Mohon tunggu...
Tatang Lastani
Tatang Lastani Mohon Tunggu... Relawan - Penggiat Seni Budaya Sunda

Desain Produk

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu Harapan

5 Maret 2017   18:55 Diperbarui: 19 September 2018   15:54 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rindu ? Harapan?

Ini kisah Absurd yang entah ada ujungnya atau tidak, tapi semua akan bodoh atau rasional, tapi ya namanya hidup adalah pilihan dan tetap harus berjalan, Prof. Arsene wenger bilang “jangan kau hitung berapa kali kau terjatuh, tapi seberapa sering kau bangkit” kisah yang bisa membuat saya mengerti arti sebuah perjuangan yang sesungguhnya, hanya karena sebuah harapan pada cinta, karena dengan cinta kita bisa bodoh/ serendah tanah atau setinggi langit, lumayan observasi 60 hari memberikan sebuah ilmu yang setidaknya saya dapatkan selain ilmu formal saja :

1. Sungguh-sungguh mungkin sama dengan niat

2. Lupa diri, maksudnya skill yang kita punya terlupakan karena fokus si doi

3. Tidak sadar kita telah melupakan banyak waktu demi liat doi

4. Apa yang kita rencanakan ga sesuai harapan, skakmat !

Itulah beberapa ilmu yang didapat sementara, ya sekarang masih menjalani aja sampai dimana ujungnya, tapi yang pasti ga bertindak bodoh dong, oh iya basic sih fotografi tapi lumayan bisa juga berkarya lewat bahasa tulisan ga Cuma foto nikung ke ilmu lain sebentar, dan lumayan dapat satu karya tulisan :

Rindu Harapan

Apa yang terlihat tidak sama dengan harapan

Pada manusia hanya meminta harapan?

Terkadang itu malah menjadi beban

Pilu mengiringi disetiap nyanyian

Nyanyian, cacian, makian, selimuti seluruh badan

Terjerumus dalam lorong jalan

Ah, semua kujalani meski penuh pesakitan

Pernah kutemukan asa itu

Namun semua tidak menentu

1,2,3 ataukah semua palsu?

Ataukah karena aku tidak tahu?

Atau mungkinkah aku yang tidak tahu malu?

Akal ini sempat terkuci didalam lorong

Bagai raungan anjing yang menggong-gong

Terhujam dihati hingga terkapar

Bagai bambu runcing yang menancap

Konsentrasi yang penuh sabar

Kujalani meski merayap

Sehingga aku harus keluar

Dari lorong dan gorong-gorong

Aku lupa, Aku lupa

Kening ini untuk bersujud

Pada tanah yang dikuasai sabda

Diri-Nya pemberi agar semua terwujud

Disanalah kutempatkan semua asa

Karena ini adalah karunia

Cinta

Syukurku tiada tara

Akhirnya kutemukan cahaya

Mentari itu muncul saat tak berdaya

Dialah sang maha kuasa

Yang maha pemberi rasa

Aku malu melupakan-Nya

Yang sebelumnya pernah kulupa

Aku tak berdaya pada diri-Nya

Kuharus habiskan waktu pada diri-Nya

Selamat tinggal harapan

Harapan dari manusia yang palsu

Selamat tinggal kenangan

Kenangan yang membuat aku rindu

Terima kasih, atas sakit dikandung badan

Aku sayang pada-Mu

Aku sayang pada-Mu

Ternyata berkarya tidak melalui niat saja, tapi apa yang kita rasakan tuangkan, dan pastinya ada yang menjadi inspirasi,

  • At keb. Lama, 05 March 2017, For : Bunga Tebu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun