Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sensasi Buku yang Bertanda Tangan Penulisnya

2 Oktober 2021   11:12 Diperbarui: 5 Oktober 2021   11:30 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SENSASI BUKU YANG BERTANDA TANGAN PENULISNYA

Di beberapa film produksi luar negeri kadang ditemukan adegan yang khas ini.

Seorang penulis buku duduk di meja dengan pena di tangannya. Ia menyapa ramah seseorang yang memegang buku karyanya. Terjadilah dialog pendek antara penulis dan penggemar. Semisal bertanya nama atau untuk dihadiahkan kepada siapa. Selanjutnya jilid buku dibuka oleh pemiliknya dan disodorkan perlahan dengan sangat sopan. Sejurus kemudian sret, sreet, sreeet, sreeeet (bunyi goresan pena di halaman muka) ia menorehkan nama dan tanda-tangannya.

Sang penulis mengembalikan buku itu kepada pemiliknya yang tampak senang bukan kepalang, tersenyum riang, dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Beberapa fans penulis yang lain berbaris rapi mengantre tunggu giliran.

Bagi pemilik buku, berkesempatan bertemu dengan penulis buku dan memperoleh tanda-tangannya seperti dalam adegan film dipastikan memiliki sensasi tersendiri.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Apalagi jika buku itu sedang naik daun alias booming atau bermutu tinggi isinya atau penulisnya favorit bagi penggemar. Wuih, benar-benar sejuta rasanya (mengutip sepotong lirik lagu "Jatuh Cinta" yang dinyanyikan mbak Titiek Puspa).

Mungkin serupa dengan sensasi anak-anak baru gede yang berkesempatan bertemu dengan artis (baca: bintang sinetron, penyanyi dangdut, youtuber) yang diimpi-impikan mereka siang dan malam. Begitulah, tanda tangan artis itu tergolek manja di buku diary atau poster artis (biasa ditempel di dinding kamar).

Yang pasti adalah ada dua hal. Pertama, buku-buku yang tidak bertanda tangan penulisnya. Kedua, buku-buku yang bertanda tangan penulisnya.

Buku-buku yang tidak bertanda tangan penulisnya tidak berarti tidak pernah bertemu dengan penulisnya. Begini contoh kongkretnya.

Sedari kecil saya mengenal Prof. Dr. Yus Rusyana dari buku-bukunya. Misalnya buku berbahasa Sunda cerita Lutung Kasarung dalam bentuk pantun. Di majalah berbahasa Sunda Mangle, saya kerap membaca artikel-artikelnya. Alhamdulillah, sewaktu saya kuliah di IKIP Bandung bisa bertemu langsung. Beliau dosen mata kuliah menulis yang inspiratif.

Suatu ketika, kami (saya dan teman-teman sekelas) diundang ke rumah beliau untuk berlatih pementasan drama. Pementasan drama sebagai praktik mata kuliah drama, sebulan ke depan. Latihan berjalan lancar. Sesudah bersantap bersama, pak Yus Rusyana meminta beberapa dari kami membacakan puisi-puisinya. Di depan beliau dan ibu Ami Raksanagara, saya termasuk salah seorang yang membacakan salah satu puisi dari buku kumpulan puisinya. Kapan lagi, itu kesempatan yang tak berulang dua kali.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Saya ingat buku-buku pak Yus Rusyana yang pernah ditulisnya sebagian dipajang di dinding. Tidak mengherankan karena beliau seorang penulis yang banyak menulis buku, baik berbahasa Indonesia maupun Sunda. Salah satunya kumpulan cerpen berbahasa Sunda Jajaten Ninggang Papasten mendapat Hadiah Sastra Rancage pertama (tahun 1989) dari Yayasan Rancage, Ajip Rosidi.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Meskipun saya ketika itu memiliki buku-buku karangannya, terutama yang berkaitan dengan materi perkuliahan, sayang seribu sayang  tidak satu pun yang bertanda-tangan beliau. Tidak terpikirkan di masa itu.

Buku-buku yang tidak bertanda tangan penulisnya pada umumnya memang karena tidak pernah bertemu langsung dengan penulisnya. 

Misalnya, saya memiliki dan membaca buku-buku Ajip Rosidi antara lain kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, kumpulan puisi Terkenang Topeng Cirebon, kumpulan surat Yang Datang Telanjang, kumpulan memoar Ucang-Ucang Angge, termasuk buku Hidup Tanpa Ijazah yang sangat tebal itu. Namun, semuanya tanpa tanda tangan penulisnya.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Di samping itu, kerap juga terjadi pernah bertemu dengan penulisnya tetapi tidak berkesempatan memiliki tanda tangannya.

Contohnya saya pernah bertemu penyair Si Burung Merak, WS Rendra. Juga penyair asal Madura, D Zawawi Imron. Namun, karena tidak berkesempatan maka tidak ada buku karangan kedua penyair ternama itu tergores di buku-buku karangan keduanya yang saya miliki. Kumpulan cerpen Pacar Seorang Seniman, kumpulan artikel Memberi Makna pada Hidup yang Fana (WS Rendra). Kumpulan puisi Bulan Tertusuk Ilalang (D Zawawi Imron). Saya hanya berkesempatan memotret dan memvideokan keduanya ketika membaca puisi.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Demikian pula hanya dengan Motinggo Busye, Dosa Kita Semua, novelnya yang saya miliki.

Buku-buku yang bertanda tangan penulisnya bisa dipastikan karena pernah bertemu dan pernah berkesempatan untuk meminta tanda tangan.

Sebagai contoh saya berkesempatan bertemu dan memperoleh tanda tangan penyair Sutardji Calzoum Bachri pada buku puisi O Amuk Kapak. Juga penyair Taufiq Ismail pada buku puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Cerpenis Hamsad Rangkuti pada buku kumpulan cerpen Sampah Bulan  Desember. Pun cerpenis-novelis-dramawan Putu Wijaya pada kumpulan cerpen Zig Zag.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Yang menarik adalah buku bertanda tangan penulisnya padahal saya tidak pernah bertemu dan dan tidak pernah berkesempatan untuk meminta tanda tangannya. Buku itu saya beli secara online. Yang saya maksudkan yakni buku kumpulan cerpen T(w)itit! karya Djenar Maesa Ayu. Buku ini merupakan cetakan pertama, 14 Januari 2012, diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Selain terdapat tanda tangan penulisnya, juga disertakan bekas bibir yang tertera jelas.

foto dokumentasi pribadi
foto dokumentasi pribadi

Ada-ada saja ya.***

Bogor, 1 Oktober 2021

Artikel lainnya: Sepotong Renungan Ringan: Penyerangan Terhadap Ustad yang Berceramah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun