Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bicara Backlog Rumah Dan Land Banking: Sebuah Harapan Dari Kelas Menengah

15 Januari 2025   10:02 Diperbarui: 15 Januari 2025   10:02 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BBT menyediakan lahan untuk pengembangan perumahan MBR di Kendal | Foto: banktanah.id (cropped)

Sandang. Pangan. Papan. Di antara ketiga kebutuhan dasar ini, papan alias rumah relatif lebih susah didapatkan. Bukan hanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), namun juga bagi masyarakat kelas menengah. Terlebih lagi bagi generasi milenial juga Gen Z yang kini "memulai" kehidupan dewasanya. Mereka bertarung untuk memiliki tempat bernaung.

Berbagai tantangan muncul. Harga rumah semakin meroket, bahan bakunya mahal, pun lahan semakin terbatas, terutama di perkotaan. Padahal, kepemilikan rumah layak huni menjadi salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan masyarakat, menurut Badan Pusat Statistik.

Tentang Backlog Rumah dan Kelas Menengah

Lahan semakin terbatas | Foto: Dokpri
Lahan semakin terbatas | Foto: Dokpri

Di Indonesia, backlog atau krisis kepemilikan rumah menyentuh angka 12,7 juta (pembiayaan.pu.go.id, 2023). Data terbaru belum tersedia, namun secara empiri, backlog rumah diyakini masih tak terkendali.

Sejumlah penelitian menyatakan jika tingginya backlog menjadi challenge dalam penyediaan rumah layak huni. Tanpa rumah, masyarakat akan terlantar.

Ditambah lagi, fakta bahwa satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga sekaligus membuat rumah tidak sesuai standar. Badan Standar Nasional melalui SNI 03-1733-2004 menstandarkan luas rumah minimal adalah 36m2/KK atau 9m2/jiwa.

Jika dibiarkan, situasi ini akan menambah carut marut sektor lain. Seperti menurunnya kesehatan masyarakat, akses sanitasi serta air bersih tidak tercapai, dan sederet panjang efek negatif lainnya.

Muaranya tentu kesejahteraan masyarakat stagnan atau bahkan menurun. Maka jelas, pengadaan rumah yang layak dan terjangkau menjadi hal krusial, dan memerlukan perhatian serius.

Secara data, kebutuhan akan rumah lebih menonjol pada kelas MBR. Kementerian PUPR pada 2022 mendata setidaknya 93% backlog rumah berasal dari MBR. Namun jika melihat jumlah riil, tidak sedikit kelas menengah yang belum tinggal dengan aman dan nyaman.

Kelas menengah Indonesia adalah kelompok masyarakat berpenghasilan antara Rp 3,6 juta hingga Rp 14,4 juta per bulan. Berpendidikan tinggi dan memprioritaskan pengeluaran untuk hiburan, hobi, dan pendidikan anak, sambil bercita-cita memiliki rumah, kendaraan, dan teknologi. ~ Dokumen Brefing RPK I No. VI-Agustus 2024.

Hampir setahun yang lalu, tepatnya 20 Februari 2024, Harian Kompas edisi cetak menerbitkan artikel berjudul "Hunian Murah Impian Kelas Menengah".

Artikel itu menandai jika di kehidupan nyata kelas menengah juga mengidamkan rumah dengan harga terjangkau. Karena spektrum penghasilan kelas menengah ini cukup variatif, mereka yang berpenghasilan dibawah 7 juta bisa dipastikan masih struggle untuk membeli rumah. Termasuk saya pribadi.

Bila rumah dianggap sebagai parameter kesejahteraan, maka sebagian dari kelas menengah masih belum dapat dikatakan 'sejahtera'. Fenomena ini memperlihatkan tantangan besar dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah.

Kata undang-undang, penyedian perumahan dan permukiman menjadi urusan wajib bagi pemerintah. Implikasinya, pemerintah terus menggagas beragam instrumen untuk menyediakan rumah layak dan terjangkau. Salah satunya dengan konsep land banking.

Bank tanah memastikan penggunaan lahan berkelanjutan | Foto: Troy-mortier--Unsplash
Bank tanah memastikan penggunaan lahan berkelanjutan | Foto: Troy-mortier--Unsplash

Lewat Badan Bank Tanah, Denyut Harapan Itu Masih Berdetak

Land banking atau bank tanah bukanlah konsep baru. Mudahnya, bank tanah adalah mekanisme akuisisi lahan, lalu "menabungnya" sebagai bagian dari ketersedian lahan. Bank tanah dikategorikan sebagai bagian dari praktek SLM (sustainable land management).

