Bisa dibilang, jalan kaki adalah kebiasaan saya dari kecil. Letak sekolah TK, SD, dan SMA yang hanya dalam radius + 1 km dari rumah membuat saya lebih mandiri, berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki.Â
Sementara saat SMP, dalam sebulan mungkin hanya sekali dua kali saja saya berjalan kaki, karena jaraknya hampir 2 km dari rumah. Kebiasaan saya ini berbuntut cerita menarik yang masih saya ingat sampai sekarang.
Saat awal kuliah, saya dan sahabat mengikuti pemeriksaan ultrasonografi pada tulang tumit yang disponsori oleh produsen susu. Hasil bar tingkat kerapuhan tulang menunjukkan kalau saya mendapat warna hijau pekat, mengindikasikan nilai paling baik, sementara sahabat saya mendapat warna jingga mendekati merah yang mengindikasikan osteopenia mengarah pada osteoporosis. Era itu, kami sering membahas hasil tersebut dengan candaan.
Kini seiring perkembangan teknologi, sayapun mengatur target langkah di aplikasi handphone. Fungsinya selain sebagai pengingat juga sebagai pengukur berapa langkah yang saya tempuh setiap harinya. You know, jalan 10.000 langkah per hari disinyalir banyak manfaatnya, terutama bagi kesehatan. Lantas, apakah target saya tercapai? Jujur, kadang tercapai kadang juga tidak.
Lalu, apakah saya tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar sama sekali? Tentu tidak, hingga saat ini saya masih menggunakan kendaraan pribadi.Â
Namun jalan kaki ini bisa dibilang sebagai aksi sedikit demi sedikit, lama-lama terbiasa, dan harapannya bisa mendukung lingkungan yang lebih sustainable. Karena kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Iya kan?
Aksi sederhana berupa jalan kaki ini diyakini berdampak pada penurunan emisi GRK. Sebuah penelitian di New Zealand oleh Keall dan rekannya pada 2018 menunjukkan bahwa intervensi kebijakan untuk menggalakkan active transport (jalan kaki dan bersepeda) dapat menurunkan emisi kota sebesar 1,6%. Kok kecil? It's okay! Setidaknya sudah menyumbang penurunan emisi kan?!
Naik transportasi publik as a new lifestyle
Bagi saya, jalan kaki berkorelasi erat dengan naik angkutan umum. Untuk mencapai target 10.000 langkah setiap harinya, saya kerap mengkolaborasikan aktivitas saya dengan naik kendaraan umum, yang menuntut untuk berjalan. Misal dari rumah ke lokasi bus stop ataupun dari halte ke lokasi yang ingin saya tuju.Â
Sayangnya, berkendara umum ini memang hanya efektif di kota-kota tertentu. Saat saya sedang ke daerah di Kalimantan Tengah contohnya, saya lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi karena infrastruktur transportasi umumnya belum sebaik Jakarta atau Solo.
Saya pribadi mungkin baru aktif menggunakan opsi transportasi publik satu setengah tahun kebelakang. Sebelum itu, barangkali hanya tiga/empat kali saja dalam setahun.Â