Ancaman climate change terhadap lingkungan semakin menjadi-jadi. Hal yang paling saya rasakan ---dan saya yakin juga dirasakan oleh orang Indonesia kebanyakan--- adalah anomali cuaca.Â
Hujan meningkat intensitasnya, tapi semakin sedikit hari hujannya. Sekalinya hujan langsung deras disertai angin kencang, hingga menyebabkan banjir.Â
Namun, di sisi lain kondisi panas juga sangat ekstrem. Saya yang tinggal di Surabaya merasakan betul panasnya kota ini pada pertengahan tahun lalu. Hal-hal itu menjadi konsekuensi logis dari global warming.Â
Pamanasan global yang salah satunya dipicu oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mengantarkan pada perubahan iklim hingga akhirnya merusak tatanan lingkungan.
Negara kita mulai sadar akan hal ini. Saat agenda UN Climate Change Conference (COP 26) tahun 2021, Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Artinya negara kita ingin segera bertransisi ke emisi nol bersih yang menawarkan peluang ekonomi lebih beragam.Â
Tujuan jangka panjangnya tentu untuk mewujudkan sustainable development yang bermuara pada kemajuan bangsa. Komitmen tersebut diikuti dengan penyusunan roadmap pencapaian NZE di sektor energi oleh Kementerian ESDM yang berkolaborasi dengan the International Energy Agency (IEA). Peta jalan itu memuat detail skenario dan kebijakan untuk mencapai target NZE, khususnya pada bidang energi.
Dengan dirilisnya roadmap itu, beberapa industri di Indonesia mulai ikut menunjukkan dukungan, PT. Elnusa salah satunya. Perusahaan yang bergerak di sektor energi itu mengamini pentingnya lingkungan demi keberlanjutan bisnis perusahaan. Sejak 2022 hingga Maret 2023, PT. Elnusa menginisiasi green action berupa aksi tanam pohon pada 37 hektar lahan yang tersebar di Indonesia.Â
Tahun lalu, PT. Elnusa Petrofin (EPN) ---salah satu anak perusahaan PT. Elnusa--- melalui kegiatan CSR Petrofin Peduli juga beraksi dengan menanam 1.000 bibit pohon trembesi di seluruh unit operasional EPN di Indonesia. Kegiatan itu diklaim mampu menyerap 28.500 Ton CO2eq dan menurunkan emisi GRK sebesar 0,0011%.
Tak ingin kalah dengan langkah nyata pelaku industri dalam skala besar, sayapun turut berpartisipasi dalam pengurangan emisi, dalam skala yang lebih kecil tentunya. Melalui apa? Melalui jalan kaki, naik transportasi publik dan membayar tanpa uang fisik alias cashless.
Jalan kaki yuk!!
Bisa dibilang, jalan kaki adalah kebiasaan saya dari kecil. Letak sekolah TK, SD, dan SMA yang hanya dalam radius + 1 km dari rumah membuat saya lebih mandiri, berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki.Â
Sementara saat SMP, dalam sebulan mungkin hanya sekali dua kali saja saya berjalan kaki, karena jaraknya hampir 2 km dari rumah. Kebiasaan saya ini berbuntut cerita menarik yang masih saya ingat sampai sekarang.
Saat awal kuliah, saya dan sahabat mengikuti pemeriksaan ultrasonografi pada tulang tumit yang disponsori oleh produsen susu. Hasil bar tingkat kerapuhan tulang menunjukkan kalau saya mendapat warna hijau pekat, mengindikasikan nilai paling baik, sementara sahabat saya mendapat warna jingga mendekati merah yang mengindikasikan osteopenia mengarah pada osteoporosis. Era itu, kami sering membahas hasil tersebut dengan candaan.
Kini seiring perkembangan teknologi, sayapun mengatur target langkah di aplikasi handphone. Fungsinya selain sebagai pengingat juga sebagai pengukur berapa langkah yang saya tempuh setiap harinya. You know, jalan 10.000 langkah per hari disinyalir banyak manfaatnya, terutama bagi kesehatan. Lantas, apakah target saya tercapai? Jujur, kadang tercapai kadang juga tidak.
Lalu, apakah saya tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar sama sekali? Tentu tidak, hingga saat ini saya masih menggunakan kendaraan pribadi.Â
Namun jalan kaki ini bisa dibilang sebagai aksi sedikit demi sedikit, lama-lama terbiasa, dan harapannya bisa mendukung lingkungan yang lebih sustainable. Karena kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Iya kan?
Aksi sederhana berupa jalan kaki ini diyakini berdampak pada penurunan emisi GRK. Sebuah penelitian di New Zealand oleh Keall dan rekannya pada 2018 menunjukkan bahwa intervensi kebijakan untuk menggalakkan active transport (jalan kaki dan bersepeda) dapat menurunkan emisi kota sebesar 1,6%. Kok kecil? It's okay! Setidaknya sudah menyumbang penurunan emisi kan?!
Naik transportasi publik as a new lifestyle
Bagi saya, jalan kaki berkorelasi erat dengan naik angkutan umum. Untuk mencapai target 10.000 langkah setiap harinya, saya kerap mengkolaborasikan aktivitas saya dengan naik kendaraan umum, yang menuntut untuk berjalan. Misal dari rumah ke lokasi bus stop ataupun dari halte ke lokasi yang ingin saya tuju.Â
Sayangnya, berkendara umum ini memang hanya efektif di kota-kota tertentu. Saat saya sedang ke daerah di Kalimantan Tengah contohnya, saya lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi karena infrastruktur transportasi umumnya belum sebaik Jakarta atau Solo.
Saya pribadi mungkin baru aktif menggunakan opsi transportasi publik satu setengah tahun kebelakang. Sebelum itu, barangkali hanya tiga/empat kali saja dalam setahun.Â
Naik kendaraan umum ini menjadi gaya hidup baru yang ingin saya giatkan. Walau terhitung sebentar, saya sudah punya banyak koleksi foto saat naik transportasi publik. Nih saya unggah!
Nb. Seluruh foto ini adalah milik pribadi, diambil dengan kamera handphone penulis
Transportasi publik seringkali dikaitkan dengan penurunan emisi kota. Penelitian di Jurnal Sustainability 2022 memaparkan fakta bahwa pengembangan transportasi umum dapat mengurangi emisi CO2.Â
Penelitian dengan study case 30 provinsi di Cina itu menguatkan fakta bahwa pengadaan angkutan umum dapat berkontribusi menurunkan emisi sekitar 4,22%. Bahkan, United Nation juga menyatakan adanya penurunan emisi dengan naik transportasi umum.
Shifting from cars to public transportation can reduce up to 2.2 tons of carbon emissions annually per individual. -- United Nation
Coba bayangkan jika seluruh kota di Indonesia sudah punya transportasi publik yang bagus. Makin banyak orang tertarik naik kendaraan umum, makin tinggi emisi yang berkurang. Udarapun jadi lebih bersih dan dapat mewujudkan lingkungan yang asri.
Cashless payment: mudah dan efisien
Cashless payments are greener, since stopping the use of physical cash saves on environmental cost and reduces the need for transport, for example to pay bills, receive payments, or withdraw cash. -- Bossone, B-World Bank-2023
Sejak di Indonesia muncul beragam mode pembayaran cashless, saya juga mulai menggunakannya. Baik dengan E-Wallet maupun langsung scan dari mobile banking.
Buat saya cashless lebih memudahkan karena saya tidak perlu mengambil uang fisik di ATM. Kesehatan lebih terjaga karena tidak perlu memegang uang yang telah dipegang orang satu ke orang lain. Plus tidak perlu menunggu kembalian, terlebih uang koin yang sering memenuhi dompet.
Saya menggunakan pembayaran uang non fisik untuk berbagai keperluan. Entah itu untuk pembayaran transportasi, makan, maupun pulsa hingga transfer ke saudara.Â
Tentu saja pada saat tertentu saya masih menggunakan uang fisik, karena belum semua penjual menyediakan sistem cashless. But, at least, saya sudah beraksi untuk mendukung lingkungan yang lebih bersih dengan membayar secara cashless.
Efek berantai dari ketiganya...
Ketiga hal yang saya lakukan ini terlihat begitu sederhana. Hanya jalan kaki, naik kendaraan umum dan membayar tanpa uang fisik. Tapi menurut saya pribadi punya dampak yang hebat jika dirunut lebih jauh. Lihat ilustrasi sederhana saya berikut ini.
Efek berantai dari jalan kaki dan naik transportasi umum (1)
![Efek berantai dari jalan kaki dan naik transportasi umum (1)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2024/02/02/slide1-png-65bc62b0de948f6a9c26dec4.png?t=o&v=770)
Apa iya ketiganya berefek pada kelestarian lingkungan dan masa depan bangsa yang gemilang?
Apabila hanya dilakukan oleh seorang individu, tentu efeknya tidak begitu ketara. Namun jika dilakukan bersama-sama, setidaknya setengah saja dari warga negara Indonesia, saya percaya akan membuahkan hasil yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang segalanya tidak semudah membuat ilustrasi di atas. Ada proses rumit yang harus dilakukan.Â
Misal pada sistem transportasi. Pertama pemerintah perlu menata 'iklimnya' terlebih dahulu, dengan menyediakan infrastruktur yang nyaman. Dan sekali lagi ini tidak mudah karena erat dengan pendanaan dan political will, ---dua hal yang rumit.Â
Kedua, pengkondisian berbagai stakeholder terkait, termasuk penggunaan bio solar sebagai bahan bakar yang dinilai lebih ramah lingkungan.Â
Ketiga mendorong penggunaan transportasi umum agar dapat menjadi kebiasaan warga.Â
Dengan begitu, keberlanjutan lingkungan dari sektor transportasi dan energi bisa lebih ditingkatkan.
Ingat! Pengurangan emisi akan mendukung lingkungan yang lebih sustainable. Ikut mengurangi emisi hanya satu dari beragam aksi untuk menentukan masa depan gemilang keberlanjutan lingkungan kita.Â
So, kita sebagai warga negara yang menginginkan negara ini lebih maju, bisa mulai beraksi dari hal yang paling sederhana: jalan kaki, shifting ke transportasi publik dan membayar secara cashless. And better to start it right now!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI