Setitik sinar mentari menyelusup di antara jendela yang tidak tertutup rapat. Cahaya yang minim menambah suram suasana kamar yang sudah ditinggalkan penghuninya beberapa tahun lalu.Â
Tampak beberapa surat kabar yang tergeletak berdebu, menandakan benda itu tak tersentuh bertahun lamanya. Cat tembok kamar yang pucat dan mengelupas bagai melukiskan kelamnya hidup Vino di masa yang lalu.
Botol brendi yang berdiri kokoh di atas meja berdebu di pojok kamar, seolah mengundang Vino untuk meraih, lalu menikmati isinya yang memabukkan. Brendi selalu memberi ketenangan semu karena setelahnya ia justru mendapati kenyataan hidup sepahit empedu.
Namun, entah kenapa, tujuh tahun lalu hal itu selalu menjadi akhir dari pelariannya. Kehidupan Vino yang keras menjadi sebab terbesar ketergantungannya pada cairan memabukkan itu.
Semua bermula ketika Wisnu, Papa Vino, mengabaikan putra semata wayangnya itu. Wisnu adalah seorang pengusaha kerajinan rotan yang sukses. Selain di Jakarta, Wisnu memiliki perusahaan cabang di Bandung dan Surabaya.Â
Wisnu berharap banyak agar Vino bisa menggantikannya memimpin perusahaan kelak.
Namun, Vino hanya mencintai seni. Meski Vino cerdas, ia belajar hanya sekadar untuk memenuhi nilai standar agar naik kelas.
Berkali-kali Wisnu mengingatkan Vino untuk lebih fokus pada pencapaian akademis, tetapi sang pewaris lebih suka berkutat dengan kamera.
"Kesuksesan apa yang bisa kamu raih dari sebuah kamera, Vino?" tanya Wisnu dengan tatap mata penuh amarah.
Vino tidak peduli dengan pesan papanya hingga Wisnu murka dan menarik fasilitas mewah yang selama ini dinikmati Vino. Bahkan, sekadar mengajak bicara putranya pun, Wisnu enggan.Â
Sang mama yang sangat menyayangi Vino diam-diam tetap memberikan materi yang dibutuhkan Vino.
Vino yang semula sangat dekat dengan papanya, bagaikan terbuang karena diabaikan. Ia merasa tuntutan papa sangat membebaninya. Akhirnya ia menjadikan brendi sebagai teman yang menerimanya tanpa syarat.
Pemuda itu semakin tenggelam dalam gelimang yang memabukkan, lalu akhirnya menghancurkan. Tubuhnya memiliki ambang batas untuk menerima tetes-tetes brendi yang menyeret ke dalam kebinasaan.
Hingga suatu ketika, Vino diantar temannya dalam kondisi mabuk berat. Selama seharian Vino beberapa kali muntah. Ketika Vino memuntahkan isi perutnya yang bercampur darah, Wisnu melarikannya ke rumah sakit dengan panik.
Tubuh kurus Vino yang berada di ambang ajal, menyentak kesadaran papa Vino. Rasa bersalah menguasai Wisnu yang telah abai hingga ia terkena serangan jantung. Sepekan setelah dirawat, Wisnu memeluk takdir, kembali ke haribaan-Nya.
Vino tergugu. Meski ia sempat membenci sang papa, tetapi kematian tetap membuatnya terpukul.Â
Terlebih ketika ia melihat Rheina, sang mama, yang menangis pilu. Vino kini baru menyadari, sang mama terlihat lebih kurus dengan wajah pucat dan lingkar hitam di sekitar matanya.
Rheina dan putranya, Vino, mengantar jenazah Wisnu hingga tempat peristirahatannya yang terakhir. Sepanjang prosesi pemakaman, Vino merengkuh bahu mamanya untuk memberi kekuatan.
Bagaimanapun, masa kecil hingga remaja yang ia lalui bersama papa meninggalkan banyak kenangan manis. Vino kini menyadari bahwa sikap keras papa semata-mata dilakukan untuk kebaikannya.
"Maafkan Vino, Pa. Vino berjanji akan belajar dengan serius dan menjadi kebanggaan mama-papa," ucapnya dengan kesungguhan terpancar dari bola matanya.
Rheina yang menyaksikan hal ini menangis haru. Ia berbahagia karena putranya telah kembali.
Sebulan setelah wafatnya Wisnu, Vino mendaftar kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual. Selain itu, di antara waktu senggangnya, ia mengikuti pelatihan-pelatihan bisnis.Â
Berkat ketekunannya, Vino berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan berbagai ilmu bisnis dari pelatihan-pelatihan yang diikutinya.
Setelah lulus kuliah, Vino memimpin perusahaan milik keluarga. Dengan ilmu yang dimiliki, Vino berhasil mengembangkan perusahaan dan menaikkan omzetnya.Â
Hasil kerajinan rotan yang diproduksi perusahaan Vino lebih inovatif dan unik dengan strategi pemasaran yang kreatif.
Kini, setelah tujuh berlalu, Vino berada di rumah yang ditinggalkan selepas kepergian sang papa. Ia ingin merenovasi rumah yang penuh kenangan ini menjadi sebuah studio foto.Â
Vino akan menyulap rumah penuh kenangan itu menjadi tempat bisnis tanpa harus mengesampingkan hobinya.
Vino menyapu pandangannya pada kamar kusam yang menyimpan banyak kisah kelam. Biarlah sejarah mencatat, seorang anak manusia pernah terpuruk karena merasa diabaikan.Â
Kematian papa juga menjadi titik balik kesadaran Vino bahwa hidup sangatlah berharga jika harus diisi dengan perbuatan yang justru menjerumuskan.
Brendi yang dulu menjadi teman setia, akan ia kubur bersama kenangan pahitnya. Dengan rasa optimis dalam genggaman, ia menyongsong masa depan yang menyambut gemilang.
Baca juga:
"Janji Hadi" https://www.kompasiana.com/tatiek94998/61b50f2b62a70467de6e56e2/janji-hadi
"Senja di Hati Andini" https://www.kompasiana.com/tatiek94998/61b1bbeb75ead617302c12d2/senja-di-hati-andini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H