Karya sastra tidak semata dianggap sebagai materi yang serius. Sastra juga bisa hadir sebagai satu bentuk hiburan. Sastra sebagai hiburan adalah karya sastra yang menyajikan sebuah karya baik puisi, cerita rekaan, maupun drama, yang berisi sesuatu yang dapat menghibur atau menyenangkan hati pembaca, dan memberikan permainan mental dalam batin pembaca.
Genre dalam kesusastraan dibagi menjadi dua berupa sastra hiburan dan serius. Istilah sesera serius dimaknai sebagai genre sastra yang cenderung mengajak pembaca untuk memberikan tafsiran atau interpretasi tersendiri bagi karya sastra yang dibacanya tersebut.
Sedangkan istilah sastra hiburan digunakan untuk karya sastra yang dapat membantu pembacanya atau orang yang menikmatinya untuk jeda sejenak dari kebosanan atau rutinitas keseharian.
Sesuai dengan namanya, sastra hiburan berfungsi untuk memberikan hiburan sehingga banyak digemari oleh pembaca titik maka, hal itu mendapat julukan sebagai sastra pop atau sastra populer.
Film menjadi satu media yang turut membantu perkembangan bahasa dan sastra di tanah air. Adapun perkembangan film dari masa ke masa yaitu pada tahun 1800-an film bisu dan tanpa alur cerita, pada tahun 19-an film bisu dengan alur cerita yang lebih jelas, dan yang terakhir pada tahun 19-an sampai sekarang film Berau dengan alur cerita yang jelas dan beragam.
Meskipun terbatas era film bisu ternyata mampu menarik perhatian masyarakat pada era tersebut sempat bermunculan sejumlah film yang sukses seantero dunia seperti tokoh Charlie Chaplin yang terkenal karena kekocakannya.
Memasuki abad ke-20 film berkembang pesat yang ditandai dengan kehadiran audio film juga dibuat dengan durasi yang lebih panjang dan tema cerita yang lebih kompleks dan beragam mulai dari kisah romantis hingga perang.
Lalu bagaimana dengan perkembangan film di Indonesia? Industri film di Indonesia ditandai dengan kehadiran bioskop pertama kali bioskop dikenal oleh masyarakat Indonesia pada 5 Desember 1900.
Bisa dibilang perkembangan bioskop di tanah air mengalami pasang surut. Secara demografis pertumbuhan bioskop pun belum merata di seluruh wilayah Indonesia bisa dibilang pula lebih terpusat pada kota besar dan mayoritas berada di pulau Jawa.
Saat pandemi covid 19 yang berlangsung sepanjang 2020 - 2021 yang diwarnai dengan pembatasan aktivitas masyarakat, nasib bioskop pun kian merana. Ini lantaran gedung bioskop diwajibkan tutup karena berpotensi menyebarkan virus copy 19. Kondisi ini pun tak ayel turut berimbas pada industri perfilman tanah air yang mengakibatkan Industri film Indonesia pun ikut turun.
Kehadiran film dapat pula memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional negara. Sayangnya, pendapatan dari film di Indonesia masih terbilang kecil. Meski begitu, Industri film di Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata titik ini terlihat dari berbagai film yang mencatatkan rekor penonton yang sangat tinggi hingga mencapai jutaan penonton dalam sekali penayangan di bioskop. Sebut saja seperti jumlah penonton Warkop DKI reborn: jangkrik bos! Part 1 yang mampu mendongkel kesuksesan film laskar pelangi (2008), dengan jumlah penonton sebanyak 4.719.453.
Satu hal yang menarik dicermati dari industri perfilman di dunia dan Indonesia adalah tak jarang kita melihat film-film yang mengangkat kisah dari novel-novel laris. Seperti yang sudah dijelaskan di atas kita sebut saja laskar pelangi. Film yang tayang pada 2008 film ini diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata yang berjudul serupa titik seperti halnya pada novel, film ini pun ternyata laris manis juga di pasaran lantaran sukses meraih 4,6 juta penonton. Berdurasi sekitar 125 menit, film ini disutradarai oleh Riri Reza, skenario ditulis oleh Saiman Aristo serta Mira Lesmana sebagai produsernya.
Setelah laskar pelangi, ada pula film ayat-ayat cinta yang diadaptasi dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy berjudul serupa titik seperti laskar pelangi film ayat-ayat cinta juga sukses meraih jutaan penonton bahkan hingga meraup keuntungan sekitar Rp 125 miliar. Uniknya, novel karyanya kian laris manis setelah filmnya muncul.
Banyak lagi film-film di Indonesia diangkat dari novel dan terhitung mencatat sukses dari deretan film tersebut, kita bisa simpulkan bahwa novel laris bisa menjadi faktor penentu larisnya kisah tersebut ketika diangkat ke layar lebar tidak dipungkiri bahwa ada faktor-faktor yang menjadi pemicu kekurangan saat desa dalam novel diangkat menjadi cerita film atau lebih dikenal dengan istilah film adaptasi.
Adapun alur film adaptasi yaitu dimulai dari novel lalu menjadi film kemudian menjadi film adaptasi. Satu kekurangan adalah tidak semua kisah atau alur cerita dalam novel bisa diangkat ke layar lebar. Ini terjadi karena pada dasarnya antara film dan novel punya perbedaan dari sisi perspektif materi hingga penontonnya.
Ada beberapa jumlah perubahan yang terjadi ketika karya sastra diangkat menjadi film. Apa sajakah perubahan tersebut?
1. Kebebasan berimajinasi pembaca akan hilang
2. Tak ada lagi aspek mendalam dari sisi makna bahasa
3. Karya tulis punya kelebihan dan mengungkap pemikiran para tokohnya
Â
Itu adalah tiga faktor yang menyebabkan perubahan yang terjadi ketika karya sastra diangkat menjadi film.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H