Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru PPPK, Komitmen Lisan, dan Noise dalam Komunikasi

31 Maret 2021   10:49 Diperbarui: 31 Maret 2021   10:57 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Seminggu yang lalu (Rabu, 24 Maret 2021) harian Kompas mengabarkan berita yang asyik, menggelitik, dan rasanya renyah bagai keripik.

Di halaman 8 pada rubrik Pendidikan&Kebudayaan, judul berita tampak jelas, pada bagian atas, "Kepastian Anggaran Guru PPPK Tak Jelas."

Kini sejumlah pemerintah daerah menjadi sangsi. Ini karena komitmen pemerintah pusat yang akan menanggung tunjangan dan gaji guru PPPK belumlah pasti. Sementara PP Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK, Pasal 5 Ayat 2, yang menegaskan bahwa tunjangan dan gaji menjadi tanggungan daerah masih berlaku hingga kini. Namun, sudah berulang kali ada sosialisasi termasuk dari Mas Menteri tentang pemerintah pusatlah yang akan menggaji atau menunjang guru PPPK ini. Persoalannya, dalam tata kelola pemerintahan mestilah ada payung hukum yang tidak diragukan lagi. Maka sejumlah pemerintah daerah segera mengantisipasi, mengurangi jumlah kebutuhan guru di daerahnya seperti Provinsi Banten dari 11.000  menjadi 1.300 formasi, daripada makan hati.

Dalam kajian komunikasi, idealnya antarkomponen bersinergi sehingga rencana baik pemerintah pusat bisa sampai pada ujung pengelolaannya yaitu tercapainya tujuan pesan komunikasi itu sendiri. Sayangnya, ada kemacetan atau kebuntuan di sini. Ini yang disebut noise dalam komunikasi.

Entah gangguan apa yang tega-teganya mendistorsi pesan menggembirakan dari pemerintah pusat itu. Dampaknya jelas sangat mengganggu. Bukan hanya masalah jumlah formasi guru yang menciut jumlahnya beribu, tetapi juga masalah dimensi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia Indonesia yang pasti melambat padahal kita ingin Indonesia segera maju.

Pada sisi lain, ada yang mengira bahwa guru PPPK dengan guru pegawai negeri adalah sama. Bagaimana bisa sesuatu yang berbeda bisa dikatakan serupa, bagai pinang dibelah dua? Guru PPPK tidak mendapatkan pensiun, salah satunya. Sementara guru pegawai negeri barulah mendapatkannya setelah mengabdikan diri pada negara, berpuluh-puluh tahun lamanya.

Jika menengok ke belakang, tampaklah ada jejak sejarah terpampang.

Zaman Orde Baru dulu, gaji guru minimalis tetapi masih punya kedudukan sosial yang dipandang manis. Meskipun hidup serba kurang, sehingga dipandang perlu mencari tambahan dari menarik becak hingga berdagang, masyarakat masih segan memandang.

Zaman Reformasi dimulai, terasa sekali Baharudin Jusuf Habibie kemudian Abdurrahman Wahid memperhatikan kesejahteraan guru dengan lebih baik. Setiap tahun, pada eranya SBY mengumumkan kenaikan gaji pegawai negeri sipil meskipun sedikit-sedikit, tetapi cukup mempan menghalau inflasi, devaluasi, renumerasi yang tidak jadi, dan harga-harga barang yang meninggi sehingga guru pegawai negeri bisa tetap hidup laik.

Barangkali kita masing ingat, tahun 2000-an profesi guru pegawai negeri booming tiba-tiba. Ada magnet yang luar biasa. Tunjangan sertifikasi yang sebesar gaji, di antaranya. Pendapatan setingkat dengan gaji guru sekolah swasta yang bagusnya di atas rata-rata.

Guru bukan pekerja pabrik yang menghasilkan barang produksi yang bisa langsung dikonsumsi, dinikmati, dan dilihat kemanfaatannya. Profesi guru mulia justru karena bukan mencipta benda-benda, melainkan mendidik manusia. Di tangan gurulah terletak investasi sumber daya manusia Indonesia. Oleh karenanya, hasil kerja guru hanya akan tampak dan terasa dua puluh tahun kemudian sebagai pemegang kendali dan penerus perjuangan para pendiri bangsa.

Mengherankan ketika kemudian, mungkin sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian tidak ada lagi guru pegawai negeri. Padahal dalam catatan sejarah lama, negara ini dibangun oleh wibawa profesi dan keilmuan guru, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda dimulai.

Kita pasti masih ingat bagaimana Kaisar Jepang yang bertanya berapa jumlah guru yang tersisa ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur setelah dibom Amerika, kemudian dalam 25 tahun Jepang menginvasi kembali dunia secara ekonomi, sebagai kisah nyata. Kemudian, tetangga kita Malaysia yang mendatangkan guru-guru dari Indonesia tahun 1970-an untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan di sana, sekian tahun kemudian pada akhirnya menjadi negara di Asia yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Tidak ada negara yang bangkrut karena memperhatikan pendidikan, tetapi banyak negara yang bangkrut karena tidak memperhatikan pendidikan." ujaran terkenal Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,  seorang tokoh nasional di bidang pendidikan.***

Bogor, 30 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun