Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Essai | Manusia Saklek

25 September 2018   15:52 Diperbarui: 26 September 2018   01:36 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan kulawan diriku sendiri yang selalu membisikiku tentang nikmat dan kesenangan untuk diri sendiri. Padahal Tuhanku menjelaskan Rahman dan Rahim. Tentang perasaan yang lebih mengutamakan Rahman, baru dilanjutkan dengan Rahim.

Rahman yang memiliki arti mengasihi kepada semua yang ada dicurahkan keluar dari dirinya, Tuhan tidak mementingkan diriNya, akan tetapi ia selalu sibuk mengasihi urusan hamba-hambaNya. Baru setelah itu Rahim, yang memiliki arti sayang, terhadap apapun termasuk diriNya lebih dalam.

Itulah mengapa kalimat yang terbentuk adalah bismillahhirrahmanirrahim.  Bukan bismillahhirrahimirrahman. Dan satu inti dari kedua kata itu adalah kasih sayang yang membutuhkan sebuah perasaan.

Jadi sangatlah tidak mungkin kalau kita mengaku beragama tapi tidak pernah membuat pondasi yang kokoh, yaitu perasaan dan hati nurani. Tuhan itu tidak jahat.

Begitu juga dengan akal, apalah arti afalaa ta'qilun kalau kita tidak boleh menggunakan akal kita yang itu juga merupakan sebuah anugerah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Kita ini manusia, bukan hewan. Jadi ya dalam mencari Tuhan, dalam mencintai Tuhan, dalam mengabdi dengan Tuhan beserta kekasihnya Rasulullah sholallahu alaihi wassalam, apakah salah jika kita ber-afalaa ta'qilun?

Kita pun dalam memahami Allah pasti menggunakan akal bukan? Hukum yang kamu baca itu merupakan sebuah literasi atau tafsiran yang kamu lihat hanya menggunakan indera mata. Padahal kita juga dikasi hati untuk merasakan nikmat kedekatan dengan Tuhan.

Bukankah itu menggunakan perasaan? Semua indera kita tidak bisa membayangkan atau menggambarkan Tuhan, modar nanti! Kita hanya bisa merasakan. Jadi masih bisakah kita tidak bisa melandaskan agama dengan perasaan dan akal?

Semua hukum itu yang kau ketahui tertuan dalam Al-Qur'an dan hadits, sedangkan Al-Qur'an dan hadits itu sendiri hanyalah alat bantu, bukan subjek.

Subjeknya adalah akal kita yang tertuang dalam pemikiran dan pandangan mengenai sebuah jalan menuju Tuhan. Jadi Tuhan menyuruh kita berfikir ketika kita dihadapkan dengan alat yang pas dipakai sesuai waktu dan tempat.

Manusia menggunakan alat itu sebagai petunjuk. Bayangkan jika tidak ada hukum negara, toh kamu tetap tidak akan mencuri hak orang lain kan? Karena kamu punya akal, karena dengan akal kamu bisa memahami nilai kemanusiaan.

Andaikan hanya dengan akal kamu bisa merendahkan diri dihadapan orang lain tanpa adanya hukum yang tertulis. Walaupun akal tak sengaja sering saya pakai, saya tetap merasa paling bodoh. Dan mungkin hanya saya saja yang saklek?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun