"Hmm ... payah, lo, Bro!" Maher meninju pelan lengan Farzan yang membuatnya meringis.
***
"Wuih, rapi amat, lo," celetuk Farzan melihat penampilan sahabatnya yang biasa memakai t-shirt dan jeans belel, kini memakai kemeja dan celana berbahan semi wol.
"Iyalah! Gue, kan, mau ke masjid. Ngaji, Bro!"
Tentu saja Farzan sangat senang melihat perubahan pada Maher. Satu bulan terakhir, pemuda jangkung itu tidak pernah absen mengikuti kajian di masjid kampus. Bahkan, ia meminta Farzan mengajarinya membaca Al-Quran dua kali dalam sepekan. Maher yang biasanya mudah bosan, bisa mengikuti kajian selama dua jam sampai acara ditutup.
"Her, ingat kata Ustaz Hamid tadi bahwa setiap amal akan dinilai sesuai dengan niatnya. Allah sangat mungkin untuk mengabulkan niat hamba-Nya. Jadi, jangan sampai niat lo cuma buat mendapatkan dunia aja. Rugi bandar, Bro!"
"Maksud lo?" Dahi Maher berkernyit.
"Kalo lo niat ikut kajian supaya bisa dekat sama Inara, itu sangat mungkin terjadi. Tapi, waktu yang lo habiskan cuma dapat simpati Inara doang. Waktu dan pengorbanan yang lo habiskan, tidak bernilai pahala di sisi Allah."
Maher tertegun. Ia baru menyadari sesuatu. Selama dua jam mengikuti kajian, ia memang duduk di sana hingga acara usai. Namun, pikirannya berkelana ke mana-mana.
"Padahal, Rasulullah bersabda bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga," ucap Maher pelan seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
"Nah, ituh! Dah, ah, gue balik." Farzan berlalu menuju kantin dan meninggalkan Maher yang masih termangu.