untuk memdapat kepercayaan dari rakyat. Mereka tinggal memakai pecis, sedikit make-up senyuman, ataupun mengedit foto sedemikian rupa hingga membentuk sebuah citra tertentu.
Sesungguhnya kita dapat sedikit mendapatkan clue dari dasarkalu kita biasa niteni. Mana yang merupakan nafsu untuk ingin menjadi pemimpin. Dan mana yang memang dipercaya untuk memimpin oleh kawan-kawannya.
Masjid itu sedikit goyah karena para makmum sedang ribut untuk memilih para pemimpin mereka. Setiap makmum memiliki persepsi sendiri tentang kriteria yang akan dijadikan imam. Dan jika salah seorang tidak terpilih imam, ibadah mereka selama dipimpin imam terpilih itu selalu saja penuh dengan grundelan. Yang setuju dengan imam terpilih pun belum tentu bisa khusyuk, apalagi yang tidak sependapat kalau ia yang menjadi imam. Dan itu berlangsung teus menerus, dari generasi ke generasi. Entah akan berhenti sampai kapan.
Salah satu fungsi masjid untuk membersihkan diripun tidak berlaku. Karena akan penuh dengan ketidaksejalanan antara pemimpin dan makmum-makmum itu. hingga mereka membangun masjid mereka sendiri. Bisa dalam bentuk apa saja, partai, lembaga sosial, ataupun kongsi-kongsi seperkawanan yang memiliki tujuan yang menurut mereka benar.
Tapi mereka tidak sadar akan sesuatu. Seperti apa yang dijelaskan firman Allah," dan (diantara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran, dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman, serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah,' kami hanya menghendaki kebaikan.' Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta," (QS 9:107) Â
Semoga saja masjid kita ini terbebas dengan segala bentuk persengkokolan. Jangan sampai masjid ini bukan menjadi tempat beribadah atau mensucikan jiwa. Untuk memfitrahkan kembali hati dan akal kita dari segala kemunafikan yang sedang terjadi. Jangan sampai masjid menjadi tempat untuk menebar kebencian kepada siapapun ia. Bukankah agama kita rahmatan lil 'alamin?
Perbedaan musuh zaman dahulu dan sekarang terdapat pada sikap. Zaman dahulu, mereka selalu terang-terangan untuk memberontak. Di zaman sekarang, mereka lebih bersikap sembunyi-sembunyi, mereka banyak yang telah menjadi munafik. Entah karena sering lupa perkataannya, atau sengaja lupa. Tergantung profit materialis yang lebih menguntungkan.
Sebagai imam yang terpilih tentu ini merupakan sebuah tanggung jawab besar. Dan sebagai makmum sudah seharusnya kita utamakan niat untuk berjamaah, bersama-sama mencoba menembus Lahud. Siapapun ia, darimana mereka, kita hanyalah makmum disebuah masjid besar yang dipecayakan kepada kita untuk menjaganya.
Masjid ini bukanlah masjid yang nampak seperti biasanya. Memiliki kubah ataupun menara dengan teras halaman yang luas. Masjid ini juga memiliki fungsi yang lebih luas untuk beribadah. Masjid ini bernama Indonesia Raya. Sebuah keajaiban bisa menempati masjid seindah ini. Dengan kompleksitas permasalahan yang mungkin akan sangat sulit terpecahkan. Karena hanya kita yang dipercaya mampu untuk mengatasi segala masalah-masalah tersebut. Karena masjid ini suatu saat akan menjadi pedoman bagaimana cara untuk mengatasi keberagaman. Bagaimana untuk bisa menghargai dan ber-unggah-ungguh dalam tingkah laku sosial.
Kita hanya memilih antara menjadi kontibutor ataukah saksi ketika masjid ini memberikan kesejahteraannya dalam balutan kesederhanaan. Dinanungi nyayian merdu Sang Alam. Menari bersama keelokan keindahan semestanya. Dimana senyum dan tawa selalu menghiasi para penghuni masjid itu. Lalu, kita tinggal menunggu waktu kapan dunia akan segera menyaksikan keindahan Masjid Insonesia Raya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H