"tidak ada seorang pun yang benar-benar bijak memahami hidup, selain orang yang belajar memahami betapa berartinya keberadaan orang lain dan lingkungan yang dianugerahkan padanya dalam proses pembelajaran hidupnya"Â
Di beberapa tahun di masa lalu, ketika hidup tak dirasakan memiliki waktu. Ada masa di mana kita merasa tak akan menjadi tua--maksudnya jika tak mampu menjadi lebih dewasa--, ada masa di mana hidup seolah akan berjalan sesuai keinginan kita, mimpi kita, dan harapan kita, ada masa di mana kita merasa sedih itu hanya kita yang punya sementara bahagia datang dan pergi begitu saja. Ternyata, hidup menghadirkan lebih banyak dinamika daripada yang pernah kita pikirkan di beberapa tahun di masa lalu itu.
Aneh. Ketika beberapa orang berpegang teguh pada aturan justru malah lebih mendapati dirinya dalam teguran ketika sekali saja dia mengabaikan aturan yang diyakininya. Sebaliknya, pada beberapa orang yang mengabaikan aturan malah sering mendapati dirinya mendapat keuntungan dalam aturan yang jelas-jelas diabaikannya, dengan narasi dan alibi yang meyakinkan, dia selalu menjadi orang yang baik di hadapan orang-orang kebanyakan. Bagi mereka, tidak penting apakah informasi yang dibaginya benar atau salah, terpenting adalah orang-orang mempercayai wacananya.
Dalam kondisi yang tampaknya tampak akhir-akhir ini, sering terlihat orang pandai dengan pemikiran kritisnya malah terbenam sedangkan orang bodoh dengan kebodohannya menjadi terkenal. Terbenam karena mungkin kita sedang hidup dalam zaman kebenaran adalah mayoritas, dan jika suara mayoritas diwakili oleh orang yang berkepentingan, maka menjadi abai pun tidak masalah.Â
Pada zaman ini, kecerdasan dicekal dan merupakan kesialan, sedangkan kebodohan adalah sebuah keberanian untuk menyatakan sedikit pengetahuan sehingga dipuja sebagai sebuah panutan. Toh, dalam sistem yang ada sekarang pun hidup berjalan dan tampak baik-baik saja. Lantas perlukah kita menjadi abai atau berpura-pura bodoh agar selamat dan baik-baik saja? Pada akhirnya, kita tahu bahwa kita tak pernah tahu apa yang bisa ditawarkan takdir ke dalam kehidupan kita sehingga pada akhirnya kita mengadaptasi hidup dengan semua dinamika yang ditawarkannya. Jika anda bukan seseorang, bersuara lantang tentang aturan pun tetap diabaikan. Bahkan jika anda seseorang pun, suara anda akan diredam oleh kepentingan yang lebih besar. Bisa apa?
Sebuah ceramah samar terdengar dari kejauhan, dia menghentikan langkahnya. Penggalan kutipannya menarik perhatiannya yang sedang resah oleh pikirannya tentang betapa hipokritnya orang-orang.
"Bersikap rendah hati lah kepada orang-orang bodoh sebagaimana Al-Ghazali nyatakan".Â
Ujar sang penceramah yang sampai padanya lewat udara. Pertanyaan pertama yang muncul adalah kenapa? Kenapa begitu istimewa status orang bodoh ini? Sebenarnya apa arti bodoh yang dimaksud Al-Ghazali?
Sebagaimana preferensi keilmuannya, langkah pertama yang dilakukannya adalah mencari makna kata bodoh itu sendiri, karena dalam sudut pandangnya tidak ada yang bodoh secara hakikat, kecuali sebagaimana disebutkan dalam kondisi medis tertentu terkait dengan alat berpikir yang dimiliki manusia. Dalam dunia medis disebut sebagai sebuah kondisi yang memerlukan kebutuhan khusus. Webster memahami bodoh/stupid sebagai pikiran lemah yang menghasilkan tindakan ceroboh karena tidak memiliki alasan atas tindakannya. Sering kali, dalam pandangan umum, kondisi bodoh ini diserupakan dengan ketidaktahuan, kurangnya pendidikan, atau kurangnya kepekaan, secara singkat dipahami sebagai suatu kondisi ignorance. Ignorance bisa mengarah pada kebodohan jika memang seseorang mengabaikan rasa ingin tahunya, berhenti mencari tahu, dan tidak membagikan pengetahuan tentang ketidaktahuannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ada karakter mendasar dari orang bodoh; yaitu orang yang tahu namun abai dengan kebenaran dan orang yang berpaling dari kebenaran.
Karena tak seorang pun dilahirkan dalam keadaan berilmu, maka berilmu itu diperoleh dari proses belajar. Buatnya, jelas, bodoh itu adalah malas untuk mencari tahu. Meski begitu, sampai sini pun dia masih belum paham maksud dari pernyataan Al-Ghazali tersebut dan malah dipertemukan kembali dengan pernyataannya yang lain melalui penceramah yang didengarnya dari kejauhan.
"Oh, Tuhan. Berilah aku keyakinan seperti keyakinan orang-orang yang lemah akalnya".
Ah...tampaknya tidak mungkin seorang Imam besar membuat pernyataan tanpa maksud untuk kita belajar darinya. Apa mungkin kondisi kebodohan ini merujuk pada pernyataan Socrates yang pada masa akhir penghakimannya menyatakan "Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang lebih rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan." (Apologia, 22a).
Dalam pandangan Islam, konsep yang dibagi oleh Socrates ini disebut dengan istilah Ruwaibidhoh. Sebagaimana sabda Rasul, bahwa ruwaibidhoh adalah sebuah kondisi di mana orang yang bodoh (tetapi) berbicara mengenai urusan orang banyak/ umum. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Ya'la, dan Al-Bazzar, dan juga riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Lihat Kitab Fathul Bari, juz 13 halaman 84). Apa itu adalah bodoh yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali? Dia masih belum setuju karena khawatir dia mungkin sebenarnya termasuk ke dalam orang yang sedang membuat kerusakan namun tidak menyadarinya (Al-Baqoroh 11-12).
Dia masih yakin bahwa ada beberapa golongan yang tidak ingin ambil bagian dalam perusakan tersebut, namun berujung pada pembungkaman oleh otoritas yang lebih berkepentingan, kekuatan yang lebih besar. Karena, mungkin, mereka adalah bagian dari golongan abai yang selama ketidakberuntungan tidak menyertainya, maka mereka berkepentingan untuk membenamkan kebenaran, tanpa perlu peduli dengan kebenaran. Adu domba jika diperlukan. Selama hidup baik-baik saja dan mereka tidak celaka, maka kebodohan mesti bisa ditegakkan karena kebenaran adalah virus yang merusak sistem. Ini adalah jelas sebuah tanda-tanda akhir zaman sebagaimana dinyatakan dalam HR Bukhori dan Muslim akan muncul pada akhir zaman, suatu kaum yang umurnya masih muda (yakni sedikit ilmunya), rusak akalnya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia (yakni suka membahas masalah agama). Mereka membaca alquran namun alquran tidak melewati kerongkongannya (yakni salah dalam memahami alquran). Jika Al-Quran dipahami sebagai sebuah aturan tentang kebenaran, maka setiap aturan hendaklah ditegakkan!
"Jadi, apa arti dan maksud dari pernyataan Al-Ghazali ini?"
Gumamnya mulai sedikit kesal. Dalam banyak pertimbangan, tidak mungkin rasanya setiap dari kita ingin menjadi orang bodoh yang lemah akalnya. Meski begitu, pencariannya mulai tercerahkan dengan pernyataan bahwa kita harus bersikap rendah hati pada orang bodoh. Kenapa? Karena kebenaran yang dimiliki orang-orang berilmu adalah kebijaksanaan untuk memahami mereka, dan jika mereka tidak dapat diberi pemahaman, maka tinggalkanlah karena mereka adalah golongan yang sedang membuat kerusakan tanpa mereka sadari. Mereka adalah golongan yang tenggelam dalam kesombongannya, sementara golongan yang benar akan terbenam oleh sohornya golongan orang-orang bodoh.
Sekarang mulai jelas bahwa orang bodoh yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali adalah orang-orang berilmu tinggi yang terlalu meninggikan dirinya sehingga kebenaran sekecil apa pun yang datang dari orang-orang biasa tidak lagi tampak. Orang bodoh yang dimaksud adalah orang sombong yang dengan pengetahuannya memonopoli kebenaran bagi orang-orang yang diremehkan dan dianggap bodoh.
Dia lantas mengakhiri pencariannya dengan kutipan dari HR. Bukhori dan Muslim yang berbunyi: dari Abd Bin Amr bin Al-ash: saya mendengar Rasul bersabda "sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hamba-hambanya (ulama) akan tetapi mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama sehingga apabila tidak terdapat ulama maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh menjadi pemimpin mereka, lalu orang-orang bodoh itu akan ditanya (dimintai fatwa) kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, maka orang-orang bodoh itu menjadi sesat dan menyesatkan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H