Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

3 Puisi Lama

27 Januari 2021   13:05 Diperbarui: 15 Maret 2021   14:11 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Esther Merbt from Pixabay

BERTANYA PADA SENDIRI

katakanlah padaku tentang seberapa jauh langit

pada saat burung membentangkan sayapnya,

dan seberapa dalam palung lautan pada saat ikan

menyelam untuk mencapai dasarnya

di depan cermin aku mematut diri dan bertanya

pada sendiri: “bagaimana cuaca di luar hari ini?”

tetapi aku tak perlu menjadi burung dan ikan

sebab udara berumah di antara keduanya

hanya ketakmengertianku adalah bagaimana angin,

seperti arah nasib manusia, mengembara

ke tempat-tempat tak terkira dan selalu tiba-tiba

sementara aku kerap gagal mengajaknya bicara

1996

RENDEZVOUS

kupilih saat yang manis: rintik kecil hujan

riang menyanyikan kasidah rindu, rerumputan-pepohonan

bermahkota embun berdoa khusyu, dan hembus angin

perlahan sekali membisikkan selamat tinggal bernada sendu. saat langit

begitu cerah bermandikan cahaya pagi, kemudian terasa

semua telah sempurna: setiap bulir air mata yang jatuh

adalah pernyataan paling suci, bagiku

serupa isyarat kehilangan yang biru. ketika sepi menggenang

hingga bunyi detik jam dinding seperti letusan meriam kemenangan:

telah kuarungi lautan waktu dan kehidupan akan

tinggal kata-kata yang tersusun rapi sebagai biografi, sejak gaung tangis

pertama. dalam cinta, kureguk juga bergelas kedukaan

dan sepiring nikmat-Mu serupa hidangan lezat ketika lapar

mencapai puncak, dengan tak habis-habisnya

2004

ADAM

suatu kali nanti, dedaunan itu akan kau punguti

untuk menutup rasa malu. meski sendiri saja sebelum akhirnya

menggunjingkan nasibmu: apa jadinya jika

kau tak terjulur lidah setan itu,

memakan sebutir khuldi, sebutir kealpaan abadi

yang diwariskan sebagai kutukan

padaku

2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun