Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hormat (pada) Bendera Merah Putih, Bagaimana Menurut Agama?

17 Agustus 2021   20:59 Diperbarui: 7 September 2021   21:46 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Mufid Majnun from Pixabay

     Sejak kapan anda menghormat bendera?

     Saya sendiri, pertama kali, sejak berdiri dengan kaki baralas sandal merek Lily ketika SD di Senin pagi. Semasa SMP pernah anggota paskibra pengibar Sang Saka alangkah bangga. Saat SMA saya pengikut setia upacara detik-detik penaikan bendera Dwiwarna dan selalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya meskipun suara jauh dari kategori merdu. Nah, setelah bekerja pada negara sesekali saya menjadi pembina upacara memimpin pengibaran bendera Merah Putih: perlambang gagah berani serta mulia suci.

     

     Jika anda seorang muslim, sejak kapan anda berpikir bahwa ada persoalan antara menghormat bendera dan agama yang anda peluk? Karena saya seorang muslim, maka baiklah saya menjawab sendiri pertanyaan ini. Sungguh sangat ganjil. Seumur hidup saya, baru kali ini ada yang mempersoalkan menghormat (pada) bendera dari sudut pandang hukum agama Islam. BPIB mencetuskan tema ini sebagai sayembara menulis artikel. Ada-ada saja tetapi tentu ada udang dibalik batu.

     Sebagai pendidik, saya beruntung pernah berkesempatan mengajar di sekolah bertaraf internasional. Para siswa berbeda-beda suku dan berlainan agama. Semua agama yang ada di Indonesia ada pemeluk teguhnya di sana. Tambahan lagi, siswa-siswi keturunan Yahudi dengan agama mereka. Salah satu yang istimewa dari mereka adalah setiap kali diselenggarakan upacara penaikan bendera, mereka izin untuk tidak mengikutinya. Alasannya, menghormati bendera dengan cara seperti biasa kita menghormatinya (yaitu dengan mengangkat tangan di atas bahu dengan jari-jari mendekati ujung bawah telinga) dikhawatirkan menimbulkan semacam syirik, menyekutukan Tuhan. Namun, tidak berarti mereka tidak menghormati bendera sebagai lambang negara. Mereka memiliki cara lain untuk itu. Bukan pula menandakan mereka tidak mencintai negeri ini, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

     Islam sejauh yang saya pahami, mengajarkan penganutnya untuk menghormati benda-benda. Orang Islam menghormati bangunan masjid dengan shalat 2 rakaat. Tidak berarti menyembah masjid, tetapi bersyukur atas keberadaannya sebagai tempat ibadah. Nabi Muhammad merawat, menjaga, dan menamai benda-benda miliknya sebagai cara menghormati. Seperti saya kini menamai kendaraan (Winnetou) dan kucing (Grazo). Bahkan, dalam situasi gawat sekalipun, tidak diizinkan merusak bangunan, menebang pepohonan, termasuk mencabut sejumput rumput sebagai bentuk penghormatan pada benda-benda.

     Menghormat (pada) bendera ada pada konteks yang sama.

     Menghormati bendera itu pertanda mencintai tanah air, mencintai negara. "Mencintai tanah air termasuk iman", demikian bunyi Hadits yang kerap saya dengar. Itu sebentuk iman dan kepatuhan yang tulus tidak terhingga pada ajaran agama. Dalam Al Quran ada disebutkan perintah untuk mengusir penjajah yang berupaya merebut tanah air milik suatu bangsa. Itu sebentuk kecintaan lain luar biasa yang bersatu padu secara sempurna dengan keimanan. Para pahlawan dan segenap rakyat di masa lalu telah berkorban dengan ikhlas berjuang, dalam kecintaan dan keimanan, hingga Indonesia merdeka.

     Bukankah seyogyanya kita bersyukur memiliki tanah air sendiri dan berdaulat, atas berkat dan rahmat-Nya? Tidakkah kita senang dianugerahi negara ini berikut sederet simbolnya: bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Garuda Pancasila, dan Pancasila?

     Orang Islam yang memahami agama Islam dan seorang pancasilais yang mengerti Pancasila tentu tidak akan membuka ruang dan mempersoalkan antara menghormati bendera dengan hukum agama Islam. Pun perkara yang serupa karena berpotensi menjauhkan jarak antara keagamaan dan kenegaraan. Sesuatu yang kontraproduktif dan mengundang konflik.

     Pancasila dan agama (Islam), dua perihal yang bersandingan bukan bersaingan. Keduanya tidak untuk ditandingkan tetapi disandingkan. Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang literat dan taat beribadat, merupakan saripati dari prinsip-prinsip agama. Dari agama Islam misalnya sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" bersumberkan ajaran ketauhidan, seperti surat Al Ikhlas. Dalam beberapa konteks, agama sebagai hipernim sedangkan Pancasila sebagai hiponim. Selalu selaras dan satu garis lurus. Karena itulah keduanya tidak patut dipertentangkan.

     Pancasila dan agama saling terhubung. Keduanya bertali-temali, saling bertaut dan  berkelindan, seiring sejalan, dua sejoli abadi yang tidak terpisahkan. Jika ada yang mau berusaha memisahkan, mungkin itu ideologi lain yang cemburu dan bernafsu melenyapkan.

     Para pendidik mahfum bahwa pada jenis tes pilihan soal-soal yang menyajikan pilihan seperti "Pancasila atau Al Quran", "UU buatan manusia atau UU buatan Tuhan", "Soekarno atau Nabi Muhammad", jelas menunjukkan pembuat soal tidak punya ilmu pengetahuan yang cukup untuk membuat soal yang memenuhi kriteria standar sekalipun. Soal-soal semacam itu mengabaikan prinsip-prinsip penilaian seperti valid, objektif, adil, bermakna, mendidik, dan akuntabel.

     Hemat saya, tema yang lebih relevan untuk memperingati Hari Santri Nasional 2021 seperti (1) peran Islam dalam menegakkan Pancasila, (2) pesantren sebagai cikal bakal pendidikan Indonesia, (3) pemberantasan korupsi dalam sudut pandang Pancasila, dan (4) ideologi komunisme bertentangan dengan Pancasila. Saya rasa itu lebih baik daripada tema-tema yang tampak lebih cenderung mempertentangkan dan menyudutkan antara agama Islam dan lambang negara.

      Meskipun BPIP pada akhirnya meminta maaf dan mengganti tema sayembara, tema-tema semula yang diajukan menunjukkan makna tertentu. Apa yang tampak di luar sebagai deretan kata-kata, bagaimanapun mencerminkan itikad sesungguhnya--yang tidak tampak dan bersembunyi--di dalamnya.***

Bogor, 17 Agustus 2021

Artikel lainnya, "Ketika Pancasila dan Bahasa Indonesia Lenyap dari Kurikulum" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/607bae8b8ede4838176f6372/ketika-pancasila-dan-bahasa-indonesia-lenyap-dari-kurikulum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun