Sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Kegiatan kreatif ini menghasilkan deretan kata atau tulisan yang memiliki unsur seni. Sebagai karya seni, sastra merupakan ciptaan manusia yang berisikan ekspresi, gagasan, dan perasaan penciptanya (Wellek & Warren, 2016). Sejak Era Pujangga Lama, Indonesia telah memiliki segudang sastrawan yang karyanya masih tetap diingat hingga sekarang. Salah satunya para sastrawan di Era Reformasi yang karyanya sebagian besar bertemakan sosial dan politik karena adanya isu-isu sosial dan politik pada akhir tahun 1990-an, salah satunya yaitu Widji Thukul sebagai tokoh yang melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru pada masa peralihan pemerintahan Soekarno kepada Soeharto.
Widji Widodo atau yang dikenal sebagai Widji Thukul merupakan penyair dan aktivis HAM berkebangsaan Indonesia. Selama hidupnya ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak jalanan. Sebagai seorang seniman jalanan, karya-karya yang ditulisnya terlibat langsung dengan realitas sosial pada saat itu dan menyatu dalam dinamika masyarakatnya. Â Hal ini yang menyebabkan karya-karya puisinya berisikan kritik sosial terhadap pemerintah yang terjadi pada masa itu.
Penyair kelahiran 63 ini juga merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru, karyanya yang berjudul Sajak Suara menjadi salah satu bentuk perlawanannya. Namun, pada 17 Juli 1998, Widji Thukul menghilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.
Lalu pesan apa yang ingin disampaikan Wiji Thukul dalam puisinya yang berjudul "Sajak Suara"? Â Berikut potret masa Orde Baru melalui kacamata Widji Thukul.
Â
Sajak Suara
Karya Widji Thukul
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
kusiapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Setelah kita membaca puisi tersebut, tergambarkan bahwa Widji Thukul membicarakan tentang kebebasan berbicara, pemberontakan terhadap ketidakadilan, dan pentingnya suara. Hal tersebut terdapat dalam keempat bait dengan situasi bahasa menggunakan aku lirik sebagai pembicara.
Isu pertama mempersoalkan tentang kebebasan berbicara, aku lirik menyuarakan bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk membuat rakyat bungkam tidak akan mampu menghentikan suara atau pertanyaan dan juga keragu-raguan sang aku lirik terhadap pemerintah pada saat itu. Hal tersebut terdapat pada bait pertama,
"sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku"
Aku lirik menunjukkan betapa menggebu-gebunya ia dalam menyuarakan pertanyaan yang berasal dari lidah jiwanya. Lidah jiwa sendiri menunjukkan kedalaman makna.
Isu kedua berbicara mengenai pemberontakan terhadap ketidakadilan, aku lirik ingin menyampaikan pesan bahwa suara-suara atau aspirasi yang disampaikan bukan sebuah upaya untuk mengambil paksa apa yang dimiliki rezim penguasa, melainkan sebuah jalan damai untuk mewujudkan proses demokrasi. Hal tersebut terdapat pada bait ketiga dalam larik pertama dan kedua "sesungguhnya suara itu bukan perampok, yang ingin merayah hartamu" akan tetapi, upaya damai yang dilakukan masyarakat dibalas dengan tindak kekerasan karena adanya ketakutan dari rezim penguasa saat mendengar suara-suara itu menuntut keadilan. Hal ini akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan lagi bagi sang aku lirik, diutarakan dalam larik terakhirnya "mengapa kau kokang senjata, dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?"
Isu ini dipuncaki pada bait terakhir, sang  aku lirik memberikan sebuah penekanan bahwa pada akhirnya mau tak mau pemerintah harus menjawab pertanyaan-pertanyaannya, disebutkan pada larik ketiga dan keempat "dan pada akhirnya tidak bisa tidak, engkau harus menjawabnya" yang kemudian pada larik terakhir "apabila engkau tetap bertahan, aku akan memburumu seperti kutukan" aku lirik memberikan sebuah ancaman bahwa ia tidak segan-segan akan melakukan perlawanan kembali apabila pemerintah tetap diam dan tidak membuat perubahan.
Isu ketiga berbicara mengenai pentingnya suara, hal ini disebutkan pada bait kedua dalam larik pertama dan kedua "suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan" yang berartikan bahwa suara atau aspirasi yang ingin disampaikan tidak bisa dipenjarakan, aspirasi merupakan salah satu unsur dari demokrasi untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Sikap diktator yang dilakukan pemerintah juga disebutkan pada larik ketiga dan keempat "apabila engkau memaksa diam, kusiapkan untukmu: pemberontakan!" disebutkan bahwa aku lirik menegaskan akan memberikan sebuah pemberontakan jika pemerintah memaksa untuk diam yang berartikan pembungkaman suara yang terjadi pada masa rezim Orde Baru.
Isu tersebut dikemas menggunakan majas personifikasi, dikatakan menggunakan majas personifikasi karena aku lirik menjadikan objek tidak hidup diperlakukan seperti makhluk hidup/manusia. Pada larik pertama, kata 'suara' merupakan bentuk tidak hidup dan kata 'dipenjarakan' merupakan perlakuan yang biasanya dipergunakan untuk makhluk hidup/manusia.
Widji Thukul mengemas isu-isu politik ini dengan apik, pemilihan kata dalam menyuarakan masa Orde Baru menggunakan bahasa yang vernakular sehingga dapat mudah dipahami. Dapat kita simpulkan juga bahwa kondisi masa Orde Baru lewat puisi ini berisikan sebuah perlawanan yang dilakukan oleh Widji Thukul atas kebebasan berbicara, pemberontakan terhadap ketidakadilan, dan pentingnya suara kepada rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto yang terkenal diktator.
Sampai saat ini puisi Sajak Suara milik Widji Thukul menjadi puisi yang selalu disuarakan dalam aksi-aksi massa sebagai bentuk penyemangat, bahkan anak laki-laki Widji Thukul, Fajar Merah, ikut menyanyikan puisi sang ayah dengan kolaborasinya bersama Melanie Subono sehingga menjadikan puisi ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat Indonesia. Namun, apakah puisi ini yang membuat Widji Thukul sampai sekarang belum ditemukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H