Kembali lagi ke hal yang saya singgung di awal, pendanaan. Terlepas dari 10 kota berpendapatan tinggi seperti Kota Jakarta, Kota Bontang, Kota Surabaya, dst, pendapatan daerah lain tidaklah banyak. Bahkan ada daerah yang pendapatannya dominan digunakan untuk belanja pegawai. Terlepas dari dana lain seperti hibah, DAU, DAK, CSR, dll. Suatu daerah bisa saja kekurangan dana untuk mewujudkan rencana kotanya. Lantas bagaimana?
Pertama, prioritasi program kebijakan. Salah satu metode yang umum digunakan untuk menentukan program prioritas adalah metode SMART. Spesific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound. Sejumlah rangkaian kegiatan untuk mendukung suatu program ditimbang kembali pada masa penganggaran. Apakah kegiatan itu spesifik dapat mendukung kemajuan kota, misalnya. Apakah kegiatan ini dapat terukur capaiannya? Dan seterusnya.
Ironinya, tidak semua SDM di pemerintahan bisa menerapkan ini. At some point, ada yang pokoknya jalan dulu, ada yang karena janji politik akhirnya lokasi lain didahulukan dulu padahal programnya tidak urgent. Ada karena kejadian luar biasa seperti Covid-19 lalu, dana harus dialokasikan ke sektor kesehatan. Ya, hal-hal semacam itu terjadi.Â
Kedua, (seharusnya) pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, dengan memanfaatkan konsep insentif-disintensif. Contohlah Kediri, dengan mekanisme kerjasama G to B bisa menghasilkan infrastruktur bandara kelas internasional. ;) Hal-hal demikian seharusnya juga bisa didorong untuk pengembangan infrastruktur jalur sepeda.
Masalahnya, hal-hal itu tidak akan terwujud jika pemimpinnya tidak punya keinginan politik, agenda politik, atau power yang mumpuni. Terlebih jika memang bukan di sektor itu sang pemimpin bervisi.
Misal, kalau pemimpin daerah saat mencalonkan diri dibiayai oleh pengusaha aspal, maka bisa jadi programnya berorientasi pada pengadaan jalan beraspal. Kalau pemimpin daerahnya punya saudara pengusaha di pabrik mobil, ya bisa jadi programnya condong kesana. Kalau pemimpinnya peduli wong cilik buat meningkatkan kesejahteraan warganya, bisa jadi programnya ke sektor-sektor kesejahteraan masyarakat dan belum menyentuh hal-hal non primer seperti jalur sepeda.
Karena hal-hal itulah [tidak terbatas pada hal itu saja tentunya], rencana kota yang telah di-design "se-se-future"Â mungkin, hanya akan tinggal rencana, jika pemimpinnya tidak punya perhatian lebih terhadap itu.
So, pembuatan jalur sepeda bukanlah menemui jalan buntu, melainkan masalah prioritasi saja.
Nah, mengingat tak lama lagi Indonesia akan memasuki waktu bagian pilkada serentak, para cyclist yang ingin daerahnya berkembang menjadi lebih baik, pilihlah pemimpin yang punya visi bagus dalam menata daerah, yang punya gambaran kuat akan mengembangkan sistem pergerakan non-motorized yang mumpuni. Mana tahu political will-nya sangat kuat untuk mengembangkan jalur sepeda! Untung kan?!
Mana yang lebih dulu, lifestyle Bersepeda Atau Jalur Sepeda?
Sekarang mari kita lihat dari sudut pandang realita.