Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Transmigrasi (Petani 2 Negeri #32 dari 60)

15 Januari 2025   05:15 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:04 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mereka (Pemerintahan Saudi Arabia) telah membidik beberapa negara di Afrika seperti Mali, Senegal, Sudan dan Ethiopia sebagai target negara-negara yang akan menyediakan lahannya untuk bercocok tanam padi dan sejenisnya demi mencukupi kebutuhan pangan rakyat Arab Saudi di masa mendatang.

Bahwasanya mereka membidik Afrika ini rada aneh, mengapa? Afrika adalah belahan dunia yang tidak henti-hentinya dirundung masalah kelaparan. Negara-negara yang dibidik oleh Arab Saudi tersebut selama ini mencukupi pangan untuk rakyatnya sendiri saja tidak mampu, kok tiba-tiba sekarang menjadi target investasi pertanian yang akan menghasilkan pangan bagi negeri lain?

Bukan hanya Arab Saudi ternyata yang melirik Afrika, Pemerintah Qatar juga telah menyewa 100,000 acres lahan di Kenya, Korea Selatan mengolah 400 miles persegi lahan di Tanzania.

Afrika menjadi bidikan negara-negara yang ingin mengamankan ketersediaan pangan jangka panjangnya karena berdasarkan data World Bank dan FAO di sanalah lahan-lahan dalam jumlah milyaran hektar masih tersedia. Di daerah yang disebut Guinea Savannah, daerah yang membentuk bulan sabit dan membentang dari Guinea di bagian barat Afrika, ke timur sampai Kenya dan ke selatan sampai Mozambique. Ada belasan negara yang telah dipetakan FAO di daerah ini yang siap untuk dijadikan area commercial farming yang terbuka bagi investor negara lain.

Gerakan berburu lahan pertanian ini sebenarnya relatif baru, karena sampai tahun 2007 produksi pangan dunia dipandang cukup untuk mencukupi kebutuhan penduduk dunia. Tahun 2008 adalah mulainya kepanikan itu, ketika harga pangan di dunia mulai melonjak. Negara-negara pengekspor pangan seperti Argentina dan Vietnam pun mulai khawatir dengan kecukupan pangan bagi rakyatnya sendiri dan mulai membatasi ekspor (Diadaptasi dari https://www.hidayatullah.com/kolom/ilahiyah-finance/read/2012/04/12/2274/ketika-orang-arab-menanam-padi-di-afrika.html).

Keterbatasan lahan pertanian ternyata menjadi isu global. Bagaimana dengan Indonesia? Setidaknya, transmigrasi adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun, bila ditilik dari latar belakang tujuan transmigrasi, program gagasan dan unggulan pemerintahan Orde Baru yang masih berlangsung hingga sekarang ini memiliki tujuan lebih dari itu. Penyejahteraan para transmigran dengan pemberian lahan masing-masing 2 hektar, rumah, berikut pemenuhan kebutuhan hingga musim panen perdana adalah poin plus program ini. Apalagi mereka diberi pelatihan dan penyuluhan sebelum dan selama menggarap lahan. Ditambah pula upaya pemerataan penduduk dan penguatan sektor pertanian.

Banyak cerita sukses dari para petani pengadu nasib ini. Keterasingan mereka di tanah rantau terbayar. Berkat keuletan dan kegigihan, mereka yang tadinya kere di kampung kelahiran sekarang menjadi bos besar, tuan tanah keren. Salah satunya adalah Rachmat Samekto yang asalnya pekerja bengkel miskin sekarang menjadi petani sejahtera di Riau (http://www.riaubook.com/berita/12345/peninggalan-soeharto-di-riau-jasa-dan-petani-sawit-yang-kaya-raya.html/halaman/2/blog-post.html).

Satu lagi, anak-anak mereka yang menyaksikan dan merasakan perjuangan mereka babat alas mewarisi gen petarung. Buktinya, ketiga anak transmigran asal Yogyakarta di atas sukses meraih pendidikan hingga kuliah. Sesuai dengan tujuan awal sang bapak, memperbaiki nasib agar bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Ketika berita ini ditulis, (https://yogyakarta.kompas.com/read/2016/06/01/191310026/begini.nasib.transmigran.sawit.era.soeharto.sekarang) si sulung dan si tengah berstatus alumni Universitas Gajah Mada (UGM) masing-masing dengan jurusan antropologi dan jurusan hukum. Adapun si bungsu tengah merampungkan tahap akhir pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian.

"Lebih dari 20 juta warga transmigran dan anggota keluarganya, kini hidup berkemandirian pada kawasan-kawasan transmigrasi yang tersebar dari Aceh hingga Papua," ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar. Secara rinci disebutkan bahwa anak-anak transmigran saat ini banyak yang berhasil meraih gelar Guru Besar atau Profesor sekitar 15 orang, gelar Doktor sekitar 60 orang, dan yang berhasil meraih pendidikan S-2 sejumlah lebih dari ratusan orang serta S-1 ribuan orang (http://bisnis.liputan6.com/read/2177957/marwan-jafar-banyak-anak-transmigran-yang-jadi-orang-sukses).

Wayan Supadno, pengusaha tani sukses yang juga anak seorang transmigran, menceritakan bahwa orang tuanya yang semakin berat mencari penghidupan dengan mengandalkan sawah seluas seperdelapan hektar akhirnya menjual sawahnya di Banyuwangi untuk memulai hidup baru di Riau dengan membeli rumah dan lahan seluas 2 hektar di sana. "Mestinya banyak petani gurem bisa meniru langkah orang tua saya, tanah yang  kian kecil di Jawa, jika dijual ternyata bisa menjadi beberapa hektar di luar Jawa" (http://organox.blogspot.com/2012/06/wayan-supadno-motivator-petani-lewat.html) terangnya.

Itulah transmigrasi. Sebuah alternatif solusi atas lahan pertanian yang sempit dan tanah yang tidak subur. Berharap bahwa lahan yang tak terurus dan terlantar di seberang sana menjadi sumber rezeki melalui optimalisasi kecakapan dan semangat bertani yang dimiliki.

"Dahulu kala, tersebutlah seorang pria sebelum zaman kalian yang membunuh sembilan puluh sembilan jiwa," tutur Rasulullah. "Dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di atas permukaan bumi ini. Ditunjukkanlah padanya seorang rahib. Ia mendatanginya dan mengatakan bahwa dirinya telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa. Masihkah ada kesempatan taubat baginya? Si Rahib menjawab, 'Tidak.' Ia lantas membunuhnya dan menggenapkan seratus dengan jiwanya. Ia lantas bertanya lagi tentang orang yang paling berilmu di atas permukaan bumi ini. Ditunjukkanlah padanya seorang yang berilmu. Ia menuturkan bahwa dirinya telah membunuh seratus jiwa. Masihkah ada kesempatan taubat baginya?

'Tentu. Apakah penghalang antara dirinya dan taubat?' katanya. 'Pergilah ke daerah (ia menyebutkan sebuah nama). Di sana ada sebuah masyarakat yang beribadah kepada Allah Ta'ala. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Jangan pernah kembali ke daerahmu, karena daerah itu adalah daerah yang buruk," sarannya (HR Muslim, 2.766).

Al-Fudhail bin 'Iyadh adalah mantan begal yang beroperasi di daerah antara Abiwarda dan Sarkhas," tutur Al-Fadhl bin Musa. "Sebab taubatnya adalah, dikarenakan kerinduannya yang tak tertahankan terhadap seorang gadis, ia memanjat tembok rumah-rumah penduduk untuk mendatanginya. Ketika menjalankan aksinya, ia mendengar seseorang membaca ayat, 'Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka?' . . ." (QS Al-Hadid: 16).

Ketika mendengarnya, sontak ia berkata, 'Benar, wahai Rabbku, telah tiba waktunya.' Ia pun kembali dan malam itu tidur di sebuah bangunan usang tak berpenghuni. Di sana ternyata ada para musafir. 'Ayo segera berangkat,' ajak seorang di antara mereka. 'Kita tunggu sampai pagi karena Fudhail sedang bersiap di jalan untuk merampok kita,' sergah yang lain. Fudhail berkata, 'Aku merenung dan kukatakan pada diriku, di malam hari aku bergumul dalam maksiat, sedangkan sekelompok kaum muslimin di sini takut padaku. Menurutku, tidaklah Allah menggiringku ke tempat mereka ini melainkan agar aku berhenti. Ya Allah, sesungguhnya aku telah bertaubat padamu dan kujadikan bukti taubatku dengan menetapi Al-Bait Al-Haram'" (HR Al-Baihaqi dalam Syu'ab Al-Iman, 6.935, sebagaimana juga disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam An-Nubala', 8/423). Ia meninggalkan daerahnya dan bertempat tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu dan beribadah hingga dikenal sebagai salah satu rujukan dalam ibadah, ilmu, dan keluhuran akhlak.

Lebih dari satu dasawarsa Rasulullah berdakwah di tanah kelahiran beliau. Namun, seperti halnya tanah Mekah yang tandus, hati penduduknya tak kalah gersang, keras, dan bercadas. Kian hari tingkah polah mereka kian pongah, bahkan membahayakan nyawa dan agama kaum muslimin. Turunlah perintah hijrah dan mereka pun bertolak ke Madinah.

Tanah Madinah yang subur dipenuhi pohon kurma ternyata tiada beda dengan hati para penduduknya yang lembut dan hangat dalam menerima tamu agung, Rasulullah dan Muhajirin. Dari sanalah ternyata peradaban Islam berakar, menghijau, dan meranum. Dari sanalah Islam jaya.

Bagi Anda yang berilmu dan gemar berbagi keahlian atau kecakapan, sebutlah dakwah, tentu sangat berkeinginan memberikan corak pada masyarakat tempat di mana Anda tinggal. Pitutur bijak leluhur kita mengatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kontribusi seorang hamba pada sesama manusia di sekitarnya termasuk ibadah besar. Amar makruf nahi munkar, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju gemerlapan, adalah esensi tugas yang diemban para nabi. Bila mendapati situasi yang sama, salah satu fragmen sirah di atas bisa menjadi pertimbangan Anda.

Ataukah lingkungan Anda tidak kondusif sehingga mengkhawatirkan akhlak keluarga Anda? Benih-benih nilai yang Anda tanam pada anak-anak Anda seolah digerogoti oleh hama-hama yang bertebaran dari warga sekitar? Bila demikian halnya, berpindah, berhijrah, bertransmigrasi, atau mencari lahan baru adalah solusi terakhir atas keadaan yang ada.

Berhijrahlah. Selamatkan diri dan keluarga. Akan terasa getir pada mulanya, namun kepahitan akan berganti kebahagiaan bila semua didasari keikhlasan kepada Allah. Bahkan, Allah akan memberi Anda ganti yang jauh lebih baik. Buktinya adalah Nabi yang terusir dari kerabat setanah air dan setumpah darah Allah ganti dengan Anshar yang rela berkorban jiwa, raga, dan harta benda demi beliau dan Muhajirin. Seorang penyair mengatakan, "Merantaulah, niscaya kan kau dapati ganti dari orang yang kau tinggalkan, Berletih-letihlah karena kemuliaan didapat dengan berletih-letih. Singa pun, andai tidak meninggalkan sarangnya, tidak akan mendapat buruan, Dan, anak panah, andai tidak lepas dari busur, tidak akan mengenai" (Raudh Al-Akhyar Al-Muntakhab min Rabi' Al-Abrar, 1/402, Ruh Al-Bayan, 3/537 & 6/397, Tafsir Hada'iq Ar-Rauh wa Ar-Raihan fi Rawabi 'Ulum Al-Qur'an, 21/152).

Seperti jutaan burung migran yang terbang meninggalkan tempat berbiaknya demi mencari makan di tempat lain selama tempat berbiaknya tidak mendukung kehidupannya. Secara geografis mereka melarikan diri dari kejamnya musim dingin di bumi belahan utara ke belahan selatan yang lebih hangat. Seperti juga Salmon yang meninggalkan sungai kelahirannya untuk bertebaran ke laut lepas mencari kehidupan. Lalu, setelah sekian waktu lamanya dan sekian ribu kilometer ditempuhnya, ia kembali lagi untuk bertelur dan mati, demi memberi kehidupan. Tujuannya satu, menjaga eksistensi dengan melintasi dan bertebaran di atas bumi.

"Para malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?'" (QS An-Nisa': 97). 

Tujuh tahun lalu, tepatnya 2013, ia memutuskan hijrah dari Jakarta ke Kota Hujan. Ia tinggalkan pabrik yang selama ini menggajinya dengan bilangan jutaan dan beralih ke tempat kerja yang membayarnya ratusan ribu. Pesangon perusahaan ludes hanya untuk membeli rumah kecil nan memprihatinkan. Motivasi hijrahnya adalah mencari lingkungan yang islami sekaligus mengikuti anaknya yang belajar di pesantren.

Aktivitas hariannya dari pagi hingga asar adalah bekerja di tempat barunya. Sore hari ia gunakan untuk berjualan jajanan atau merawat lahan. Di samping itu, ia melakukan apa saja demi mendapatkan tambahan. Semua mengalir apa adanya. Tapi, menurutnya, lika-liku hidupnya keluar dari kalkulasi matematis.

"Lha iya, kalau dipikir-pikir, kok ya ndak nyambung," tuturnya, "uang segitu kok ternyata bisa beli ini beli itu. Ini memang matematikanya Allah, kalau pakai rumus matematika kita nggak bakal nyampe," ungkapnya keheranan.

Yang ia maksud "bisa beli ini beli itu" adalah dua rumah dengan pekarangan yang luas, dua motor, kelinci dan kambing ternak, mengirimi rutin kedua orang tuanya, memodali kawannya yang hendak usaha, memberikan pinjaman, membantu melunasi rumah salah seorang kerabatnya, dan terakhir, daftar haji untuk dirinya dan istrinya. Matematika Allah yang tak bisa dicernanya ini ia namakan dengan barokah.

