Mohon tunggu...
Tasya Monica Pasaribu
Tasya Monica Pasaribu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Political Science Student University of Indonesia

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengaruh Referendum Brexit terhadap Dinamika Politik Inggris

18 Februari 2024   22:32 Diperbarui: 18 Februari 2024   22:35 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anggota Uni Eropa, Inggris memiliki tiga keuntungan mengenai investasi asing. Pertama, adanya gerakan modal bebas yang dapat memudahkan investor dari negara anggota Uni Eropa lainnya untuk berinvestasi di Inggris. Kedua, Inggris dapat memperoleh keuntungan dan menikmati perdagangan persaingan sehat di Uni Eropa dengan berada di pasar tunggal Uni Eropa. Ketiga, Inggris mendapat perhatian besar dari perusahaan multinasional yang memiliki rantai pasokan kompleks atau jaringan anak perusahaan di seluruh berbagai negara dalam blok. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa menyebabkan kehilangan tiga keuntungan besar tersebut (Anshari, 2020). 

Brexit menyebabkan nilai mata uang Inggris mengapung bebas terhadap negara lain. Hal ini dapat mengukur kekuatan dan stabilitas ekonomi Inggris setelah Brexit. Penyusutan Poundsterling dapat menyebabkan naiknya harga impor terutama untuk produk-produk jenis makanan yang bersumber dari luar negeri. Brexit juga menyebabkan inflasi mata uang Poundsterling. Dalam keadaan terburuk dengan melihat berbagai hal tersebut, Inggris dapat dijauhkan dan terputus hubungannya dengan negara-negara di dunia (Anshari, 2020).   

Dampak Terhadap Politik

Referendum Brexit berefek pada pengubahan regulasi dan kebijakan luar negeri Inggris. Pengubahan kebijakan luar negeri dalam konteks politik domestik harus dilakukan sebagai usaha dalam mempertahankan kekuatan politik di Inggris (Febrian. dkk, 2018). Kebijakan yang mengatur tentang imigran banyak mengalami perubahan. Kebijakan tersebut antara lain, persyaratan khusus dibutuhkannya visa bagi setiap warga dari Inggris yang ingin tinggal di sebagian besar wilayah Uni Eropa selama lebih dari 90 hari dalam jangka waktu 180 hari. Lalu, warga negara Uni Eropa yang ingin pindah ke Inggris (kecuali yang berasal dari Irlandia) akan dihadapkan sistem berbasis poin yang sama dengan orang-orang di tempat lain di dunia (Redaksi, 2020). 

Terkait dengan hukum, terdapat perubahan dalam bidang yudikatif di Inggris. Setelah Brexit, Pengadilan Eropa (European Court of Justice) tidak memiliki wewenang lagi untuk memutuskan sengketa antara Inggris dan Uni Eropa. Selain itu, Kepolisian Inggris juga sudah tidak memiliki wewenang atas hak untuk mengakses sistem data di seluruh negara Uni Eropa yang berisi catatan kriminal, sidik jari, dan buronan (Sebayang, 2018). Mengenai bea cukai, perusahaan-perusahaan Inggris yang mengekspor barang-barang ke Eropa diwajibkan untuk mengisi atau membuat pernyataan tentang bea cukai. Terutama pebisnis dari Inggris, Skotlandia, dan Wales, mereka membutuhkan dokumen yang lebih banyak saat berurusan dengan negara Uni Eropa. Hal ini dilakukan untuk mengikuti prosedur bea cukai yang baru dimana prosesnya dilakukan secara bertahap dan lebih ketat (Sebayang, 2018). Penetapan perbatasan garis-garis wilayah juga dilakukan sebagai bentuk putusnya kerja sama dengan Uni Eropa. 

Kondisi Politik Inggris Setelah Brexit

Tanggal 31 Januari 2020 menandakan momen resmi keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Setelah resmi keluar, Inggris mengalami masa transisi ke dalam hal yang baru. Sebelum resmi keluar dari Uni Eropa, Inggris menandatangi sebuah kesepakatan dengan Uni Eropa. Kesepakatan tersebut berisi tentang Perjanjian Kerja Sama dan Perdagangan khusus antara Inggris dan Uni Eropa atau UK-EU Trade and Cooperation Agreement (TCA). Perjanjian kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Perdana Menteri saat itu yakni Boris Johnson. Isi detail perjanjian kesepakatan tersebut meliputi penampang perdagangan, penegakan hukum, dan penyelesaian konflik di antara kesepakatan yang akan memisahkan pasar Inggris Raya dan Eropa mulai 31 Desember 2020. Penandatangan surat perjanjian kesepakatan antara Inggris dan Uni Eropa diharapkan menjadi titik awal terciptanya hubungan yang indah sebagai mitra dan negara sahabat (BBC, 2021). 

Terjadinya Brexit merupakan lambang yang dapat menentukan kelangsungan hidup masyarakat Inggris karena dalam prosesnya suara rakyat digunakan sebagai determinan utama mengenai posisi Inggris dalam Uni Eropa, remain or leave. Mayoritas suara rakyat yang setuju dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi tanda terwujudnya Brexit. Pertanyaan yang menjadi fokus saat ini, apakah Brexit menguntungkan Inggris? Pertanyaan tersebut cukup sulit dijawab saat ini karena mengingat waktu yang belum terlalu lama resminya Inggris keluar dari Uni Eropa. Namun, sudah cukup terlihat dari angka-angka perekonomian Inggris yang kian hari makin menurun terutama di bidang ekspor dan impor. Berjalannya TCA justru menyebabkan kondisi Inggris dan Uni Eropa sama-sama dirugikan tetapi Inggris dapat dikatakan sebagai pihak yang paling berdampak (Fahira, 2022). 

Menurut analisis dari London School of Economics and Political Science (LSE) yang juga didukung oleh sebuah penelitian dari Universitas Sussex, Inggris, TCA berdampak pada penurunan ekspor Inggris ke UE sebanyak 14% dan impor dari UE sebesar 24% sehingga kegiatan ekspor secara perlahan menurun hingga Juli 2021. Sebagai akibatnya, perdagangan di Inggris diestimasikan mengalami kerugian sebesar 44 triliun Poundsterling. Beragam produk mulai dari produk sayuran, tekstil, pakaian, keramik, dan logam menjadi komoditas yang kuota penjualannya paling menurun dalam perdagangan. Sementara itu, di sektor jasa, ekspor dan impor jasa ke UE mengalami penurunan drastis pada paruh pertama tahun 2021 yang masing-masingnya berkisar -11.5% dan -37%. Analisis tersebut membuktikan relasi Inggris dan Uni Eropa setelah brexit terkendala karena banyak hambatan-hambatn yang terjadi (Fahira, 2022). 

Masyarakat Inggris banyak mengeluhkan krisis-kris yang terjadi pasca Brexit. Suplai makanan tersendat, banyak industri dan bisnis kekurangan pekerja di bidang-bidang yang biasanya diisi oleh warga asing. Terlebih lagi dengan dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, hal ini menghantam Inggris jauh lebih parah daripada negara-negara Uni Eropa. Banyak supermarket yang kehabisan bahan makanan. Bahkan pompa-pompa bensin sempat kosong, karena tidak ada pengemudi truk yang menyuplai bensin. Sebelumnya, pengemudi truk kebanyakan adalah para pekerja asing dari Eropa timur. Sejak Brexit, para pekerja asing tidak bisa sebebasnya atau tidak mau datang lagi ke Inggris (Martin, 2021). 

PENUTUP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun