Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penyediaan Jalur Sepeda dalam Perspektif Kebijakan dan Realita

15 Mei 2024   15:01 Diperbarui: 15 Mei 2024   19:29 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Investasi pengembangan kota butuh dana besar | Sumber: reit.com

Saya tergelitik membaca topik pilihan Kompasiana kali ini: Jalan Buntu Pembuatan Jalur Sepeda. Seakan-akan memang tidak ada harapan lagi untuk mengembangkan 'jalan khusus' bagi 'kendaraan' tanpa mesin itu. Semacam, hopeless, yasudah, dead end.

Secara eksisting, jalur sepeda pada kota-kota di Indonesia memang tidak sebagus kota-kota di luar sana. Bahkan pada kebanyakan kota cenderung belum terdapat jalur sepeda sama sekali.

Kemarin, saya membaca artikel utama tentang jalur sepeda di Kota Taipe. Menarik sekali. Saya membayangkan iklim bersepeda disana sudah tumbuh dengan baik. Berbeda sekali dengan kondisi dalam negeri.

Namun, sebelum pesimis kita mencapai titik paling rendah, let me tell you something...

Rencana Kota Adalah Visi yang Panjang dan Misi yang Kadang Mustahil Dituju

Investasi pengembangan kota butuh dana besar | Sumber: reit.com
Investasi pengembangan kota butuh dana besar | Sumber: reit.com

Persoalan mengenai infrastruktur perkotaan selalu saja rumit. Pada sesi-sesi diskusi pengembangan infrastruktur perkotaan, pembahasan mengenai pengadaan infrastruktur kota pada negara berkembang selalu bermuara pada pertanyaan besar, "apakah dananya ada"?

Dibalik tanya itu, ada segudang hambatan lain yang memerlukan concern, tidak hanya dari sang penguasa namun juga dari khalayak masyarakat.

Saya pernah menyinggung di artikel saya ini, bahwa untuk mewujudkan sistem transportasi yang baik sangat bergantung pada dua hal: political will dan pendanaan.

Jika bisa dikuantifikasi, dua hal itu kira-kira mengambil porsi 75%. Sementara, masih ada sisa 25% faktor yang membayangi terwujudnya sistem transportasi yang baik. Seperti hal-hal teknis, koordinasi antar lembaga, hingga rencana kota secara menyeluruh.

Sistem pergerakan suatu kota tidak bisa berdiri sendiri. Idealnya harus terintegrasi. Demikian halnya dengan jalur sepeda. Jalur ini, jika memang diadakan, secara konseptual harus terintegrasi dengan sistem kota secara utuh.

Pertanyaannya, apakah kota-kota di Indonesia memang apatis terhadap rencana jalur pesepeda? Sehingga tidak tertarik mengembangkan lajur khusus sepeda?

Hmm.. Saya tidak tahu pasti. Namun satu hal yang saya tahu, pengembangan jalur sepeda dapat diatur khusus dalam rencana tata ruang kota hingga satuan paling rinci.

Kita ambil contoh Jakarta. Daerah paling "kota" di Indonesia. Dalam rencana kotanya yang lawas, Kota Jakarta telah secara rinci merencanakan jalur sepeda seperti di kawasan Blok A berikut.

Jalur sepeda direncanakan dalam rencana kota. | Sumber: diedit dari tangkapan layar RDTR Jakarta Tahun 2014
Jalur sepeda direncanakan dalam rencana kota. | Sumber: diedit dari tangkapan layar RDTR Jakarta Tahun 2014

For your information, pada aturan pembentukan rencana kota, Peraturan Menteri ATR/BPN No.14 Tahun 2021, jalur sepeda yang dimaksud adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk dilewati satu sepeda, selain sepeda motor.

Artinya secara payung hukum jelas, bahwa kota-kota di Indonesia dapat merencanakan jalur sepeda pada daerahnya, yang terpisah dengan jalur sepeda motor. Namun, beberapa kota juga ada yang belum merencanakannya, karena tidak punya  belum punya visi misi untuk mengembangkan transportasi non-motorized kedepannya.

Kita skip dulu pembahasan kota-kota yang tidak merencanakan jalur sepeda, karena itu bisa jadi perdebatan yang panjang. Kita fokus pada kota-kota yang telah merencanakan jalur sepeda pada wilayahnya.

Apabila jalur sepeda sudah tergambar pada rencana kota, bagaimana implementasinya?

Rencana kota di Indonesia ditetapkan selama 20 tahun sejak pertama kali ditetapkan legalnya. Bagaimana cara mewujudkan rencana itu secara bulat sudah menjadi satu kesatuan aturan. Program umumnya juga telah direncanakan. 

Dalam sistem kebijakan di Indonesia, program-program yang dibentuk untuk mewujudkan ruang kota dibagi dalam implementasi 5 tahunan. Hal ini didasarkan pada rencana pembangunan jangka menengah daerah; -RPJMD, yang secara pararel biasanya juga didasarkan pada masa berlaku pemimpin daerah.

Nah dalam 5 tahun itu, 'biasanya' mustahil untuk suatu daerah dapat mengimplementasikan keseluruhan rencana. Kenapa?

Kembali lagi ke hal yang saya singgung di awal, pendanaan. Terlepas dari 10 kota berpendapatan tinggi seperti Kota Jakarta, Kota Bontang, Kota Surabaya, dst, pendapatan daerah lain tidaklah banyak. Bahkan ada daerah yang pendapatannya dominan digunakan untuk belanja pegawai. Terlepas dari dana lain seperti hibah, DAU, DAK, CSR, dll. Suatu daerah bisa saja kekurangan dana untuk mewujudkan rencana kotanya. Lantas bagaimana?

Pertama, prioritasi program kebijakan. Salah satu metode yang umum digunakan untuk menentukan program prioritas adalah metode SMART. Spesific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound. Sejumlah rangkaian kegiatan untuk mendukung suatu program ditimbang kembali pada masa penganggaran. Apakah kegiatan itu spesifik dapat mendukung kemajuan kota, misalnya. Apakah kegiatan ini dapat terukur capaiannya? Dan seterusnya.

Ironinya, tidak semua SDM di pemerintahan bisa menerapkan ini. At some point, ada yang pokoknya jalan dulu, ada yang karena janji politik akhirnya lokasi lain didahulukan dulu padahal programnya tidak urgent. Ada karena kejadian luar biasa seperti Covid-19 lalu, dana harus dialokasikan ke sektor kesehatan. Ya, hal-hal semacam itu terjadi. 

Kerjasama? | Sumber: Unsplash @cytonn-photography
Kerjasama? | Sumber: Unsplash @cytonn-photography

Kedua, (seharusnya) pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, dengan memanfaatkan konsep insentif-disintensif. Contohlah Kediri, dengan mekanisme kerjasama G to B bisa menghasilkan infrastruktur bandara kelas internasional. ;) Hal-hal demikian seharusnya juga bisa didorong untuk pengembangan infrastruktur jalur sepeda.

Masalahnya, hal-hal itu tidak akan terwujud jika pemimpinnya tidak punya keinginan politik, agenda politik, atau power yang mumpuni. Terlebih jika memang bukan di sektor itu sang pemimpin bervisi.

Misal, kalau pemimpin daerah saat mencalonkan diri dibiayai oleh pengusaha aspal, maka bisa jadi programnya berorientasi pada pengadaan jalan beraspal. Kalau pemimpin daerahnya punya saudara pengusaha di pabrik mobil, ya bisa jadi programnya condong kesana. Kalau pemimpinnya peduli wong cilik buat meningkatkan kesejahteraan warganya, bisa jadi programnya ke sektor-sektor kesejahteraan masyarakat dan belum menyentuh hal-hal non primer seperti jalur sepeda.

Karena hal-hal itulah [tidak terbatas pada hal itu saja tentunya], rencana kota yang telah di-design "se-se-future" mungkin, hanya akan tinggal rencana, jika pemimpinnya tidak punya perhatian lebih terhadap itu.

So, pembuatan jalur sepeda bukanlah menemui jalan buntu, melainkan masalah prioritasi saja.

Nah, mengingat tak lama lagi Indonesia akan memasuki waktu bagian pilkada serentak, para cyclist yang ingin daerahnya berkembang menjadi lebih baik, pilihlah pemimpin yang punya visi bagus dalam menata daerah, yang punya gambaran kuat akan mengembangkan sistem pergerakan non-motorized yang mumpuni. Mana tahu political will-nya sangat kuat untuk mengembangkan jalur sepeda! Untung kan?!

Mana yang lebih dulu, lifestyle Bersepeda Atau Jalur Sepeda?

Sekarang mari kita lihat dari sudut pandang realita.

Saya paham kenapa akhirnya banyak yg memberikan sentimen negatif bahwa jalur sepeda gagal digelar di lahan-lahan perkotaan.

Hal ini cukup beralasan mengingat banyak hal yang mengarahkan pada bukti tidak adanya upaya keras dari pemerintah untuk memprioritaskan jalur sepeda.

Di jakarta saja, jalur sepeda sempat dirombak kembali menjadi jalur motorized vehicle. Tahun lalu komunitas Bike to work berduka lewat cuitannya, jalur sepeda persimpangan Pasar Santa, Jakarta Selatan dihilangkan. Disulap menjadi bagian dari jalan raya. Bukti bahwa car oriented lebih dikedepankan dibandingkan active transportation.

Pada daerah lain, seperti pertanyaan mengenai telur dan ayam, kebijakan penyediaan infrastruktur jalur sepeda terjebak pada pertanyaan: mana yang lebih dulu seharusnya ada, lifestyle bersepeda atau infrastrukturnya?

Saya sih percaya, jika infrastrukturnya memadai, orang akan lambat laun mengubah gaya hidupnya.

Namun ini bukan perkara mudah. Seringkali menjadi dilema para pembuat kebijakan.

Kita sudah terpaku pada hal-hal seperti kemudahan mendapat kendaraan bermotor. Aksi tanam pohon atau peredam panas nol besar. Transportasi publik sebagai bagian integrasi moda sepeda tidak tersedia. Dan seterusnya.

Fakta yang bertubi tubi. Seakan memang tidak ada celah untuk membuktikan bahwa pemerintah punya effort serius untuk mengembangkan jalur sepeda secara masif.

Jalur sepeda di Indonesia belum aman. | Sumber: Dery Ridwansah/Jawapos.com
Jalur sepeda di Indonesia belum aman. | Sumber: Dery Ridwansah/Jawapos.com

Yang sudah-sudah, implementasi pengadaan jalur sepeda di Indonesia kebanyakan "mengambil porsi" badan jalan, tepat sebelum trotoar. Kebijakan yang mengambil 'mudahnya' saja. Dengan tingginya volume kendaraan bermesin di jalanan Indonesia, maka safety cyclist akan dipertaruhkan.

Pembahasan mengenai penyediaan jalur sepeda ini akan sangat panjang. Ada pros dan cons yang harus dibahas untuk pada tahap kesimpulan pengembangan secara masif.

Untuk sementara, tak apalah kita bermimpi dulu. Semoga suatu saat, kota-kota kita menjadi lebih peduli lingkungan dengan sistem pergerakan yang terintegrasi dan mengedepankan transportasi publik untuk semua kalangan. Termasuk bersepeda.

Menilik Amsterdam sebagai bahan bermimpi

Rasanya, kota kita juga belum ada yang sepadan untuk dibandingkan dalam skala 11-12 dengan Kota Amsterdam. Kota pelopor pertama peningkatan lifestyle bersepeda hingga ke komunitas terkecil: rumah tangga. Jauh, jauh sekali. Jika dibandingkan dengan Kota Taipe saja, kita juga masih tertinggal di belakang. Entah kota-kota kita diurutan berapa. Sangat jauh jika dibandingkan dengan kota-kota di dunia.

Amsterdam, kota yang dijuluki cycling capital of the world. Kota itu tidak lagi menjadikan bersepeda sebagai lifestyle, namun telah menancapkan sepeda sebagai budaya. Lekat dengan aktivitas sehari-hari. Pemerintah kotanya gencar mempromosikan sepeda sebagai moda transportasi utama.

Bahkan, kegiatan bersepeda itu menjadi bagian dari sektor industri pariwisata yang menunjang ekonomi nasional. Tak sedikit, setiap tahun menghasilkan 2.4 Milyar euro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun