Sabtu kemarin (08/01/22), saya mengantar anak bujang untuk tes antigen sebagai syarat masuk ke pesantren. Dalam perjalanan pulang, saya melihat gerobak yang menjual duku.Â
Anak saya yang berada di belakang kemudi tahu, bundanya penyuka buah duku. Melihat saya yang selalu menengok setiap ada gerobak duku yang dilalui, dia menawarkan untuk berhenti. Namun saya ragu hingga beberapa gerobak terlewati.Â
Si bujang kembali menawarkan untuk berhenti melihat saya masih celingukan sementara di sepanjang jalan ada beberapa gerobak yang menawarkan dagangannya. Akhirnya tawaran si bujang saya iyakan.Â
Harga yang tertera pada gerobak adalah harga per setengah kilogram. Tanpa banyak tanya, saya pesan dua kilogram.Â
Setelah selesai ditimbang, saya merasa janggal. "Mas, ini beneran dua kilo?" tanya saya penasaran.Â
"Beneran, Bu," jawab penjual duku meyakinkan.Â
Meskipun ada rasa ragu, akhirnya saya bayar sesuai jumlah yang saya beli.Â
Masuk mobil, si bujang tanya, berapa yang sudah saya beli. Begitu tahu saya beli dua kilogram, dia berkomentar, "Dua kilo, kok, kelihatannya dikit, Nda?"Â
Nah, lho! Anak saya yang jarang belanja aja berkomentar begitu. Kami yang biasanya langsung menikmati makanan yang dibeli, kali ini saya minta makan di rumah saja. Saya penasaran, mau menimbang dulu. He he he ....Â
Feeling saya benar, ternyata memang timbangannya kurang. Nggak tanggung-tanggung, dalam dua kilogram nyaris kurang 500 gram. Woww, saya kaget! Itulah mengapa sejak semula saya ragu membeli meski itu buah kesukaan saya.Â
Pengalaman membeli buah yang dijajakan di gerobak beberapa tahun lalu di Pasar Tanah Abang, belum hilang dari ingatan saya. Waktu itu saya membeli anggur dan timbangannya kurang satu ons dalam satu kilogramnya.Â
Saya merasa tertipu? Oh iya, jelas.Â
Lalu, apakah hal semacam ini ada aturannya dalam negeri kita?Â
Ternyata hal ini sudah diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 Ayat (1) huruf c menegaskan "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya".Â
Sangat jelas jika ketentuan pasal tersebut dilanggar maka UU tersebut memberikan sanksi pidana penjara yang lumayan lama serta denda yang cukup besar.Â
Dapat dilihat di dalam Pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 tahun 1999 yang menetapkan bagi pengusaha atau pedagang yang melanggar Pasal 8 di atas dapat diganjar dengan sanksi pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), dinyatakan:Â
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00Â
Dalam Islam, Al-Quran telah menegaskan di dalam Surah Ar-Rahman Ayat 9 yang artinya ''Dan, tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan mengurangi takaran itu".Â
Hal ini juga ditegaskan di dalam Al-Quran bagi pelaku yang mengurangi takaran, ukuran dan timbangan itu sejatinya hanya akan mengantarkan pada kebinasaan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mutaffifin ayat 1-3:Â Â
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (1), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi (2), dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3)."Â Â
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa orang yang curang itu ketika dia membeli maka dia ingin barang beliannya ditambah takarannya tapi ketika dia menjual ke orang lain justru dia mengurangi timbangan sehingga merugikan pembeli. Â
Dalam tafsir Tahlili, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dijelaskan bahwa kecelakaan besar bagi orang yang berlaku curang dalam menakar dan menimbang adalah azab dan kehinaan yang besar pada hari kiamat. Hal ini karena mereka dianggap telah memakan harta orang lain tanpa kerelaan pemiliknya.Â
Yang dimaksud dengan takaran di sini mencakup segala ukuran dan timbangan yang biasa dipakai dalam jual beli dan terkait dengan pengurangan hak orang lain.Â
Faktanya kita banyak sekali menjumpai pengurangan-pengurangan dalam menakar yang merugikan orang lain, seperti menjual tabung gas yang isinya tidak sesuai dengan standar, mengurangi literan bensin yang dijual, atau penjual kain yang mengurangi ukuran kain yang dijualnya.
Praktek semacam ini sering sekali dijumpai di pasar-pasar tradisional, bahkan pasar modern. Meskipun nilai yang dikurangi kecil, tetapi bila dilakukan dalam waktu lama dapat merugikan banyak konsumen dengan jumlah yang cukup besar.
Inilah salah satu penyebab konsumen lebih suka belanja di supermarket meski harganya relatif lebih mahal. Selain konsumen bisa memilih barang yang bagus, mereka pun mendapatkan takaran yang pas.
Saya sendiri lebih suka belanja pada tukang sayur langganan. Selain dipilihkan buah-buahan yang bagus, takarannya pun sesuai. Dan tentu saja, diantar sampai depan rumah. Bagaimana dengan anda?
Sumber:
https://www.litigasi.co.id/posts/adakah-sanksi-pidana-bagi-pedagang-yang-kurangi-timbangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H