Sarno Ahmad Darsono memiliki kemampuan langka. Ia bisa menilai kualitas durian dari fisiknya. Ia bisa menyebutkan jenis durian apa dengan melihat bijinya. Dengan memegang dan menimbangnya, ia tahu durian yang ada di tangannya telah matang atau belum, berkulit tebal atau tipis. Ketajaman penciumannya bisa membantunya memilah durian yang puket (manis, berlemak, dan beralkohol) atau bukan (https://nasional.kompas.com/read/2008/11/19/01164010/policy.html?page=all).Â
Melalui beberapa buku, ia mulai bereksperimen. Satu cara yang tidak populer dicobanya, ia gabungkan 35 varietas unggul melalui okulasi sehingga tampak seperti tanaman bakau yang eksotis.
Pekebun yang juga Guru SD ini berhasil menemukan varietas unggul yang ia namakan dengan Bhineka Bawor. Ukuran buahnya yang besar seolah mewakili durian Kumbokarno, warna buahnya yang oranye seolah titisan durian Kuningmas, sedangkan rasa manis beriring pahitnya menyerupai rasa durian Petruk. Kulitnya tipis, dagingnya tebal, dan bijinya kecil gepeng. Temuan anak negeri yang siap menggeser durian Monthong Thailand dan Musang King Malaysia.
Sebagai prestasi pribadi, tahun 2004, ia mendapat penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari presiden sebagai Petani Penangkar Durian Unggul, sekaligus kemajuan ekonomi yang besar karena selain menjual buahnya yang diburu para maniak durian dari luar kota, ia pun menjual sekian banyak bibit pohonnya yang berkaki tiga atau lebih itu.
Lebih hebat lagi, ia berhasil menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga Kemrajen, Banyumas, dengan membudidayakan varietas yang cepat berbuah dan bisa berbuah sepanjang tahun tersebut. Obsesi dan segala capaiannya ini berawal dari pengalaman masa kecil yang ia jalani ketika menemani ayahnya yang berprofesi sebagai penjual durian mencari durian ke pelosok-pelosok (Diadaptasi dari https://www.liputan6.com/regional/read/2425139/sejarah-durian-bawor-penantang-durian-montong, https://durianbawor.com/home/, dan https://www.bibitduriansuper.com/kelebihan-keunggulan-durian-bawor-banyumas-dibanding-durian-lainnya/).
Kawan saya yang berprofesi sebagai guru Madrasah Aliyah menceritakan masa kecilnya yang hidup dengan ayahnya yang petani. Sang ayah tidak pernah menyuruh si  anak membantunya di sawah. Sang ayah hanya mengajaknya melihat dirinya mengerjakan lahan.
Satu hal yang tak pernah alpa dari pengamatan si anak, bahwa di samping cangkul besar selalu ada cangkul kecil. Si bapak pun tidak pernah memaksa si anak untuk membantunya menyirami tanaman. Tapi, hal lain yang tak pernah luput dari ingatan si bocah, bahwa di samping alat penyiraman besar selalu ada alat penyiraman kecil.
Si anak yang diproyeksikan sebagai akademisi ini akhirnya mau tidak mau turun tangan juga membantu orangtuanya. Entah digerakkan oleh empati, mungkin juga oleh keinginan untuk coba-coba. Yang pasti, si ayah telah berhasil menanamkan sebuah nilai melalui teaching by doing, mengajar dengan memberi contoh sekaligus menyediakan penunjangnya, tanpa pernah menyuruh. Ketika si anak telah menjadi seorang guru, ajaran sang ayah tampak padanya.
Lain lagi cerita teman sejawat saya yang lain. Ia yang hobi berkebun menuturkan kisah diri dan keluarganya yang merantau ke pulau seberang. Ia menceritakan bahwa dalam kultur perantau Jawa yang menetap di Sumatra, anak-anak seusia SMP sudah diajari bertani dengan serius. Maka tak heran, tuturnya, ketika menginjak usia SMA, mereka sudah bisa mandiri.
Masih terngiang dalam ingatan bagaimana bulek "menggiring" kami, para keponakan yang masih kecil untuk dadak, istilah kami untuk menyiangi gulma atau tanaman pengganggu. Sangat sederhana. Tinggal turun ke sawah untuk menyiangi vegetasi tak diundang  tersebut. Cukup cabut dan lempar "penduduk gelap" tadi dari jajaran tanaman budidaya. Sehat, menyenangkan, bisa lempar-lemparan lumpur terus mandi di sungai, anggap saja out bound alami gratis.
Sewaktu SD, kami juga punya kegiatan yang asyik. Berkebun di belakang kelas kami. Semua kelas punya kesempatan membuat petak-petak kecil berisi tumbuhan tomat, cabai, labu, ditambah dengan berbagai tunas yang berasal dari biji buah. Masing-masing kelas, dari kelas 1 sampai kelas 6, terdiri dari 2 kelompok. Jadi, total lahan yang ada 12. Lahan belakang kelas kami jadi hijau oleh tanaman-tanaman dari tangan-tangan kecil petani cilik. Ocehan mereka riuh, saling tertawa membanggakan tanaman untuk kemudian bersedih ketika semua tanaman roboh diterjang air hujan.
Salah satu aktivitas yang tak terlupakan ketika itu adalah mencari tunas dari biji buah yang tumbuh di juglangan, pembuangan sampah dengan cekungan tanah yang lebar. Biasanya di dekat pasar buah. Macam-macam, ada tunas rambutan, kelengkeng, mangga, alpukat, jambu, salak, nangka, durian, dan lain-lain.
Di samping memberikan rasa senang, kegiatan itu merupakan pengenalan akan kerja keras, menjaga, serta merawat. Dan, nilai kebaikan yang mereka semai kelak akan mereka tuai. Tunas yang mereka pelihara kelak akan memberikan kemanfaatan, teteduhan, keindahan, maupun buah-buahan itu sendiri.
Dulu, pria itu membiasakan anaknya bersedekah rutin dengan mengisi kotak infak di masjid. Proses itu berhasil dan si anak memiliki kebiasaan bederma mengisi kotak amal. Sebagian uang sakunya ia sisihkan untuk dimasukkan ke dalam kotak itu, dan ini hampir tiap hari.
Dalam usia si anak yang masih kecil, dirinya meninggal dunia dan status anaknya menjadi yatim. Seorang pria lain datang menggantikan posisinya mendampingi mantan istrinya, ibu si anak. Anak itu sampai sekarang masih rutin mengisi kotak infak masjid dekat rumah, berapa pun jumlahnya. Saya tahu karena dia adalah tetangga saya. Pernah Rasulullah bersabda, "Pena diangkat dari tiga orang: orang tidur hingga terjaga, anak kecil hingga bermimpi basah (balig), dan orang gila hingga tersadar (HR Abu Dawud, 4403, At-Tirmidzi, 1423, An-Nasa'i, 3432, dan yang lain. Dihukumi shahih oleh Al-Albani dalam Irwa' Al-Ghalil, 297).
Hadis ini tidak untuk dimaknai sebagai pembiaran, tapi lebih pada pemakluman ketika  mereka salah. Bukan dibiarkan tanpa aturan dan tanpa teguran. Sebagaimana orang yang tertidur pulas yang harus menunaikan kewajiban, bukan berarti tidak boleh dibangunkan, tidak pula bermakna bahwa anak kecil dibiarkan begitu saja. Sebagaimana juga orang gila tidak usah dicegah melakukan perusakan atau tindakan membahayakan hanya gara-gara mentalnya terganggu. Tidak demikian.
Justru di saat golden age, usia emas, itu upaya internalisasi nilai dimulakan. Lahan subur bernama bocah ini sedini mungkin dikenalkan pada beragam kebaikan sesuai daya tangkapnya dan dengan bahasa sederhana, agar kelak nilai-nilai ini terpatri dalam benaknya dan menjadi habit hingga hari tuanya. Rasulullah sendiri membuktikan hal ini, mengajarkan kebaikan pada anak usia dini. Yaitu ketika beliau makan bersama dengan seorang anak kecil dalam satu nampan.
"Wahai bocah, ucapkanlah basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah yang terdekat" (HR Al-Bukhari, 5.376 dan Muslim, 2.022), nasihat beliau kepada seorang sahabat kecil yang juga anak tiri beliau ketika si anak mengacak-acak makanannya. "Seterusnya, begitulah cara makanku" (HR Al-Bukhari, 5.376 dan Muslim, 2.022), yaitu sesuai tuntunan Rasulullah, kenang si bocah yang bernama Umar bin Abi Salamah ini.
Beliau juga pernah mengajak Al-Hasan dan Al-Husain ke masjid untuk salat berjamaah, sekalipun mereka tidak salat, tapi malah menunggangi punggung beliau ketika sujud. Padahal, secara fikih, ia masih belum wajib menunaikan salat, apalagi berjamaah. Itulah mengapa beliau bertitah, "Perintahlah anak-anak kalian salat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika umur mereka sepuluh tahun serta pisahkanlah ranjang mereka" (HR Abu Dawud, 495 dan yang lain. Dihukumi shahih oleh Al-Albani dalam Irwa'Al-Ghalil, 247).
Terlebih, pahala anak tersebut juga akan mengalir kepada orang tua. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi pernah ditanya oleh seorang perempuan. Sembari mengangkat seorang anak, ia berkata, "Apakah anak ini boleh berhaji?" "Ya, dan kamu pun mendapat pahala" (HR Muslim, 1336).
Sebagian sahabat Nabi bahkan melatih anak-anak mereka berpuasa. Dan, agar lebih semangat, bocah-bocah petani ini memang perlu dimotivasi dengan insentif berupa hadiah. Tak mengapa. Sebagian shalihin memberi hadiah besar atas hafalan beberapa ayat atau surat yang mereka hafal.
"Allah mewajibkan puasa bagi setiap muslim yang  telah balig, mampu, dan mukim. Adapun anak-anak, tidak wajib melakukannya. Dasarnya adalah sabda Nabi, 'Pena diangkat dari tiga orang,' di antara mereka adalah, 'anak kecil hingga mencapai balig,'," kata Syaikh Utsaimin ketika ditanya tentang hukum anak kecil yang berpuasa. "Tapi, walinya wajib memerintahkannya berpuasa jika dianggap telah mampu melaksanakan puasa. Sebab, hal itu termasuk pengajaran dan latihan menjalankan rukun Islam," lanjutnya.
Ia menyesalkan keadaan yang ada. Katanya, "Fenomena yang kita dapati adalah sebagian masyarakat ada yang membiarkan anak-anak mereka. Tidak diperintahkan salat, tidak pula disuruh puasa. Ini adalah sebuah kesalahan. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya ini ke hadirat Allah Tabaraka wa Ta'ala. Mereka mengira bahwa tidak menyuruh mereka berpuasa adalah bentuk kasih sayang terhadap mereka."
"Sebenarnya," tambahnya lagi, "orang tua yang welas asih terhadap anak adalah yang membiasakan anak mereka melakukan amalan-amalan kebaikan dan kebajikan, bukan malah abai terhadap pengajaran dan pendidikan yang bermanfaat" (Majmu Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibni Utsaimin, 19/19-20).
"Sebelum fajar, ibu membangunkanku dan memasak air hangat untukku," kenang seorang pria istimewa umat ini. "Hawa di Baghdad begitu dingin dan umurku waktu itu sepuluh tahun. Kami salat sunnah beberapa rakaat. Ibu mengenakan kerudung dan pakaian lalu mengantarku ke masjid untuk salat di sana," tutur pria yang dikenal dengan Imam Ahmad bin Hanbal ini. Di kesempatan lain, ia mengatakan, "Ibukulah yang membuatku hafal Al-Qur'an di saat umurku baru sepuluh tahun" (Rasa'il ila Mukminah, 188-189).
Ayah, Bunda, sedini mungkin kenalkan ananda pada pahala. Semangati ia menebar benih kebaikan. Bila pun Anda tak bisa bersamanya hingga dewasa, telah Anda tunaikan kewajiban Anda sebagai orang tua. Dan, ananda kelak akan mengenang Anda dalam doa-doanya. Setiap kebaikannya akan menerangi kubur Anda dan menyegarkan kebun Anda. (Serial Petani 2 Negeri, Karya Hayik El Bahja, #28 dari 60).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H