Saya paham kenapa akhirnya banyak yg memberikan sentimen negatif bahwa jalur sepeda gagal digelar di lahan-lahan perkotaan.
Hal ini cukup beralasan mengingat banyak hal yang mengarahkan pada bukti tidak adanya upaya keras dari pemerintah untuk memprioritaskan jalur sepeda.
Di jakarta saja, jalur sepeda sempat dirombak kembali menjadi jalur motorized vehicle. Tahun lalu komunitas Bike to work berduka lewat cuitannya, jalur sepeda persimpangan Pasar Santa, Jakarta Selatan dihilangkan. Disulap menjadi bagian dari jalan raya. Bukti bahwa car oriented lebih dikedepankan dibandingkan active transportation.
Pada daerah lain, seperti pertanyaan mengenai telur dan ayam, kebijakan penyediaan infrastruktur jalur sepeda terjebak pada pertanyaan: mana yang lebih dulu seharusnya ada, lifestyle bersepeda atau infrastrukturnya?
Saya sih percaya, jika infrastrukturnya memadai, orang akan lambat laun mengubah gaya hidupnya.
Namun ini bukan perkara mudah. Seringkali menjadi dilema para pembuat kebijakan.
Kita sudah terpaku pada hal-hal seperti kemudahan mendapat kendaraan bermotor. Aksi tanam pohon atau peredam panas nol besar. Transportasi publik sebagai bagian integrasi moda sepeda tidak tersedia. Dan seterusnya.
Fakta yang bertubi tubi. Seakan memang tidak ada celah untuk membuktikan bahwa pemerintah punya effort serius untuk mengembangkan jalur sepeda secara masif.
Yang sudah-sudah, implementasi pengadaan jalur sepeda di Indonesia kebanyakan "mengambil porsi" badan jalan, tepat sebelum trotoar. Kebijakan yang mengambil 'mudahnya' saja. Dengan tingginya volume kendaraan bermesin di jalanan Indonesia, maka safety cyclist akan dipertaruhkan.
Pembahasan mengenai penyediaan jalur sepeda ini akan sangat panjang. Ada pros dan cons yang harus dibahas untuk pada tahap kesimpulan pengembangan secara masif.