Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ekonomi Menyala, Lingkungan Terjaga, Dapur Ngebul: Babak Baru Partisipasi para Stakeholder dalam Transisi Energi Lokal yang Adil & Setara

20 Juni 2024   23:48 Diperbarui: 20 Juni 2024   23:59 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan pengguna manfaat biogas hasil olah limbah tahu | Sumber: Dokumen tesis Universitas Indonesia, Laras, 2018

Krisis energi yang menghantui dunia global, dewasa ini, bermuara pada gagasan energi terbarukan. Jika dirunut secara histori, embrio gagasan itu diyakini telah lahir ratusan tahun sebelum masehi, berwujud water-wheel. Pada abad ke-16, kincir angin populer di Belanda dan kian menunjang perkembangan industri juga budayanya.

Dua abad kemudian, sistem energi matahari dicetuskan oleh Augustin Mouchot. Terus diteliti hingga William Grylls Adams pada 1876 mendemonstrasikan penggunaan selenium untuk memanfaatkan sinar matahari menjadi listrik. Demikian seterusnya sampai gagasan itu lekat dengan SDGs yang dicetuskan sebagai pengganti MDGs pada pertemuan PBB Rio 2012.

Kini, kerangka transisi energi baru terbarukan (EBT) menemui babak baru. Pelan tapi pasti, gagasan ini semakin sering digaungkan seiring dengan meningkatnya ancaman bencana iklim. Edukasi mengenai EBT-pun terus digalakkan. Oxfam, organisasi nirlaba asal Inggris membuat video edukasi terkait transisi energi yang menarik dan mudah dipahami. Video itu diunggah di akun youtube resmi Oxfam in Negeria. Mari kita lihat bersama!


Konsep transisi EBT terdengar mudah dan sederhana. Memanfaatkan alam sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak terbatas seperti matahari, angin, air, dan panas bumi. Secara bijak tentu saja. Namun, implementasinya, seperti yang kita lihat pada kondisi sekarang, sangat kompleks dan menyeluruh. Seperti yang disampaikan John Samuel, Regional Director of Oxfam in Asia:

“When we talk about decarbonizing energy transition, it involves technology, and it involves money. On top of securing access to these resources is the need to ensure that these fairly reach the poorest and marginalized sectors of the society.” –Samuel, 2023

Ya, saya sepakat bahwa prinsip ‘leave no one behind’ dalam mewujudkan pembangunan yang lebih lestari, termasuk dalam kerangka transisi ke energi yang baru dan terbarukan, harus dipegang dan diraih dengan sungguh-sungguh. Tidak bisa tidak! Miskin-kelas menengah-kaya; perempuan-laki-laki; kaum urban ataupun rural; semua punya hak yang sama terhadap akses ke sumber daya yang lebih aman. Dengan begitu, keadilan benar tercipta dalam proses maupun hasil akhir transisi EBT.

Perempuan & Transisi Energi Baru Terbarukan

Bicara soal keadilan dalam transisi EBT, beberapa jurnal sosial sains menyebutkan bahwa perempuan cenderung tidak menonjol dan dominan pada end-user level. Saya sempat menuliskannya disini, dimana pendidikan dan budaya konon berpengaruh besar terhadap ketidak-adilan yang masih terasa dalam proses transisi ke energi yang lebih bersih.

Kabar baiknya, perempuan-perempuan dalam proses transisi EBT lambat laun mulai muncul ke permukaan. Peran dan eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari justru berjalan searah dengan proses transisi menuju energi ramah lingkungan. Karena menurut saya, proses transisi ini seperti ritual menciptakan dan mengemas budaya baru.

Misal, jika awalnya sampah hanya dibuang ke tong sampah dan berakhir di TPA, dalam proses transisi energi baru, sampah bisa lebih berguna seperti menjadi kompos, yang memerlukan perlakuan seperti pemilahan jenis sampah organik/non-organik hingga pengolahan pada komposter. Langkah itu tentu memerlukan penyesuaian, yang mempengaruhi laku, dan seiring berjalannya waktu mengubah kebiasaan juga budaya sehari-hari.

Perempuan, terutama dalam budaya dan norma Indonesia selama ini, disebut-sebut sebagai wonder-women. Terbaru, dijuluki manusia multi-tasking. Perempuan dianggap mengetahui A sampai Z aspek kehidupan, termasuk dalam urusan energi domestik.

Studi tahun 2014, berjudul ‘Is mom energy efficient? A study of gender, household energy consumption and family decision making in Indonesia’, menunjukkan jika pengeluaran dan kontrol konsumsi energi dalam rumah tangga dilakukan oleh perempuan, konsumsi energi cenderung rendah. As a note, penelitian itu didasarkan pada konsumsi energi listrik dan LPG dengan sampel Kota Bandung. Simpulan lain menyatakan bahwa perempuan adalah manajer energi rumah tangga yang baik pun lebih berhati-hati dalam hal pengeluaran rumah tangga.

Biogas dari limbah tahu: sebuah pelajaran berharga dari Bumi Banger

Kawasan permukiman di tengah Bumi Banger menjadi ‘hulu’ bagi energi baru terbarukan, biogas. Ekstrasi limbah tahu itu mampu membuat dapur-dapur disekitarnya ngebul selama 10 tahun ini. Biogas merupakan gas, utamanya metana dan karbondioksida, yang dihasilkan dari proses anaerobik bahan organik menggunakan teknologi khusus. Biogas disebut sebagai salah satu EBT bersih dan aman.

‘Sumur’ energi itu terletak di tengah-tengah permukiman dan dekat dengan sungai, berupa sebuah industri pabrik tahu yang berada di Kelurahan Kedungasem, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo. Pabrik itu telah beroperasi sejak 1980-an dan dinamai pabrik tahu Proma Tun Saroyyan.

Kawasan pengguna manfaat biogas hasil olah limbah tahu | Sumber: Dokumen tesis Universitas Indonesia, Laras, 2018
Kawasan pengguna manfaat biogas hasil olah limbah tahu | Sumber: Dokumen tesis Universitas Indonesia, Laras, 2018

Transisi ke biogas warga Kedungasem diawali ketika Pak Ahmad Sidik, sang pemilik, menyadari bahwa limbah sisa produksinya mencemari lingkungan. Beliau kemudian berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Long story short, bergandengan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN; -kala itu BPPT), pembangunan instalasi biogas limbah tahu pertama kali di Bumi Banger diwujudkan di Proma.

Saat awal program dicanangkan, setidaknya ada penghematan ekonomi 24,5 juta/tahun dari dampak alih konsumsi LPG ke biogas. Warga penerima manfaat mulanya diberikan kompor dan instalasi pipa. Untuk mengelola pemanfaatan biogas dari limbah tahu dibentuklah sebuah kelompok penerima manfaat, dinamai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) “PROMA BIO”.

Minusnya, karena produksi biogas sangat tergantung dari produksi tahu, jumlah pengguna biogas-pun pasang surut. Saat awal proses transisi, dari hasil olah limbah sebanyak 300-400 kg/hari, ada 40 KK yang tergabung. Tahun 2019 sebelum akhirnya pandemi covid-19 melanda dan menurunkan jumlah produksi tahu, ada 46 rumah tangga yang menggunakan biogas PROMA BIO.  Setelah pandemi jumlahnya semakin turun, per Juni 2024 ini bertahan 25 KK yang masih mendulang biogas dari Proma.

Bu Ernawati, warga setempat, adalah salah satu perempuan yang layak diacungi jempol. Sebagai ibu rumah tangga, sejak 2015 beliau sudah beralih ke biogas untuk memasak. Tak hanya Bu Erna, perempuan lain: Bu Satun, Bu Telas, juga Bu Nanuk memanfaatkan biogas proma untuk memasak makanan yang dijual (Laras, 2018). Artinya ada nilai tambah ekonomi disini. 

Keputusan untuk ikut serta dalam kelompok swadaya PROMA-BIO itu sungguh luar biasa inspiratif. Para perempuan ini menjadi bukti bahwa walaupun berstatus ibu rumah tangga, mereka mampu menimbang untuk beralih ke energi yang lebih bersih. Alasan 25 dari 36 ibu-ibu pengguna biogas PROMA BIO adalah karena aman, hemat, dan ramah lingkungan (Laras, 2018).