SLM adalah metode yang mengkonservasi dan menggunakan lahan dengan menyelaraskan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Praktek ini memungkinkan pengelolaan lahan dengan adil dan berkelanjutan.

Idealnya, bank tanah dapat memastikan alokasi lahan secara optimal (land allocation), dapat mengontrol fluktuasi harga lahan (land price control), juga dapat membantu mengamankan lahan untuk kebutuhan pembangunan kedepan (land development).

Bank tanah yang dikelola dengan bijak pada akhirnya bermanfaat untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih terarah.

Mengingat manfaatnya, per 2021 lalu, pemerintah Indonesia membentuk badan khusus yang menangani pengelolaan lahan, yang dinamai Badan Bank Tanah atau Indonesia Land Bank Authority.

Peran, Fungsi, Manfaat BBT | ilustrasi pribadi dari PP 64/2021 dan BBT
Peran, Fungsi, Manfaat BBT | ilustrasi pribadi dari PP 64/2021 dan BBT

Badan Bank Tanah (BBT) dibentuk untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, dengan dimanfaatkan untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.

Badan ini mengambil peran dalam perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan, pemanfaatan, juga pendistribusian tanah. Hingga kini, BBT mengelola lahan seluas 27.169,54 Hektar yang terletak di 40 kabupaten/kota (banktanah.id).

Perlu dicatat, dalam memperoleh tanah, BBT tidak semena-mena mencaplok lahan. Masyarakat tidak perlu khawatir! Ada mekanisme panjang dan terukur yang dilakukan, untuk memperoleh lahan 'clear and clean' secara legal. Justru melalui programnya, BBT membantu masyarakat dalam penyediaan lahan untuk pembangunan rumah murah.

BBT menyediakan lahan untuk pengembangan perumahan MBR di Kendal | Foto: banktanah.id (cropped)
BBT menyediakan lahan untuk pengembangan perumahan MBR di Kendal | Foto: banktanah.id (cropped)

Pertengahan tahun lalu menjadi tonggak sejarah bagaimana BBT berkolaborasi dengan bebagai pihak dalam pembangunan rumah MBR. Di Margosari, Limbangan, Kabupaten Kendal, BBT menyediakan lahan seluas 4,26 hektar untuk didirikan 386 unit rumah.

Deputi Bidang Pemanfaatan dan Kerja Sama Usaha, Hakiki Sudrajat, dalam acara penandatanganan MoU kala itu mengatakan jika penghuni rumah MBR bisa menaikkan status sertifikatnya menjadi sertifikat hak milik (SHM) setelah 10 tahun.

Tak hanya di Kendal, BBT juga melakukan program serupa di Kabupaten Brebes. Berbekal keberhasilan ini, BBT bervisi akan terus mendukung pengurangan backlog rumah di tanah air.

Selama ini, MBR kerap difasilitasi dengan pembangunan rumah murah, rumah susun, BSPS, dll. Berbeda dengan kelas menengah yang cenderung "dibiarkan mandiri" menghadapi fluktuasi harga pasar.

Padahal, prinsip keadilan seharusnya mencakup seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan tertentu. Dalam bahasan ini artinya seluruh masyarakat menginginkan membutuhkan rumah. Maka harapannya, BBT juga perlu mempertimbangkan untuk mendukung pengurangan backlog rumah bagi kaum menengah.

Dengan begitu, hadirnya BBT membawa optimisme baru dalam upaya menciptakan kesejahteraan yang lebih merata. Dan denyut harapan kelas menengah untuk memiliki rumah masih tetap berdetak.

Ide Perolehan & Pemanfaatan Tanah

Pemanfaatan lahan harus berpedoman pada rencana tata ruang | Foto: banktanah.id (cropped)
Pemanfaatan lahan harus berpedoman pada rencana tata ruang | Foto: banktanah.id (cropped)

Sependek pengalaman saya sebagai perencana kota, permasalahan lahan memang sangatlah kompleks. Kepemilikan lahan menjadi hal krusial yang seringkali membuat bimbang.

Misal, ruang terbuka hijau publik perlu disediakan sebanyak 20% dari total luas daerah yang akan diatur. Namun, karena pemerintah daerah tidak memiliki aset tanah di sana, jumlah itu tidak mampu dipenuhi.

Di sisi lain, ruang kota kerap menyisakan brownfield area atau lahan tak terpakai lagi, terlantar, bahkan terkontaminasi. Selain itu, terdapat lahan berkonflik, kepemilikan aset tidak jelas, penguasaan lahan ilegal, dst.

Di Surabaya misalnya, lahan seluas 8.000m2 kembali dikuasi setelah pengadilan memutuskan lahan itu adalah aset pemkot. Selama ini tempat itu ditinggali secara ilegal.

Lahan itu lalu di-HGB-kan (hak guna bangunan) pada sebuah yayasan pendidikan. Yayasan tersebut berencana memakainya sebagai asrama mahasiswa internasional. Karena lokasinya berada di kawasan permukiman.

BBT dalam proses perencanaan dan perolehan lahan perlu mempertimbangkan hal-hal semacam ini. Mengisi kantong-kantong brownfield akan menjadikan suatu kota lebih compact. Dan mengembalikan aset-aset negara (terutama aset pemerintah pusat) adalah keniscayaan. Itu yang pertama.

KPK seringkali melelang harta rampasan terpidana koruptor, termasuk tanah | Tangkapan layar website KPK
KPK seringkali melelang harta rampasan terpidana koruptor, termasuk tanah | Tangkapan layar website KPK

Kedua, BBT juga bisa aktif memantau sistem lelang KPK untuk mengakuisisi lahan-lahan sitaan dari koruptor. Contohnya, KPK pernah melelang tanah terpidana Umar Ritonga di Kabupaten Bengkalis dan Siak, seluas total 15,66 hektar.

Selain itu, pada 2022 lalu, KPK juga melelang rumah dan tanah dua orang koruptor di Bandung seluas total 0,3 hektar. Beberapa luasnya memang kecil, namun karena berada kawasan permukiman, kedepan bisa dibangun tipe vertical house, apartemen sederhana bagi kaum middle class, misalnya.

Atau nantinya BBT bisa melakukan skema tukar guling lahan yang lebih luas. Tentu saja jika land appraisal yang dilakukan sesuai dengan prinsip BBT dan juga tata ruang.

BBT, melalui Komite yang menaunginya, perlu aktif mendorong DPR untuk mengesahkan UU perampasan aset, agar aset lahan para koruptor dapat dikelola BBT.

"Wah ini terlalu politis sekali." "Iya, memang. Badan Bank Tanah kan bagian dari instrumen pemerintah. Tentu saja keputusan yang diambil sedikit banyak akan berkaitan dengan politik."

Ide-ide ini terdengar susah dilakukan, namun dengan kapabilitas SDM di BBT yang mumpuni, saya yakin hal-hal semacam ini dapat diwujudkan.

Sebuah lesson learned dari Italia layak untuk dipelajari. Dari voanews.com, pada tahun 1996 Italia memberlakukan aturan hukum yang memungkinkan aset sitaan negara dapat digunakan untuk kepentingan publik.

Sebuah dokumen berjudul The Italian experience in the management, use and disposal of frozen, seized and confiscated assets yang dipublikasikan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menjelaskan rinci bagaimana negara Italia berhasil menyita aset para mafia negara tersebut. Pada salah satu bagian disebutkan, "On land confiscated from criminal organizations, people now produce pasta and wine." Tanahnya diolah oleh masyarakat setempat dan menjadi lebih produktif. 

Tak hanya itu, StAR World Bank dalam dokumen Managing Seized and Confiscated Assets, A Guide for Practitioners juga menyebutkan  bahwa sitaan aset koruptor atau kriminal dapat digunakan untuk kepentingan sosial, salah satunya perumahan terjangkau bagi para individu terlantar/ tidak memiliki rumah.

Penyitaan aset dapat difungsikan untuk kegiatan sosial | sumber: The World Bank
Penyitaan aset dapat difungsikan untuk kegiatan sosial | sumber: The World Bank

BBT harus terus berkolaborasi dan berinovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Jika selama ini informasi lahan diterima dari kantor pertanahan, baik pusat maupun daerah, kedepan BBT juga perlu mempertimbangkan untuk berkoordinasi dengan KPK maupun mahkamah agung.

Apabila lahan yang dikelola BBT semakin luas, maka lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara maupun masyarakat juga meningkat. Ini termasuk dalam kerangka penyediaan lahan untuk mendukung pengurangan backlog rumah. Impact-nya dalam jangka panjang, ekonomi berkeadilanpun dapat diwujudkan.

Terakhir, mengingat masyarakat juga dapat berkecimpung dalam perolehan tanah (tanah dari pihak lain), maka proses bisnis BBT harus dikomunikasikan secara detail pada masyarakat. Ini juga berfungsi agar masyarakat bisa ikut mengawasi penyelenggaraan lahan yang adil dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun