Ah...tampaknya tidak mungkin seorang Imam besar membuat pernyataan tanpa maksud untuk kita belajar darinya. Apa mungkin kondisi kebodohan ini merujuk pada pernyataan Socrates yang pada masa akhir penghakimannya menyatakan "Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang lebih rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan." (Apologia, 22a).
Dalam pandangan Islam, konsep yang dibagi oleh Socrates ini disebut dengan istilah Ruwaibidhoh. Sebagaimana sabda Rasul, bahwa ruwaibidhoh adalah sebuah kondisi di mana orang yang bodoh (tetapi) berbicara mengenai urusan orang banyak/ umum. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Ya'la, dan Al-Bazzar, dan juga riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Lihat Kitab Fathul Bari, juz 13 halaman 84). Apa itu adalah bodoh yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali? Dia masih belum setuju karena khawatir dia mungkin sebenarnya termasuk ke dalam orang yang sedang membuat kerusakan namun tidak menyadarinya (Al-Baqoroh 11-12).
Dia masih yakin bahwa ada beberapa golongan yang tidak ingin ambil bagian dalam perusakan tersebut, namun berujung pada pembungkaman oleh otoritas yang lebih berkepentingan, kekuatan yang lebih besar. Karena, mungkin, mereka adalah bagian dari golongan abai yang selama ketidakberuntungan tidak menyertainya, maka mereka berkepentingan untuk membenamkan kebenaran, tanpa perlu peduli dengan kebenaran. Adu domba jika diperlukan. Selama hidup baik-baik saja dan mereka tidak celaka, maka kebodohan mesti bisa ditegakkan karena kebenaran adalah virus yang merusak sistem. Ini adalah jelas sebuah tanda-tanda akhir zaman sebagaimana dinyatakan dalam HR Bukhori dan Muslim akan muncul pada akhir zaman, suatu kaum yang umurnya masih muda (yakni sedikit ilmunya), rusak akalnya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia (yakni suka membahas masalah agama). Mereka membaca alquran namun alquran tidak melewati kerongkongannya (yakni salah dalam memahami alquran). Jika Al-Quran dipahami sebagai sebuah aturan tentang kebenaran, maka setiap aturan hendaklah ditegakkan!
"Jadi, apa arti dan maksud dari pernyataan Al-Ghazali ini?"
Gumamnya mulai sedikit kesal. Dalam banyak pertimbangan, tidak mungkin rasanya setiap dari kita ingin menjadi orang bodoh yang lemah akalnya. Meski begitu, pencariannya mulai tercerahkan dengan pernyataan bahwa kita harus bersikap rendah hati pada orang bodoh. Kenapa? Karena kebenaran yang dimiliki orang-orang berilmu adalah kebijaksanaan untuk memahami mereka, dan jika mereka tidak dapat diberi pemahaman, maka tinggalkanlah karena mereka adalah golongan yang sedang membuat kerusakan tanpa mereka sadari. Mereka adalah golongan yang tenggelam dalam kesombongannya, sementara golongan yang benar akan terbenam oleh sohornya golongan orang-orang bodoh.
Sekarang mulai jelas bahwa orang bodoh yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali adalah orang-orang berilmu tinggi yang terlalu meninggikan dirinya sehingga kebenaran sekecil apa pun yang datang dari orang-orang biasa tidak lagi tampak. Orang bodoh yang dimaksud adalah orang sombong yang dengan pengetahuannya memonopoli kebenaran bagi orang-orang yang diremehkan dan dianggap bodoh.
Dia lantas mengakhiri pencariannya dengan kutipan dari HR. Bukhori dan Muslim yang berbunyi: dari Abd Bin Amr bin Al-ash: saya mendengar Rasul bersabda "sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hamba-hambanya (ulama) akan tetapi mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama sehingga apabila tidak terdapat ulama maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh menjadi pemimpin mereka, lalu orang-orang bodoh itu akan ditanya (dimintai fatwa) kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, maka orang-orang bodoh itu menjadi sesat dan menyesatkan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H