Sang mama yang sangat menyayangi Vino diam-diam tetap memberikan materi yang dibutuhkan Vino.
Vino yang semula sangat dekat dengan papanya, bagaikan terbuang karena diabaikan. Ia merasa tuntutan papa sangat membebaninya. Akhirnya ia menjadikan brendi sebagai teman yang menerimanya tanpa syarat.
Pemuda itu semakin tenggelam dalam gelimang yang memabukkan, lalu akhirnya menghancurkan. Tubuhnya memiliki ambang batas untuk menerima tetes-tetes brendi yang menyeret ke dalam kebinasaan.
Hingga suatu ketika, Vino diantar temannya dalam kondisi mabuk berat. Selama seharian Vino beberapa kali muntah. Ketika Vino memuntahkan isi perutnya yang bercampur darah, Wisnu melarikannya ke rumah sakit dengan panik.
Tubuh kurus Vino yang berada di ambang ajal, menyentak kesadaran papa Vino. Rasa bersalah menguasai Wisnu yang telah abai hingga ia terkena serangan jantung. Sepekan setelah dirawat, Wisnu memeluk takdir, kembali ke haribaan-Nya.
Vino tergugu. Meski ia sempat membenci sang papa, tetapi kematian tetap membuatnya terpukul.Â
Terlebih ketika ia melihat Rheina, sang mama, yang menangis pilu. Vino kini baru menyadari, sang mama terlihat lebih kurus dengan wajah pucat dan lingkar hitam di sekitar matanya.
Rheina dan putranya, Vino, mengantar jenazah Wisnu hingga tempat peristirahatannya yang terakhir. Sepanjang prosesi pemakaman, Vino merengkuh bahu mamanya untuk memberi kekuatan.
Bagaimanapun, masa kecil hingga remaja yang ia lalui bersama papa meninggalkan banyak kenangan manis. Vino kini menyadari bahwa sikap keras papa semata-mata dilakukan untuk kebaikannya.
"Maafkan Vino, Pa. Vino berjanji akan belajar dengan serius dan menjadi kebanggaan mama-papa," ucapnya dengan kesungguhan terpancar dari bola matanya.
Rheina yang menyaksikan hal ini menangis haru. Ia berbahagia karena putranya telah kembali.