Tidak sengaja tadi saya menemukan sebuah postingan teman yang mengutip Imam dari Timur Tengah yang tak seharusnya menyebut merk. Disitu dijelaskan bahwa agama islam itu bukan berdasarkan akal, bukan pula berdasarkan perasaan.
Beragama islam itu dengan  mengikuti hukum-hukum Allah di Kitab-Nya dan hukum-hukum Rasul-Nya pada sunnah dan haditsnya. Sungguh mulia sekali teman saya dan dalam captionnya ia menambahkan jika seperti itulah cara beragama yang benar. Subhanallah.
Hanya saja  karena saya anak nakal dan tidak tahu cara beragama yang benar, hal pertama yang kurasakan adalah kagum. Bukan melihat postingannya, akan tetapi perubahan yang terjadi pada teman saya sewaktu kuliah tersebut.
Orang biasa sebut ia dapat hidayah, dan siapa yang memberi?Tentu sesuatu yang berperasaan  sehingga ia rela memberikan hidayahnya kepada temanku.
Yang kedua  saya bertanya-tanya, bagaimana bisa ada yang mengetahui cara beragama yang benar, terutama Islam dan disini kebetulan agama kita sama. Lantas buat apa kita melafazhkan ihdinashshirathal mustaqim kalau kita sudah tau cara mana yang benar.
Benar berarti mengetahui cara serta jalan yang tidak menyesatkan. Seorang Rasul pun dalam sholatnya selalu melafazhkan Al-Fatihah. Hebat sekali Imam tersebut sehingga temanku terpikat dengannya.
Yang ketiga, tangan ini gatal rasanya ingin menulis sesuatu di kolom komentarnya. Tapi apalah saya yang serba salah yang sungguh tidak pantas mengomentari postingan yang benar.
Saya tahu diri. Saya pun takut, karena ia bukan lagi manusia, karena tidak berperasaan dan berakal. Saya salah lagi. Diam. Sudah salah, tetapi tangan ini seakan tak mau berhenti, tapi saya hanya diam. Saya wesanteng, tapi jari jemari terus pencilakan kesana-kemari.
Saklek tidak berbeda jauh dengan idealis. Orang yang memiliki kepribadian yang kuat dan cenderung ke keras kepala. Sama seperti sifat yang lain, sifat ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Akan tetapi dalam lingkup kerukunan beragama, orang sering salah mengkategorikan mana yang iman atau saklek dalam memahami suatu statement. Untuk memahami keduanya pasti diperlukan akal menurut saya.
Tapi biarlah para manusia-manusia intelek yang memberikan deskripsi pembenaran menurut ilmu-ilmu mereka. Bukan jalan saya untuk mengejawantahkan pembenaran.
Kita sebagai manusia dianugerahi akal, tetapi kenapa dalam beragama tidak boleh berdasarkan akal? Lha kamu kira kalau saya beragama itu hanya untuk mencari benar? Kalau memang begitu maka saya hanya men-Tuhan-kan kebenaran.
Padahal apa yang saya kira benar belum tentu benar di mata Tuhan, bukan begitu? Untuk mengikuti hukum-hukum Allah yang hanya kamu lihat dalam bentuk literasi dan harus seperti itu?
Dengan ilmu apa kamu membaca literasi hukum-hukum Allah? Kalau hanya baca saja berarti kamu hanya mengikuti hukum si penafsir, bukan hukum Tuhan.
Inilah mengapa di zaman ini sangat rentan. Mereka hanya membaca ilmu, tetapi tidak memahami ilmu. Mereka merasa mengamalkan, akan tetapi hal tersebut seakan membatasi.
Semua sekolah hanya dihadapkan dengan literasi-literasi konyol yang tidak dapat menghubungkan pemikiran si penulis dengan dengan tingkat pemahaman si pembaca. Anatara guru dan murid tidak ada kasih sayang melainkan hanya sebatas formalitas.
Rasul pernah mengingatkan, kalau kita berhijrah tergantung sampai dimana kita meniatkan hijrah itu. Kalau sampe surga ya hijrahmu akan kesana, kalau hijrah mentaati hukum-hukum, ya akan nurut juga kamu akan hukum.
Kenapa tidak ada hijrah yang betul-betul karena ingin berpulang kepada Tuhan. Mereka hijrah hanya merubah penampilannya, mereka hanya menutupi mukanya, mereka memposting sesuatu yang bersifat agamis. Mereka berhijrah, akan tetapi dibarengi dengan membenci saudaranya sendiri.
Padahal saudaranya itu juga manusia, masih seagama, masih ciptaan Tuhan juga. Akan tetapi karena ia tidak sepaham, ditendanglah ia. Karena ia merasa telah mengetahui mana yang benar.
Mereka menghilangkan perasaan dan akal untuk saling mencintai demi yang katanya mengikuti hukum-hukum Allah. Padahal ia hanya mengikuti hukum-hukum si penafsir yang ia sangka itu Tuhan. Pantas.
Mungkin hanya saya yang selalu disesatkan dalam mencari jalan pulang menuju Tuhan. Saya akan selalu peduli kepada orang lain tidak memandang ia aliran apa, suku apa, agama apa. Sekalipun orang yahudi butuh pertolonganku, akan aku bantu mereka.
Tidak akan kubatasi perasaan  dan akalku demi memahami dan membaca kalamulllah yang tertuang tidak hanya pada literasi mushaf-mushaf yang sering kita kira itu adalah Al-Qur'an.Â
Akan kulawan diriku sendiri yang selalu membisikiku tentang nikmat dan kesenangan untuk diri sendiri. Padahal Tuhanku menjelaskan Rahman dan Rahim. Tentang perasaan yang lebih mengutamakan Rahman, baru dilanjutkan dengan Rahim.
Rahman yang memiliki arti mengasihi kepada semua yang ada dicurahkan keluar dari dirinya, Tuhan tidak mementingkan diriNya, akan tetapi ia selalu sibuk mengasihi urusan hamba-hambaNya. Baru setelah itu Rahim, yang memiliki arti sayang, terhadap apapun termasuk diriNya lebih dalam.
Itulah mengapa kalimat yang terbentuk adalah bismillahhirrahmanirrahim. Â Bukan bismillahhirrahimirrahman. Dan satu inti dari kedua kata itu adalah kasih sayang yang membutuhkan sebuah perasaan.
Jadi sangatlah tidak mungkin kalau kita mengaku beragama tapi tidak pernah membuat pondasi yang kokoh, yaitu perasaan dan hati nurani. Tuhan itu tidak jahat.
Begitu juga dengan akal, apalah arti afalaa ta'qilun kalau kita tidak boleh menggunakan akal kita yang itu juga merupakan sebuah anugerah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Kita ini manusia, bukan hewan. Jadi ya dalam mencari Tuhan, dalam mencintai Tuhan, dalam mengabdi dengan Tuhan beserta kekasihnya Rasulullah sholallahu alaihi wassalam, apakah salah jika kita ber-afalaa ta'qilun?
Kita pun dalam memahami Allah pasti menggunakan akal bukan? Hukum yang kamu baca itu merupakan sebuah literasi atau tafsiran yang kamu lihat hanya menggunakan indera mata. Padahal kita juga dikasi hati untuk merasakan nikmat kedekatan dengan Tuhan.
Bukankah itu menggunakan perasaan? Semua indera kita tidak bisa membayangkan atau menggambarkan Tuhan, modar nanti! Kita hanya bisa merasakan. Jadi masih bisakah kita tidak bisa melandaskan agama dengan perasaan dan akal?
Semua hukum itu yang kau ketahui tertuan dalam Al-Qur'an dan hadits, sedangkan Al-Qur'an dan hadits itu sendiri hanyalah alat bantu, bukan subjek.
Subjeknya adalah akal kita yang tertuang dalam pemikiran dan pandangan mengenai sebuah jalan menuju Tuhan. Jadi Tuhan menyuruh kita berfikir ketika kita dihadapkan dengan alat yang pas dipakai sesuai waktu dan tempat.
Manusia menggunakan alat itu sebagai petunjuk. Bayangkan jika tidak ada hukum negara, toh kamu tetap tidak akan mencuri hak orang lain kan? Karena kamu punya akal, karena dengan akal kamu bisa memahami nilai kemanusiaan.
Andaikan hanya dengan akal kamu bisa merendahkan diri dihadapan orang lain tanpa adanya hukum yang tertulis. Walaupun akal tak sengaja sering saya pakai, saya tetap merasa paling bodoh. Dan mungkin hanya saya saja yang saklek?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H