Aku kembali terpaku dan kaku enggan berucap.Â
Aku malah memaki keadaan dan waktu. Detak jantungku ku tidak biasa saja. Berada diketidakadaan harapan atas pintanya. Sungguh mati, aku seperti orang tolol.
Perlahan, mulai ku ungkap juga kondisiku sebenarnya. Namun, ia malah berucap "..Karna cinta dan sayangku lebih besar daripada kekecewaan itu".
Aku mengutuk diriku dan meminta waktu yang dulu kembali.Â
Meruntih Benang
Aku memang pecundang disetiap babak hidupku ini, seringkali mengkhianati diri sehingga aku juga luka oleh diriku sendiri.Â
Kembali ku ingat kata-kata Agri dulu. Coba saja, ku ikuti. Tidak mungkin aku dihantui rasa sesal begini.
Ah, sudahlah. Harus kujalani dulu hubungan ini. Sampai kapan aku juga tidak tahu. Aku sudah membawa diri terlalu dalam. Bahkan saat ia pulang, aku meminta ia kembali hadir di kota ini.
Sungguh, bersembunyi dari sorot mata mereka membuat aku lepas kendaliPeluk aku, sehangat yang kamu bisaBuat aku lupaNanti, kita tentukan saatnya..(jerit hatiku, 18/05/2019)
Aku bukan lagi sekadar pengangumnya, aku sudah jadi pecandu hadirnya.Â
Tidak lama kemudian ia kembali datang ke kota ini. Kali ini aku semakin menjadi. Kami bercumbu dan melumat rindu dengan rasa yang kian menggebu. Tapi aku menjanjikan kefanaan untuknya.
Ia malah ku buat luka dengan segala retorika yang ku ucap. Padahal, nurani ini memang ingin terus bersama. Aku memang ingin "pulang" dan menentap. Tapi bagaimana? Aku tidak mau omongan keluarga dan tetangga menambah luka.