Para pekerja perempuan di pabrik tahu Proma | Sumber: Jurnal Publika, Buditama, 2021
Para pekerja perempuan di pabrik tahu Proma | Sumber: Jurnal Publika, Buditama, 2021

Proma sendiri tergolong pada industri kecil menengah (IKM). Di tahun 2016, industri berbahan baku kedelai ini memiliki 23 karyawan yang berasal dari kawasan sekitar. Sayangnya, tidak ada informasi berapa jumlah perempuan yang termasuk “memproduksi” bahan baku biogas itu. Bisa dibilang, para pekerja di pabrik tahu ini adalah kaum marjinal. Terlebih beberapa dari mereka adalah perempuan yang termasuk dalam kelompok rentan, sehingga harus mendapatkan hak-nya dalam proses transisi EBT.

Just Energy Transition. | Sumber: Twitter @OxfamIndonesia
Just Energy Transition. | Sumber: Twitter @OxfamIndonesia

Keberhasilan Kelompok Proma Bio menjadi bukti bahwa transisi energi adil bisa diwujudkan asal sinergi antar stakeholder kuat. Sebut saja, bapak/ibu dari BRIN sebagai si pendamping teknologi biogas yang secara teknis bukanlah konsumsi awam. 

Kemudian, DLH, si pengambil kebijakan yang memastikan agar lingkungan Kota Probolinggo aman, terlebih ketika pabrik ini berdiri di sisi sungai. Bukan semata-mata, “tutup saja pabriknya!” ketika ada dampak negatif berupa limbah cair dan padat yang menimbulkan polusi udara, air, hingga berdampak panjang ke perubahan iklim. Namun mereka tetap melihat dampak positif ekonomi lokal dan berupaya meminimalisir limbah itu. Solusi yang ditawarkanpun kemudian cukup cerdas, hingga menelurkan “sektor” baru yang menjadi kabar baik pada aplikasi energi terbarukan.

Selain itu, ada pabrik tahu sang pendongkrak ekonomi lokal yang selain memastikan asupan murah bergizi juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lokal terlebih perempuan. Tak lupa adalah ibu-ibu rumah tangga sekitar yang tidak bebal dan mau bertransisi pada energi biogas. Bayangkan jika sang ibu tidak mau beralih ke EBT biogas, program hanya berhenti pada produksi biogas, tidak sampai pada distribusi dan konsumsi yang justru menjadi bagian penting dalam kesuksesan transisi energi baru itu. 

Hal ini tentu menjadi salah satu highlight penting bahwa perempuan tak bisa dipandang sebelah mata. Ia dapat menjadi pemutus mata rantai ketidak-adilan dalam perannya baik sebagai individu, seorang ibu dan istri, juga bagian dari suatu komunitas (kelompok, RT/RW, dan seterusnya).

Kerangka ini sudah seharusnya menjadi concern bagi para pembuat kebijakan di Indonesia, baik tingkat nasional maupun daerah. Kalau boleh saya bilang, ini semacam gotong royong untuk mewujudkan lingkungan yang lebih baik dengan adil dan setara bagi siapapun. Memang, pekerjaan rumah transformasi energi menuju energi bersih bukanlah perkara mudah. Namun juga bukan hal mustahil.

Transisi energi baru terbarukan seperti halnya jaring laba-laba yang saling terkait antar sektor. Jika sukses, transisi energi bersih dengan mengedepankan keadilan bagi sesama, termasuk perempuan, akan menunjang kesuksesan tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara langsung setidaknya sudah mendukung TPB 1, TPB 5, TPB 7, juga TPB 8. Jika dirunut akan semakin banyak dukungan ke TPB lain secara tidak langsung.

Well, kisah Bu Erna dan olahan limbah tahu Proma sudah pernah diliput salah satu TV nasional saat gas LPG langka. Semoga menginspirasi lokasi-lokasi lain untuk bertransisi pada energi baru!


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun