Selama hampir 10 bulan sejak adanya Pandemi Covid-19, saya tidak berkunjung ke Cianjur yang merupakan kota kelahiran dari suami. Pada akhir Desember 2020 kemarin kami mengantarkan anak yang ingin liburan di  rumah kakak yang berada di sana. Ketika melewati bundaran yang ada tugu lampu gentur yang terletak di persimpangan jalan Ir. Juanda, jalan dr Muwardi dan jalan Abdullah bin Nuh saya merasa heran dan takjub karena sudah banyak perubahan di sekitar bundaran.
Bundaran ini akan terlewati oleh pengguna jalan yang dari arah Puncak menuju pusat Kota Cianjur. Di sekitar bundaran ini sudah ada bangunan mall baru yang megah walaupun belum berfungsi, dan di seberangnya ada mesjid Abdullah bin Nuh atau lebih dikenal dengan sebutan mesjid Al Kubro yang memiliki halaman parkir yang luas. Bundaran ini akan terlihat indah di malam hari, karena lampu genturnya akan menyala.
Beberapa tahun lalu bundaran tersebut masih kecil dan terdapat tugu mamaos yang sekarang diganti dengan tugu lampu gentur, bundaran ini menyimpan banyak kenangan bagi keluarga kami karena dulu rumah mertua terletak di pinggir jalan dan jaraknya hanya beberapa meter saja dari bundaran tersebut.
Saya mencari foto-foto rumah dulu, tetapi hanya menemukan foto ketika rumah sudah dihancurkan dan pada saat itu saya sempat foto dengan latar belakang bundaran lama. Saya juga sempat mengambil foto anak di depan warung yang masih ada, karena warung yang paling terakhir dihancurkan setelah barang-barangnya dikeluarkan semua.
Dan betul saja anak yang saya lahirkan adalah seorang laki-laki, wajahnya mirip dengan ayahnya tetapi bentuk mata dan telinganya mewarisi sifat kakeknya. Sayangnya ayah mertua tidak pernah bisa melihat cucunya, karena pada saat kahamilan saya menginjak bulan bulan ke enam beliau meninggal dunia.
Di depan warung tersebut pada saat sedang liburan, saya sering duduk di kursi sambil menemani anak melihat bus yang melewati bundaran. Karena sejak kecil anak saya senang sekali melihat bus yang lewat bahkan hapal dengan nama-nama bus antar kota maupun bus antar propinsi.
Rumah mertua juga merupakan tempat persinggahan bagi saudara yang berasal dari Sumedang ataupun Cimahi yang akan melanjutkan perjalanan ke arah Jakarta ataupun saudara dari Sukabumi yang akan melanjutkan perjalanan ke arah Bandung. Biasanya mereka akan beristirahat dulu di rumah ini sebelum melakukan perjalanan, karena memang letak rumah tersebut sangat strategis dan berada di pinggir jalan.
Suami dan beberapa kakak kandungnya dilahirkan, dibesarkan dan bersekolah di Cianjur, sehingga mengalami banyak kenangan dari sejak kecil sampai dewasa di rumah ini. Terakhir kami berkumpul yaitu pada liburan tahun baru 2016, dan semua keluarga dari luar kota datang pada waktu itu.
Sebelum adanya Pandemi COVID-19, setiap perayaan tahun baru di sekitar bundaran dan parkiran mall selalu ramai. Menjelang magrib arus jalan yang menuju puncak sudah ditutup, begitupun jalan yang menuju  ke arah mall juga sudah di tutup dengan pembatas oleh polisi sehingga kendaraan tidak bisa melewati jalan tersebut. Dari depan rumah, kami bisa menyaksikan bapak- bapak polisi yang sedang berjaga ataupun orang-orang yang lalu lalang menuju ke parkiran mall untuk merayakan tahun baru.
Setiap  malam tahun baru di Cianjur, ramai orang yang datang dan berkumpul di sekitar bundaran ataupun parkiran mall karena banyak acara yang diselenggarakan di tempat tersebut. Saya dan keluarga lebih memilih berkumpul bersama di teras rumah sambil membakar jagung karena suara kembang api, ataupun suara orang yang bersorak sambil meniup  terompet akan terdengar  ke rumah tepat pada pukul 12.00 malam. Bila ingin melihat kembang api, kami bisa melihatnya dengan jelas di belakang rumah.
Beberapa bulan setelah tahun baru 2016, rumah dan warung tersebut diratakan dengan tanah, digunakan untuk pelebaran jalan di sekitar bundaran dan juga pembangunan mesjid. Bekas rumah mertua sekarang dijadikan halaman parkir mesjid Al Kubro.
Pada saat main ke Cianjur, sebelum ke rumah kakak maka kami  akan mampir dulu ke tempat jualan tersebut. Sambil duduk di depan warung, kami bisa memandang dengan leluasa ke arah bundaran ataupun ke arah mesjid yang letaknya di seberang jalan. Walaupun rumah tersebut sudah tidak ada bekasnya sama sekali, tetapi bentuk rumah dan segala kenangannya masih bisa kami ingat dengan baik.
Pernah saudara dari Sumedang ataupun dari Sukabumi ketika bertemu dengan kami mengatakan dalam bahasa sunda "meni waas" bila lewat di sekitar bundaran tersebut. Begitupun bagi kami, bila melewati bundaran tersebut ada perasaan sedih karena akan membangkitkan ingatan tentang rumah yang pernah kami tinggali dulu. Semoga kenangan ini akan tetap terpatri di dalam hati kami, dan akan selalu menjadi kenangan indah yang tidak akan dilupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H