Selepas shalat isya, saya menyempatkan diri menariknya ke sudut masjid untuk wawancara. Sengaja saya pilih pojok masjid bukan untuk menghindari kejaran paparazi, tapi agar pembicaraan lebih tenang dan jelas perihal rahasia kesuksesannya.

"Jangan lupa sedekah," ia mengawali. "Pokoknya tiap hari harus sedekah, baik dengan uang maupun barang." Ini ia buktikan dengan kebiasaan membawa kopi sachet di saku yang ia bagi-bagikan ke rekan-rekan kerjanya. Apalagi hasil kebunnya, mungkin semua orang yang dikenalnya pernah merasakannya. Kalau pun ada yang minta, langsung diambilkan.

"Selalu memudahkan urusan orang lain," lanjutnya. Di antaranya adalah ia dengan ringan tangan memberikan pinjaman dengan pembayaran tanpa tempo, tanpa ditagih. "Kan ada tu hadisnya, tapi saya gak hapal bahasa Arabnya, 'Barangsiapa memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya,'[11]." Janji ini betul-betul ia rasakan. Banyak kemudahan yang ia dapatkan. Kemudahan dalam meminjam dana,  cicilan lunas lebih cepat, mendapat tanah atau rumah murah, dan banyak lagi.

"Harus ubet," rahasia ketiga yang berarti berusaha, berikhtiar, ulet. "Yang namanya rezeki memang sudah ditentukan, tapi kan harus dicari. Kudu mau nyeker sana nyeker sini."

"Berdoa. Jangan tinggalkan zikir pagi dan petang," tambahnya lagi. "Kadang sambil dagangan juga baca zikir," tutupnya.

Kecenderungannya yang membuat saya dekat dengannya adalah hobi berkebunnya yang luar biasa. Karyawan yang sangat aktif menghidupkan lahan mati. Menanami lahan nganggur dengan segala tanaman produktif, yang besar maupun yang kecil, yang populer maupun yang asing, yang lokal maupun yang  impor. Tak rela ada petak tersisa tanpa menghijaukannya dengan tanduran bermanfaat. Bahkan, kalau ada tandon air yang bocor, gedung yang meneteskan air, pasti akan ditanaminya. "Pengairan gratis," celetuknya.

Ia memetak-metak lahan pesantren lalu menawarkannya pada pegawai lain untuk mengelolanya dan ia pun turut menjaganya.  Saya sendiri langsung dimintakan izin untuk mengelola lahan kosong sekaligus diantar ke tempat itu sambil menjelaskan banyak hal. Plus, ia menawarkan tenaga, alat, maupun bibit yang ia semai sendiri bila memerlukan. Semua gratis.

Hasil kebunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sayur dapurnya. Ia bahkan pernah menyebutkan jadwal santap sayurnya. Senin:  kelor, Selasa: daun singkong, Rabu: kangkung, Kamis: labu siam, Jumat: daun pepaya, Sabtu: pepaya muda, Ahad: sekali-kali ayam atau ikan, yang juga piaraannya, dan seterusnya.

Lebih jauh, banyak kesamaan saya dengannya dalam hal selera tanaman. Di samping sama-sama  menyukai tanaman buah, tanaman sayur, tanaman obat, atau tanaman bahan minuman, kami pun memiliki kejengkelan-kejengkelan yang sama dalam banyak hal, masih terkait tanaman. Kami sama-sama jengkel melihat taman atau lahan yang hanya dipenuhi bunga atau pohon yang tidak produktif, juga tidak rindang. Sama-sama jengkel kalau ada yang menyemprot rumput dengan herbisida. Sama-sama jengkel kalau ada yang membakar sampah di bawah pohon besar atau dekat tanaman sehingga merusaknya. Sama-sama jengkel bila tanaman yang dirawat dari kecil ternyata begitu besar tiba-tiba dipotong tanpa pemberitahuan. Kami juga sama-sama jengkel bila ketika hendak duduk tiba-tiba ada yang sengaja mengganjal dengan durian, atau tiba-tiba bisul kami digebuk pakai singkong bakar. (keduanya belum pernah terjadi ).

Di tempat kami, bila Anda melihat sosok pria murah senyum bersepatu boot, bertopi, dan membawa alat bertani, besar kemungkinan ia lakon yang barusan kita bicarakan.

Ia saudara fillah. Namanya seperti jambu air lokal yang manis di lidah. Masyarakat juga mengenal buah ini sebagai jambu Jamaika. Buah yang istimewa. Bentuknya besar, merah merona. Rasanya manis, semanis senyum kawan saya. Segar, sesegar pembawaannya yang selalu ceria. Ada yang tahu namanya? (Serial Petani 2 Negeri, Karya Hayik El Bahja, #32 dari 60)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun