Napas itu menderu dengan cepat. Dia telah berlari sejauh 2 kilometer. Di belakangnya, seseorang dengan membawa senjata tajam di tangannya. Mengejar gadis berumur 17 tahun itu. Perawakannya yang mengerikan, masih terus mengejar gadis tersebut.
Sepertinya, gadis itu salah mengambil langkah untuk pergi ke tempat sepi seperti ini. Tidak ada manusia sama sekali. Terlebih lagi, sekarang tengah malam. Siapa yang akan menyelamatkan gadis ini? Apakah dia akan benar-benar mati di tangan pria br*ngs*k itu?
Ah, malang sekali nasib nya ternyata.
Bruk!
Aish, apa sekarang.... dia benar-benar akan mati disini? Mati dengan cara yang begitu mengenaskan dan tanpa adanya identitas sama sekali. Ah, lucu sekali, ternyata hidupnya benar-benar jelek. Dia berharap---
"Lo nggak apa-apa?"
Huh?
Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap wajah rupawan diatasnya. Waahh.... apakah ini seorang malaikat? Mengapa dia tampan sekali?
"KARINA! JANGAN LARI KAMUUU!!"
Astagaa, ternyata dia benar-benar belum mati. Gadis yang dipanggil Karina itu menoleh ke belakang. Terbelalak saat menyadari ternyata pria itu semakin dekat. Tanpa berpikir panjang, Karina segera pergi dari sana. Tentu saja menarik laki-laki yang tadi dia tabrak. Bersembunyi di balik tong berukuran besar di gang sempit dan sangat gelap itu.
"Ah! Terlepas lagi! Dasar, anak perempuan sampah!" umpat pria tersebut.
Pria itu masih mencari keberadaan Karina yang ternyata berhasil melarikan diri. Harusnya Karina dia ikat saja di pohon besar. Lalu setelahnya, pria itu akan melakukan apapun yang dia mau terhadap gadis itu. Tapi, kenapa dia bisa kabur tadi?
Karina dapat melihat dengan jelas bayangan pria tersebut di bawah cahaya lampu jalan. Dia masih disana, dengan senjata tajam di tangannya.
Ah, pria br*ngs*k! Kenapa pria seperti dia harus menjadi ayahnya? Apakah Tuhan tidak sayang dengan dirinya? Harusnya Tuhan mengasihani Karina dan membiarkan takdir gadis itu baik.
"Lo....."
"Sstt!" telunjuk Karina menempel pada laki-laki di sampingnya. "Jangan bersuara," ucap Karina sangat pelan. Laki-laki itu mengangguk patuh. Karina masih terus memasang telinganya, agar dapat mendengar suara langkah kaki dari pria itu. Begitu pula dengan indera penglihatannya. Dia harus terus menatap dengan awas pada bayangan yang sejak tadi berkeliaran di sekitar. Jika dirinya merasa situasi sudah aman, maka Karina akan kabur---tentu saja membawa laki-laki yang sedang bersama nya ini. Â
Satu jam berlalu. Karina terdiam beberapa saat. Mengapa tidak ada suara langkah kaki lagi? Dan kenapa bayangan itu tidak ada lagi? Apakah pria itu sudah pergi? Mungkin dia mengira bahwa tidak akan ada tanda-tanda siapapun di sekitar sini. Terlebih ini sudah sangat larut.
Karina menghela napas lega. Akhirnya, dia dapat terhindar dari cengkraman pria itu. Karina mengajak laki-laki yang sedang bersamanya itu keluar dari persembunyian mereka.
"Sori, karena bikin lo harus ikut masuk ke situasi mencekam tadi."
"Saya sudah menduganya, perempuan sampah!" Karina menoleh, membulatkan matanya saat menatap pria itu ternyata masih ada disini. "Mau lari kemana lagi kamu, huh!?" Tanpa berpikir panjang, Karina segera berlari dan menarik laki-laki tadi. Ah, sial! Harusnya dia menunggu sampai pagi saja di tempat tadi.
"Apa pria tadi sangat berbahaya buat lo?" tanya laki-laki yang masih ditarik tangannya oleh Karina.
"Kalau lo menganggap seperti itu. Maka, semua itu benar!" jawab Karina simpel.
"Baiklah!" Tiba-tiba saja, laki-laki itu berpindah posisi menjadi di depan Karina. Lalu menarik dan menuntun Karina untuk pergi ke tempat yang lebih ramai lagi. Yah, itu adalah rumah sakit.
***
"AKKHHHHHH!!! KENAPA HIDUP GUE SIAL BANGET, ANJ*!" umpat gadis yang berdiri di tepi rooftop. Mengacak rambutnya asal. Dia merutuki hidupnya yang tidak beruntung. Mengapa Tuhan begitu tega dengan gadis tersebut? Dia tidak memiliki keluarga, sama sekali tidak ada. Sekalipun ada, Tuhan mengambil ibu dan adiknya dengan cara yang begitu tragis. Mati terbunuh oleh pria br*ngs*k itu.
Ah, pria br*ngs*k. Yah, dia adalah ayah dari gadis tersebut---Karina. Tapi Karina sama sekali tidak pernah menganggap pria itu adalah ayahnya. Untuk apa disebut ayah, jika perbuatannya saja tidak memiliki hati nurani sama sekali.
Pria itu.... adalah malaikat maut yang paling menyeramkan bagi Karina.
Maka dari itulah, Karina bersembunyi dari cengkraman pria tersebut. Tinggal di berbagai tempat. Menjadi seorang pelayan toko ataupun pelayan restauran dan tinggal diatas loteng pemilik toko atau restauran tersebut.
Jika keberadaannya diketahui oleh pria itu, maka Karina berlari lagi. Mencari tempat persembunyian yang aman. Tapi entah kenapa, tempat persembunyian itu tidak akan pernah aman bagi Karina. Karena kemanapun Karina berlari, maka dia akan ditemukan oleh pria itu. Cepat atau lambat.
"SIAL! HIDUP GUE JELEK BANGET!"
"Lo brisik tau nggak!"
Karina menoleh. Wajahnya yang cemberut, semakin masam dilihat. Laki-laki itu.... dia yang tadi malam Karina bawa kesana-kemari. Hingga akhirnya, laki-laki itu malah membawanya kesini. Ke rumah sakit yang paling Karina benci. "Apa lo! Suka-suka gue. Lagian juga, mending lo pergi dan jauh-jauh dari gue! Sebelum lo akan jadi mangsa berikutnya!" tukas Karina. Saat akan berbalik, Karina kembali menoleh pada laki-laki berwajah pucat itu. "Mending lo berdoa banyak-banyak, biar nggak mati di tempat. Kayak tadi malam!"
Ah, iya. Karina melupakan hal itu.
Setelah mereka berlari sejauh.... entah berapa kilo meter. Laki-laki itu tumbang begitu saja, setelah sampai di depan rumah sakit. Napasnya memburu tak karuan. Dia terus memegangi perutnya. Untung saja ada yang menyelamatkan laki-laki itu. Jika tidak, maka Karina kira. Laki-laki tersebut sudah mati di tempat karena nya.
"Enak aja lo kalau ngomong!" Bukannya pergi, laki-laki itu malah menghampiri Karina dan berdiri di samping gadis itu.
"Tapi gue serius," laki-laki itu menatap ke bawah rooftop. "Baru pertama kali gue merasakan sensasi yang penuh deg-degan dan awas. Kayak.... ah, udah berapa lama sih. Gue nggak berlari sejauh itu? Gue lupa," ujar laki-laki itu tersenyum tipis. Menatap manusia-manusia yang seperti semut dari atas.
Karina tertawa sinis. "Lo bilang itu menyenangkan. Tapi bagi gue, itu sama saja dikejar malaikat maut. Bahkan mungkin lebih dari itu." Terlebih lo melihat kondisi rumah gue saat itu. Tempat itu sama hal nya dengan neraka. Batin Karina.
Laki-laki tersebut menatap Karina. Mengulurkan tangannya pada Karina dengan senang hati.
"Gue Ezaquel," ucap Ezaquel tersenyum tipis pada Karina.
Karina menatap Ezaquel bingung. Baru kali ini ada seseorang yang memperkenalkan dirinya terlebih dahulu padanya.
Karina membalas uluran tangan laki-laki itu. "Gue Karina."
"Oke, senang berkenalan dengan lo," ucap Ezaquel ramah.
***
Sejak pertemuan pertama mereka. Ezaquel dan Karina selalu bertemu di tempat yang menurut Karina paling aman, yakni rumah sakit. Apalagi Ezaquel hanya bisa ditemui di rumah sakit. Karina tidak tau alasan pastinya apa, karena laki-laki itu tidak memberitahu apapun tentang dirinya. Selain hanya hal-hal yang menurutnya aman untuk diceritakan.
Dan tentu saja, Karina juga melakukan hal yang sama. "Menurut lo, ada dunia yang lebih baik lagi nggak. Selain dunia ini?"
Karina menoleh pada laki-laki berwajah pucat itu. Berpikir sebentar. "Bukan dunia. Tapi surga," jawab Karina memakan es krim rasa cokelatnya.
Ezaquel tersenyum tipis. "Harusnya emang surga. Tapi entah kenapa, gue berharap. Akan adanya dunia yang berbeda, yang jauh lebih baik dari dunia ini. Dunia yang hanya berpihak pada gue," ujar Ezaquel lagi.
Ujarannya itu membuat Karina menautkan alis bingung. "Mana bisa. Lo kira, ini di film-film? Akan ada reinkarnasi lagi gitu, terus berharap pada Tuhan. Kalau lo pengennya jadi ini, bukan itu. Nggak usah mimpi Ezaa!" ucap Karina mendengus pelan.
"Yaaaa, kalau bisa kan. Gue minta sama Tuhan, buat jadiin gue sebagai orang yang kaya. Pinter, ganteng, dan tentunya tidak menimbun banyak penyakit," gumam Ezaquel yang tentunya masih di dengar oleh Karina.
Karina berdiri dari duduknya. Memasang wajah sebahagia mungkin.
"Kalau gitu, ayo kita buat dunia yang lebih bahagia! Saaaaangaaaattt bahagiaaaa!!" seru Karina melebarkan kedua tangannya. Lalu tertawa saat melihat wajah Ezaquel yang seperti orang bodoh dimatanya.
Gue juga berharap gitu. Mengharapkan dunia yang berbeda dan lebih bahagia. Ucap Karina dalam hati.
***
Karina tersenyum tipis saat melihat Ezaquel memakai kemeja yang tak pernah dipakainya sama sekali. Lihatlah, kemeja itu tampak lusuh. Tapi entah kenapa, dengan wajah tampan itu. Kemeja yang digunakan Ezaquel terlihat begitu bagus di mata Karina.
"Kenapa lo ngajak gue keluar malem-malem gini? Kalau nanti pria yang waktu itu ngejar lo lagi. Kan jadi ribet," ucap Ezaquel bingung.
Karina malah semakin melebar senyumnya. Mengulurkan tangan pada Ezaquel. "Kan kemarin sore gue janji ngajak lo untuk buat dunia yang berbeda dan tentunya lebih bahagia. Sekarang, gue mau nepatin janji itu," ucap Karina mengulurkan tangannya. Meminta Ezaquel untuk membalas uluran tangan Karina dan menggenggamnya kuat.
"Baiklah," Ezaquel menuruti saja. Harusnya malam ini, Ezaquel ada jadwal pengambilan sampel darah. Karena besok dia akan check-up. Tapi, bisa diundur bukan? Tidak harus malam ini?
Karina menarik Ezaquel ke dalam bus. Lalu mereka sama-sama duduk di bangku paling belakang. Mengamati suasana malam hari yang dihadiri dengan lampu jalan yang terlihat manis di mata Ezaquel.
Ternyata begitu, mendengar suara-suara kendaraan yang menyatu di jalan raya. Melihat orang-orang yang baru saja pulang dari aktifitasnya masing-masing. Memerhatikan anak-anak yang diajak jalan-jalan oleh kedua orangtuanya hanya untuk menikmati suasana malam. Atau menikmati makanan di pinggir jalan yang sangat mengiurkan.
Ah, kapan terakhir kali Ezaquel merasakan itu?
Sepertinya satu bulan yang lalu, sebelum akhirnya dokter meminta Ezaquel untuk dirawat inap karena kondisinya yang semakin buruk. Lalu penyakit yang di dalam tubuhnya semakin merajalela. Menyerang tubuh Ezaquel yang semakin ringkih.
Hari itu, saat Ezaquel berharap dia akan mati dengan cepat. Lalu saat dia pergi dari dunia ini. Tuhan memanggilnya lagi dan meminta Ezaquel untuk menjalani hidup yang lebih baik di dunia yang berbeda. Dunia yang Ezaquel harapkan.
"Harusnya ibu membiarkanku mati secara perlahan di rumah saja. Daripada harus ke rumah sakit dan mendekam disana selama satu bulan ini. Aku lebih kasihan pada ibu yang terus mencari uang, demi kesehatanku. Anakmu yang hanya menyusahkan ini," gumam Ezaquel.
Tanpa sadar, bus yang mereka tumpangi telah berhenti. Suasananya menjadi sangat berbeda. Tidak ada lampu jalan, bahkan suara bising kendaraan. Melainkan suara permainan dan suara-suara yang membuat bising telinga. Lampunya pun berwarna-warni. Ezaquel menoleh, menatap Karina yang ternyata telah mengulurkan tangan padanya.
"Ayo! Kita sudah sampai," ucap Karina dengan senyum yang paling manis. Senyum yang baru pertama kali Ezaquel temui setelah ibu.
Ezaquel mengangguk pelan, membalas uluran tangan Karina. Menggenggamnya erat, mengikuti langkah Karina untuk keluar dari bus. Lalu masuk ke dalam pasar malam yang penuh dengan lampu warna-warni dan banyaknya permainan.
"Ayo nikmati dunia yang berbeda ini!" seru Karina menarik Ezaquel lebih masuk ke dalam pasar malam itu.
***
Setelah puas menikmati semua permainan di pasar malam ini. Kini mereka menatap ngeri pada bangunan tua di depannya. Yah, ini adalah rumah hantu yang wajib dicoba. Katanya, rumah hantu di pasar malam kali ini sangat menyeramkan.
Tapi entahlah, Karina belum mencobanya. Apalagi Ezaquel. "Ini serius, kita masuk ke dalamnya?" tanya Ezaquel ngeri.
Karina mengangguk yakin. "Kapan lagi kan. Gue juga belum coba masuk. Ayo!"
"DASAR PEREMPUAN KOTOR! BERANI-BERANINYA KAMU LARI DARI CENGKRAMAN SAYA!!"
Mata Karina membulat lebar. Kenapa pria itu datang lagi? Ah, harusnya Karina mengetahui hal ini akan terjadi. Pria itu membuat keributan yang sangat tidak disukai oleh Karina. Senjata tajam di tangan nya masih ada disana. Dengan cepat, pria itu berlari ke arah Karina.
"Lo masih ada tenaga buat lari kan?" tanya Karina pada Ezaquel.
Ezaquel mengangguk. "Apapun itu, asal kita nggak mati ditangan pria itu," ucap Ezaquel.
Karina mengangguk. Lalu menarik tangan Ezaquel. Lari sejauh mungkin. Berharap mendapat perlindungan di pasar malam yang begitu ramai ini. Ah, harusnya, suasana pasar malam ini menyenangkan bukan? Tapi kenapa malah mencekam. Terlebih lagi, pria itu datang dengan wajah mengerikan tanpa ada rasa takut dan malu. Ini tempat yang ramai. Harusnya pria itu tidak ada disini.
Srak!
Senjata tajam itu menyayat tubuh Ezaquel dari belakang. Membuat Ezaquel tumbang seketika. Karina berbalik, menatap nanar pada darah yang terus mengalir di tubuh Ezaquel.
"Za!" Karina mengangkat tubuh Ezaquel. Meletakkan tubuh rapuh itu di pangkuannya.
"Lo harus pergi Na. Pergi dari sini!" ucap Ezaquel dengan air mata yang menetes membasahi pipinya.
Karina menggeleng. Harusnya nggak gini. Harusnya bukan Ezaquel. Kenapa tidak Karina saja?
"Hah! Akhirnya saya menemukan kamu, perempuan kotor!"
Pria itu berdiri tepat di depan Karina. Mengacungkan senjata tajamnya ke hadapan Karina. Tersenyum miring.
"Pulang, atau saya buat kamu mati di tempat. Sama seperti laki-laki ini!" ancam pria itu sungguh-sungguh.
"Silakan! Lakukan saja! Saya tidak takut!"
Raut wajah pria itu mengeras. Menatap Karina dengan penuh amarah. Senjata tajam itu melayang begitu saja. Menusuk dada Karina. Membuat gadis itu tumbang diatas tubuh Ezaquel.
Darah mengalir begitu deras dari kedua tubuh tersebut. Untuk terakhir kalinya, Karina berbisik pada Ezaquel.
"Apa... kali ini kita akan benar-benar melihat dunia yang lebih bahagia?"
"Bukan. Bukan dunia. Tapi surga."
Perlahan, mata keduanya tertutup. Akhir yang mereka harapkan, benar-benar terkabulkan oleh Tuhan.
Karina yang berharap akan segera mati dan bertemu ibu dan adiknya diatas sana. Dan Ezaquel yang berharap, dia tidak akan menyusahkan ibunya lagi. Lalu hidup di dunia yang bahagia bersama ibunya.
***
"Tidak! Tidak! Ezaquel, kamu tidak boleh meninggalkan ibu sendirian disini nak! Kamu tidak boleh meninggalkan ibu!"
Suara rintihan dan tangisan itu terus terdengar di lorong rumah sakit. Wanita paruh baya itu terus memanggil nama anaknya. Menggenggam tangan dingin dan kaku itu kuat. Berharap, anak laki-lakinya akan kembali hidup.
"Ezaquel! Bangun nak!"
Sepasang roh yang berdiri tepat di depan ibu tersebut, berwajah sendu. Tangan mereka saling bertaut. Salah satu dari mereka ingin sekali memeluk wanita paruh baya itu erat.
Ternyata, mimpinya untuk mati lebih dulu agar tidak menyusahkan sang ibu. Merupakan mimpi yang salah. Ibunya sangat terpukul akan kepergian dirinya.
"Harusnya gue memeluk ibu waktu itu. Tapi dia tidak ada di ruang rawat gue. Dia pergi, bekerja 24 jam tanpa kenal lelah," ucap Ezaquel lirih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI